Duri Dalam Daging Republik
Indonesia punya ratusan suku dan kalau digabungkan dengan sub suku maka jumlahnya jadi ribuan. Selain jadi kekayaan, ini juga ternyata bisa jadi duri dalam daging yang membuat tubuh republik ini kadang tidak nyaman.
Suatu hari seorang kawan dari Manokwari mengirimkan gambar beberapa pemuda Papua yang terbaring di tanah dengan genangan darah di sekitarnya. Kata kak Roy -nama teman itu- gambar tersebut adalah gambar korban pertikaian kelompok anak muda di Manokwari. Katanya lagi, pertikaian itu sempat memanas dan melebar menjadi pertikaian kelompok suku di ibukota Papua Barat itu. Beruntung pihak keamanan dan para tetua bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Rupanya di Papua pertikaian antar suku seperti itu kerap terjadi. Ketika di kota Sorong saya juga disuguhkan cerita dua suku yang hampir saja bertikai besar-besaran hanya karena salah satu warga dari satu suku menjadi korban pertikaian. Pertikaian pribadi yang kemudian merembet hampir saja menjadi pertikaian besar-besaran.
Bertahun-tahun yang lalu perang antar suku di Papua masih kerap terjadi.
Ketika menginjakkan kaki di Malinau dan hidup beberapa hari dengan suku-suku Dayak di pedalaman, saya juga mencerna cerita yang sama dalam kadar yang sedikit berbeda. Saya baru tahu kalau orang Dayak juga terdiri dari beberapa sub suku yang ternyata tidak selamanya hidup selaras.
Di beberapa desa saya mendengar kisah bagaimana mereka berebut batas wilayah. Desa yang mayoritas dihuni salah satu suku harus bersitegang dengan desa sebelah yang dihuni mayoritas suku yang lain. Debat mereka merembet jauh ke belakang, ke kisah para nenek moyang mereka yang dulu memang suka merambah hutan dan hidup berpindah-pindah.
Karakter suku Dayak mungkin sedikit berbeda dengan karakter suku-suku di Papua sehingga pertikaian fisik yang berujung pada korban nyawa tidak terjadi (atau jarang?) terjadi di Kalimantan. Mereka hanya berdebat dan berselisih di meja perundingan dan belum sampai meledak ke medan perang.
Tapi bukan tidak mungkin hal itu bisa jadi kenyataan.
*****
SENTIMEN ANTAR SUKU sepertinya memang selalu ada dalam kehidupan manusia. Bukan hanya kita yang hidup di negara berkembang, tapi mereka yang hidup di negara majupun sama saja. Selalu ada masalah kalau bicara tentang suku atau ras. Selalu ada suku atau ras yang merasa kelompoknya lebih utama dan unggul daripada suku atau ras lainnya.
Di pulau yang dianggap paling maju seperti Jawapun sentimen seperti itu tetap ada. Orang Solo dan Yogya di balik kehidupan tenteram mereka tetap menyimpan potensi perpecahan yang berakar sejak ratusan tahun lalu. Di Sulawesi Selatan hal yang sama juga ada. Orang suku Bugis dan suku Makassar yang sebenarnya berasal dari akar yang sama tetap menyimpan potensi perpecahan yang juga berasal dari kisah ratusan tahun lalu. Kisah perseteruan para raja-raja suku Bugis dan Makassar.
Beruntung karena kisah-kisah perseteruan itu semakin hari seperti semakin memudar tergerus jaman. Tapi, bibitnya masih ada.
Bibit ini yang bisa jadi tumbuh subur ketika ada pihak yang memeliharanya dan bahkan menyemainya. Kisah berdarah di Ambon, Poso sampai Sampit adalah kisah yang sepertinya sengaja dituliskan oleh orang-orang dengan niat yang jahat. Mereka tahu ada potensi perpecahan yang bisa dibesar-besarkan untuk kepentingan pribadi atau golongan mereka.
Dan akhirnya yang jadi korban kita juga.
*****
WAKTU TERUS BERJALAN, kepentingan terus ada dan bibit itu juga masih ada. Bukan jaminan kalau tidak ada orang yang berniat memanfaatkan bibit-bibit perpecahan itu untuk memecah belah kita. Bukan jaminan juga kalau ada orang-orang yang merasa diri dan kelompoknya lebih baik dari orang lain atau kelompok lain lalu mereka memaksakan untuk jadi yang paling dominan di negeri yang punya jutaan warna berbeda ini.
Entah dengan Anda, tapi saya sangat menikmati perbedaan-perbedaan ini. Meski perbedaan ini serupa duri dalam daging republik kita tapi buat saya perbedaan ini adalah kekayaan yang tak terperi. Saya tidak rela semua diseragamkan dan dibuat jadi sama karena pasti akan terasa sangat membosankan.
Dan kita akan berakhir pada pertanyaan, sebenarnya jutaan perbedaan ini anugerah atau malah jadi kutukan? [dG]
anugerah. hanya saja kita sendiri yang mengkerdilkan bangsa sendiri. menganggap suku tertentu tinggi dan yang lainnya rendah. serta sistem pemerintahan yang tidak efisien dan efektif.