Mengusik Isu Privasi dan Penyadapan

Ilsutrasi (tlelectrical.com)
Ilsutrasi (tlelectrical.com)

Bagaimana kita mau bicara lantang tentang privasi bila definisi privasi saja masih abu-abu bagi kita orang Indonesia?

“Saya pernah bertemu dengan salah satu manager Twitter di sebuah acara. Dengan sumringah dia bilang kalau orang Indonesia sangat terbuka, sampai-sampai kegiatan dan data pribadi mereka diumbar di Twitter.” Kata Dhyta Caturani dari Engange Media.

Ucapan wanita bertubuh kecil dengan beberapa tatto di lengannya itu sontak mengundang gelak tawa dari hadirin yang berkumpul di ballroom IDC, Gedung Cyber 1 hari Sabtu, 16 Mei yang lalu. Kisah itu memang terasa satir, menggelikan sekaligus menohok.

Dhyta satu dari 4 orang pembicara yang hari itu hadir dalam diskusi Melindungi Hak Privasi Setiap Warga Dari Praktik Penyadapan yang digelar atas kerjasama beberapa lembaga dan korporasi seperti SAFENET, ELSAM, LBH Pers, Indonesia Data Center, ICT Watch dan ID-Config. Selain Dhyta ada Ade Fadli dari SAFENET yang memberi fakta mengejutkan tentang praktik penyadapan, ada Johar Alam dari IDC, Asep Komaruddin dari LBH Pers dan Indri Saptaningrum dari ELSAM.

Suasana diskusi hari itu
Suasana diskusi hari itu

Diskusi ini sesungguhnya terasa berat di hari Sabtu yang sebenarnya masih jadi bagian dari hari kejepit nasional, hari dimana seharusnya orang lebih memilih meluangkan waktu bersantai bersama keluarga, kerabat atau sahabat. Tapi diskusi ini terasa penting karena topik tentang privasi dan penyadapan belum terlalu banyak dikulik di Indonesia, padahal ancamannya makin terasa. Penduduk di negara-negara maju sudah makin waspada pada isu ini, beda dengan kita yang kadang masih sibuk dengan isu yang itu-itu saja.

Bicara privasi memang tidak mudah di Indonesia. Bangsa kita sudah melalui ribuan tahun yang panjang dengan budaya yang berbeda dengan orang Eropa dan Amerika. Kita adalah bangsa yang ramah dan terbuka, kita tidak segan bertanya tentang pribadi orang lain bahkan yang baru kita kenal sekalipun. Kitapun tidak segan memaparkan data pribadi kita kepada orang yang baru kita kenal.

Contoh sederhana, kita masih ringan bertanya; sudah nikah atau belum? Anaknya berapa? Kepada orang yang baru kita kenal. Orang yang baru kita kenalpun dengan enteng menjawab pertanyaan itu, mungkin tanpa rasa risih. Bandingkan kalau pertanyaan itu kita tanyakan kepada orang bule, mungkin muka mereka akan merengut, mungkin mereka akan menatap kita dengan tatapan curiga atau bahkan mungkin mereka akan menjawab ketus; mind your own business!

Itu baru satu contoh kecil di dunia nyata. Kita belum masuk ke dunia maya yang justru makin mengaburkan batas-batas privasi.

*****

SEBERAPA SERING KITA MELIHAT foto-foto orang diunggah seenaknya di media sosial tanpa seijin yang punya? Atau seberapa sering foto-foto orang dijadikan meme dan disebarluaskan di media sosial?

Mungkin tidak akan jadi masalah ketika sang pemilik wajah tidak keberatan, tapi bagaimana kalau dia keberatan dan tidak nyaman fotonya disebar ke publik? Bukankah itu sudah melanggar privasi orang?

Di sisi lain orang Indonesia memang seperti yang dikatakan manager Twitter itu, sangat terbuka dan rajin mengumbar data pribadi mereka di media sosial. Makan saja harus check in dan memberi tahu seluruh dunia, setiap kegiatan harus diumumkan, lengkap dengan lokasi dan perasaan ketika itu. Kita tidak sadar kalau semua itu bisa jadi modal bagi sebagian orang yang punya niat jahat.

Di India, ada seorang ayah yang begitu rajin membagikan foto dirinya dan anaknya ke media sosial lengkap dengan lokasi. Suatu hari si anak jadi korban penculikan dan sampai dijual ke luar negeri. Tidak sulit bagi si penculik untuk tahu lokasi si anak, toh semua lokasi dan waktu kegiatannya terpampang jelas di media sosial. Tidak perlu kemampuan intelejen tingkat tinggi, cukup membuka akun media sosial dan semua data yang dibutuhkan akan hadir dengan sendirinya.

Menyeramkan bukan?

Internet memang membingungkan. Di satu sisi kita menikmati semua kemudahan yang ditawarkannya, tapi di sisi lain kita terlena dan terjebak sehingga batas-batas privasi yang seharusnya kita jaga malah kita umbar dengan sukarela dengan segala resikonya. Sepertinya kita juga sepakat, ketika masuk ke dunia maya maka sesungguhnya batas privasi itu makin sempit dan kabur. Kalau bukan kita yang membagikan maka akan ada pihak lain yang bisa mengambilnya.

Dalam diskusi hari itu juga dipaparkan tentang bahaya penyadapan dan pencurian data pribadi lewat dunia maya. Satu isu lagi yang bagi orang Indonesia masih dianggap kurang penting. Masih dianggap isu jauh yang tidak membumi. Bagaimana tidak, ketika isu presiden kita disadap Australiapun kita masih tenang-tenang saja, memang ada yang mendemo kedubes Australia tapi banyak juga yang justru membuat meme memparodikan penyadapan itu seolah-olah itu bukan hal luar biasa dan patut untuk ditertawakan.

Kitapun kadang berpikir; siapa juga yang mau menyadap saya? Toh saya bukan siapa-siapa. Hari ini mungkin iya kita bukan siapa-siapa, tapi tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti kita bisa jadi siapa-siapa, apalagi praktik penyadapan atau memata-matai bisa jadi penghalang untuk kebebasan berekspresi. Ketika kita sudah diawasi sedemikian rupa maka hilang sudah privasi kita, hilang sudah kesempatan kita untuk bersikap kritis tanpa kuatir dibungkam atau dihilangkan.

Isu privasi dan penyadapan memang masih belum populer di Indonesia, tapi percaya atau tidak isu ini makin lama akan makin menarik perhatian. Ancamannyapun makin besar, sampai suatu saat nanti kita semua akan terhenyak kalau kita tidak cepat sadar dan waspada pada isu ini. [dG]