Sebuah Kritikan Untuk Earth Hour Makassar

Eart Hour Makassar 2011
Eart Hour Makassar 2011

Earth Hour selalu jadi pro dan kontra setiap tahun, nyaris sama dengan halal-haram mengucapkan selamat hari Natal. Tahun ini saya punya kritikan (yang semoga bisa ditanggapi positif) untuk para penggerak Earth Hour di Makassar.

Empat tahun lalu saya hadir dalam perayaan Earth Hour di Makassar. 26 Maret 2011 untuk pertama kalinya perayaan tahunan yang digagas oleh WWF itu digelar di Makassar. Kala itu ada beberapa komunitas kreatif yang jadi pencetusnya, sampai kemudian tahun-tahun berikutnya seremonial Earth Hour digelar lebih rapi oleh satu komunitas yang menyebut diri mereka Earth Hour Makassar.

Selepasnya saya sudah tidak pernah ikut lagi acara seremonial Earth Hour.

Alasan utama kenapa saya tidak pernah ikut acara itu lagi adalah karena saya merasa malu pada diri sendiri, saya merasa belum bisa berkontribusi (besar maupun kecil) pada bumi. Saya memang sudah memulai banyak hal, dari hemat energi dengan hanya menggunakan listrik seperlunya, memangkas penggunaan bahan plastik sampai menanam pohon dan tumbuhan lainnya di depan rumah. Tapi buat saya itu tidak cukup.

Lalu, buat saya ikut merayakan Earth Hour ketika saya sendiri mungkin masih lebih sering menyakiti bumi? Bukankah Earth Hour sejatinya hanya simbol agar kita lebih peduli pada bumi? Bukan sekadar mematikan lampu selama satu jam dan setelah itu selesai.

Kalau hanya mematikan lampu selama 1 jam, teman-teman di Kalimantan, Sumatera, Papua dan Maluku atau bahkan di tempat-tempat lain di Indonesia sudah sering melakukannya meski terpaksa karena PLN yang memaksa mereka. Bukan hanya sejam, listrik padam bahkan bisa sampai 6 jam dalam sehari.

Saya tahu kalau gerakan Earth Hour sering mendapat kritikan, dianggap sebagai sebuah seremonial belaka. Sebuah kegiatan setahun sekali yang lebih sering hanya jadi ajang eksis anak-anak muda dari kelas menengah ngehek.

Mereka mematikan lampu selama sejam, lalu setelahnya kembali ke kehidupan sehari-hari mereka yang tidak bisa lepas dari gadget yang jumlahnya mungkin lebih dari satu, lalu mengendarai mobil pribadi kesana-kemari dengan AC yang terus menyala dan tidak bisa memejamkan mata tanpa pendingin ruangan yang membuai mereka.

Kalau Anda mengikuti @hansdavidian di Twitter maka kritikan atau sinisme seperti itu tentu sudah sering Anda baca.

Buat saya itu wajar-wajar saja. Tidak ada satupun hal di dunia ini yang bisa memuaskan semua orang. Di level yang lebih luas, gerakan Earth Hourpun sudah sangat sering mendapat kritikan dan bahkan dicap sebagai gerakan yang stupid dan pointless. ?Bahkan ada kalimat yang menuduh gerakan ini sebagai kampanye kapitalis semata yang tidak menyentuh akar permasalahan. Belum lagi perdebatan tentang penggunaan lilin sebagai pengganti lampu saat perayaan Earth Hour. Lilin dibuat dari parafin yang asapnya menyumbang hidro karbon dan terbuat dari minyak bumi. Jadi sama saja, mematikan lampu tapi menyalakan banyak lilin yang sama-sama boros energi.

Sekali lagi, itu hak semua orang untuk menyatakan pendapatnya.

Saya sebenarnya berharap teman-teman komunitas dan penggerak Earth Hour ?utamanya di Makassar- bisa menunjukkan sesuatu yang membungkam semua kritikan itu. Sebuah kebiasaan atau kegiatan yang bisa mereka lakukan secara konsisten dan benar-benar menyentuh akar masalah lingkungan hidup yang sedikit banyaknya berkontribusi pada kelangsungan bumi.

Tak perlu besar-besar, cukuplah mereka bisa ikut berbicara banyak tentang pencemaran sungai dan kanal di kota Makassar atau tentang efek reklamasi pantai Losari yang semakin hari semakin menakutkan. Selain merusak lingkungan juga menggoyahkan kehidupan nelayan pesisir dan tentunya membuat mereka semakin terdesak secara ekonomi dan sosial.

Sekali lagi karena Earth Hour bukan sekadar mematikan lampu selama satu jam.

Tapi sayang, harapan saya tidak berbuah manis. Kritikan kepada Earth Hour Makassar makin menggema seiring persiapan mereka menggelar seremonial Earth Hour 2015 ini. Mereka memulai persiapan-persiapan tersebut di ruangan-ruangan hotel yang tentu saja berpendingin ruangan. Hotel sepanjang yang saya tahu menyumbang banyak masalah bagi lingkungan hidup perkotaan. Hotel memproduksi banyak limbah yang belum tentu bisa mereka oleh dengan baik, hotel termasuk rakus menguras energi dan hotel juga sangat rakus menyerap air tanah.

(baca: Bom waktu bernama hotel di Makassar)

Seandainya saja mereka mau lebih bijak memilih tempat yang lebih ramah lingkungan maka kritikan dan sinisme itu bisa diredam. Makassar memang kekurangan taman terbuka dan fasilitas umum yang bisa dimanfaatkan komunitas, tapi dari sedikit yang ada itu pasti bisa dimanfaatkan kalau memang mau. Plus, ketiadaan taman terbuka hijau itu bisa jadi kritikan tajam buat pemerintah kota yang sejalan dengan visi-misi gerakan Earth Hour.

Perayaan EH tahun 2015
Perayaan EH tahun 2015

Di puncak perayaan Earth Hour teman-teman penggerak Earth Hour Makassar kembali membuat blunder, menurut saya. Mereka memulai aksi dengan pagelaran seni berupa tarian dan penampilan para penghibur. Pagelaran seni yang dibuat untuk umum di pelataran Karebosi itu tentu saja mengomsumsi banyak energi listrik untuk suara dan tata cahaya. Sesuatu yang kemudian berseberangan dengan niat baik yang mereka usung.

Saya tahu niat mereka baik, tapi niat baik tidak cukup. Harus ada tindakan-tindakan yang sesuai dan sejalan dengan niat baik itu. Teman-teman dari Earth Hour Makassar (dan mungkin kota-kota lain) akan tetap jadi sasaran tembak yang empuk selama mereka tidak mencoba berpikir untuk mencari cara lain mempromosikan kegiatan mereka.

Mungkin mereka sudah banyak melakukan sesuatu yang berguna bagi bumi, yang sejalan dengan niat baik mereka. Tapi, ketika mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama maka hal-hal baik itu akan tetap tertutupi. Manusia kadang lebih senang membicarakan keburukan daripada kebaikan orang lain bukan?

Saya tahu niat mereka baik, sayapun tak pernah nyaman untuk memandang sinis pada apa yang mereka lakukan karena saya tidak pernah merasa lebih baik dari mereka. Tapi, saya tak segan untuk mengkritik apa yang mereka lakukan. Anggaplah ini kritikan membangun, agar mereka tak mengulangi kesalahan yang sama setiap tahun dan tidak lagi duduk sebagai sasaran tembak.

Sekali lagi, karena niat baik tak selamanya cukup. [dG]