Cerita Penjaga Hutan Kalimantan
Untuk pertama kalinya saya punya kesempatan bersentuhan intens dengan orang-orang Dayak, para pemilik hutan Kalimantan, para penjaga Mahakarya Indonesia.
“Di ujung pelangi itu ada orang Dayak. Mereka suka makan orang.” Begitu kalimat yang sering saya dengar ketika saya masih kecil. Cerita tentang orang-orang Dayak yang kanibal, sering menculik orang dan memakan daging manusia. Entah dari mana cerita itu datang dan entah siapa yang pertama memulainya, yang jelas cerita itu jadi salah satu senjata untuk menakut-nakuti kami yang masih kecil.
Selama bertahun-tahun cerita itu masih kami percayai.
*****
Senin 4 Mei 2015. Malam gelap, hujan rintik-rintik membasahi bumi. Kami tiba di sebuah desa yang diselimuti gulita, tidak ada listrik PLN yang menyentuh desa itu. Warga menggunakan genset untuk penerangan, di atas jam 8 malam sebagian besar dari mereka sudah mematikan genset. Harga BBM yang mahal tentu jadi pertimbangan. Di desa itu seliter bensin dihargai antara Rp. 12.000 sampai Rp. 13.000. Kadang malah Rp. 17.000 ketika persediaannya langka.
Desa itu bernama Gong Solok, berada sekira 3 jam perjalanan sebelah Selatan kota Malinau, Kalimantan Utara. Tidak mudah menuju desa itu, jalanan tanah tak beraspal harus kami tempuh di malam yang tak diterangi bintang, bulan apalagi lampu jalan. Sesekali mobil Avanza yang kami tumpangi susah payah menembus jalan yang licin dan berlumpur serta sesekali menanjak dan berkelok.
Desa Gong Solok dihuni sebagian besar oleh suku Dayak Merap. Belakangan saya baru tahu kalau mereka punya tetangga bernama Desa Punan Gong Solok yang dihuni oleh suku Dayak Punan. Inilah untuk pertama kalinya saya bersentuhan langsung dengan orang Dayak, menghabiskan beberapa hari dan malam bersama mereka dan melihat langsung kehidupan mereka yang meski sudah mulai modern tapi tetap memegang teguh tradisi nenek moyang.
Suku Dayak adalah sebutan untuk salah satu suku penghuni pulau Kalimantan. Bersama orang Banjar dan suku-suku lain yang datang belakangan, orang Dayak menyebar di hampir seluruh pelosok Kalimantan, baik yang berada dalam kawasan Indonesia maupun yang berada dalam kawasan Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dewasa ini suku Dayak dikelompokkan dalam 6 rumpun utama; Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot-Danum Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Orang Dayak Punan dipercaya sebagai orang Dayak tertua yang menghuni pulau Kalimantan. Mereka terkenal sebagai orang-orang yang tinggal di hutan, hidup berpindah-pindah dan menjadikan hutan sebagai lumbung makanan mereka.
Orang Punan dipercaya datang dari daratan Tiongkok, bahkan kata Punan konon berasal dari kata Yunan, sebuah kawasan di dataran Tiongkok yang jadi tanah asal mereka. Secara fisik mereka memang mirip orang Tiongkok, berkulit relatif putih dengan mata sipit. Rata-rata tubuh mereka tidak terlalu tinggi, maksimal sekitar 160 cm. Mereka datang ribuan tahun yang lalu ketika mereka kalah perang. Lewat daratan Indochina mereka masuk ke Kalimantan dan berdiam di sana.
Sebagai orang yang biasa hidup di hutan, orang Punan terkenal sebagai pemburu yang tangguh. Kehidupan mereka memang sebagian besar berputar di antara berburu binatang dan mengumpulkan hasil hutan untuk makan sehari-hari. Mereka tidak terbiasa berladang. Sebagian suku Punan malah berpindah-pindah mengikuti arah pergerakan babi hutan.
Sebagai orang yang hidup di hutan, orang Punan tidak terkenal sebagai suku yang punya cita rasa seni tinggi. Berbeda dengan orang Dayak Kenyah yang di Kalimantan terkenal sebagai suku dengan cita rasa seni yang tinggi. Mereka bisa memahat, membuat kerajinan manik-manik dan punya tari serta lagu yang memukai. Orang Punan tidak bisa, kerajinan tangan mereka seadanya hanya agar bisa digunakan.
*****
“Orang Punan menganggap hutan itu sebagai ibu mereka. Mereka sangat menjaga hutan dan mengambil seperlunya saja.” Kata Nikolaus Boro Suban atau kerap kami sapa Om Niko. Pria langsing berkulit kelam ini memang berasal dari Flores, tapi selama puluhan tahun dia hidup bersama orang Dayak dan bahkan membentuk sebuah lembaga bernama Lembaga Pemerhati dan Pemberdaya Punan Malinau yang disingkat LP3M.
Bersama Om Niko kami menghabiskan beberapa malam di desa Punan Adiu, hidup bersama orang-orang Dayak Punan yang sudah mulai meninggalkan kebiasaan hidup berpindah dan mulai menetap di pesisir sungai Malinau.
Oleh Om Niko saya diperkenalkan dengan Markus Ilun, kepala adat Punan Adiu. Pria bertubuh kekar dengan rahang yang tegas dan tulang pipi yang tinggi itu menyambut kami dengan ramah. Sama sekali tidak ada kesan seram yang saya tangkap. Dalam sekejap bayangan orang Dayak yang suka makan orang seperti yang dicekokkan di masa kecil saya musnah sudah.
Dari pak Markus saya mendengarkan semua kisah kearifan hidup mereka orang Punan. Mereka benar-benar menjadikan hutan sebagai ibu mereka yang harus dijaga sepenuh hati. Tak pernah sekalipun terbersit dalam hati mereka niatan untuk menghabiskan apa yang ada di hutan. Hasil hutan mereka ambil seperlunya dan menyisakan sebagian besarnya agar hutan tetap terjaga.
Merekapun tidak pernah berburu dengan membawa sifat rakus. Binatang buruan mereka ambil secukupnya, hanya agar perut mereka tidak kosong.
Selama bertahun-tahun pak Markus dan warga Punan Adiu berperang melawan keserakahan orang-orang kota yang hendak menjamah hutan adat mereka yang luasnya mencapai 17.000 Ha.
Orang kota begitu bersemangat menjamah hutan itu, mengubahnya menjadi kebun kelapa sawit atau tambang batu bara. Markus Ilun bertahan, bersama orang-orang Punan Adiu mereka tidak tergoda rupiah yang berusaha disuapkan orang kota yang serakah itu. Bagi mereka hutan adalah ibu, ibu yang harus dijaga sepenuh hati.
Di balik semua cerita buruk tentang orang Punan yang sering digambarkan sebagai orang terbelakang, tak kenal peradaban dan bodoh saya justru menangkap sesuatu yang luar biasa. Mereka boleh jauh atau tertinggal dari peradaban modern, mereka boleh dibilang miskin dan bodoh, tapi buat saya sesungguhnya mereka adalah orang-orang luar biasa dengan kearifan dan kebijaksanaan yang luar biasa. Mereka para penjaga hutan Kalimantan, orang-orang yang dengan kekuatan terakhir mereka berusaha mengenyahkan para pemodal serakah dari tanah mereka.
Orang Dayak adalah orang Indonesia, pemilik jiwa Indonesia. Kepadanya kita berhutang banyak, bukan hanya kita tapi juga anak cucu kita. [dG]
artikelnya bagus semua, bermanfaat 😀
Sukaaaa tag line nya : “para penjaga mahakarya Indonesia” ^^
nice….. I Love Dayak