So Long, Chris!

Akhir perjalanan salah seorang penggagas skena musik grunge atau Seattle Sound. Sebuah akhir yang cukup menyedihkan bagi saya.

JULI 1994, HAI menerbitkan HAI Klip edisi History Of Grunge. Ini memang jadi kebiasaan majalah remaja tersebut, menerbitkan satu edisi khusus yang isinya fokus mengupas satu tema tersendiri. Bisa saja itu adalah satu band khusus, bisa juga satu skena musik khusus. Edisi Juli 1994 itu mengusung edisi grunge, dengan Nirvana sebagai bahasan utamanya (lebih dari 50%).

Skena grunge yang lahir di Seattle saat itu memang sedang menggerung di hampir seluruh dunia. Popularitas band-band pengusungnya meroket tajam. Nirvana dan Pearl Jam bahkan sempat bertengger di puncak Top 40 Billboard, mengalahkan Michael Jackson sang raja pop. Perlahan-lahan gema musik rock yang dibawakan oleh Guns N’ Roses, Metallica atau Bon Jovi terkalahkan oleh pendar musik dari pesisir barat Amerika itu.

Dari majalah HAI Klip itu juga untuk pertama kalinya saya mengenal nama-nama seperti Mulfunkshun, The Melvins, Green River, Mother Love Bones, Mudhoney dan Alice in Chains. Sementara tiga nama lainnya seperti Nirvana, Pearl Jam dan Soundgarden sudah lebih dulu saya kenal. Belakangan saya jadi salah satu die hard fans Pearl Jam.

Bertahun-tahun saya menjadi penikmat skena musik grunge, nama yang justru tidak diamini oleh Pearl Jam. Nama yang menurut mereka hanya akal-akalan media saja.

“Grunge? We’re not even use that word,” kata Stone Gossard, gitaris Pearl Jam.

Pelan-pelan gaung skena grunge (atau apapun namanya) juga menghilang. Satu per satu band pengusungnya mulai berhenti bermusik. Entah bubar, entah tidak kedengaran lagi namanya. Nirvana sudah bubar duluan setelah Kurt Cobain menembak kepalanya di suatu hari di bulan April 1994. Soundgarden menyatakan diri bubar di tahun 1997 karena perselisihan internal – meski tiga belas tahun kemudian mereka reuni. Alice In Chains ditinggal mati vokalisnya Layne Staley tahun 2002 sehingga praktis band besar pengusung skena itu tinggal Pearl Jam.

Selain Pearl Jam nama-nama seperti Chris Cornell dan Dave Grohl memang masih ada ketika itu. Dave dengan Foo Fighters-nya masih aktif bermusik dan Chris sempat mendirikan band baru bernama Audioslave selain tetap aktif bermusik solo.

Chris Cornell sesungguhnya bisa dibilang sebagai salah seorang perintis skena grunge. Bersama para personil Soundgraden dan nama-nama seperti Jeff Ament, Stone Gossard, Andy Wood, Tad Doyle dan nama-nama lainnya, mereka bermusik di sekitaran Seattle. Membentuk band-band yang saling berkelindan, saling bantu dan kemudian menikmati gelegar skena grunge.

Salah satu spirit paling mengemuka dari skena grunge adalah sprit saling membantu. Para pelakunya tidak segan membantu dengan tenaga dan uang, demi menyokong kesuksesan band lain. Jadi bukan hal yang aneh kalau band yang satu meminjamkan personilnya ke band yang satunya lagi, atau sekadar meminjamkan rumah untuk menginap, studio buat latihan, mobil buat dipakai tur.

Chris Cornell bisa dibilang salah satu bukti nyata dari spirit itu. Sejak awal karir Pearl Jam, Chris selalu ada membantu mereka dan menjadi sahabat dekat Pearl Jam. Di konser 20 tahun Pearl Jam, Eddie Vedder sempat bilang bahwa Chris adalah orang pertama di luar band yang dia temui. Eddie adalah “orang luar” lingkaran Seattle, pun dia punya sifat pemalu dan introvert. Di konser itu juga, Chris Cornell diundang ke panggung menyanyikan Hunger Strike, lagu dari album kolaborasi dua band: Pearl Jam dan Soundgarden yang diberi nama Temple of The Dog.

Saya bukan fans Chris Cornell. Lagu-lagunya pun hanya sedikit yang saya tahu. Tapi, saya selalu menaruh hormat kepada dia. Di luar penampilannya yang macho dan kadang urakan dengan rambut gondrong kriwil dan kumis jenggot yang tak terawat, dia sepertinya adalah teman yang baik dan tulus. Saya rasa bukan hanya personil Pearl Jam yang merasakan dukungan dan pertemanan tulus dari Chris, tapi mungkin hampir semua pelaku musik Seattle.

Ketika mendengar kabar Chris berpulang kamis sore (18/05) waktu Indonesia, tak urung rasa sedih juga merayap ke dalam hati. Kehilangan Chris seperti kehilangan seorang sahabat, seorang panutan dan seorang kakak. Kehilangan itu semakin terasa ketika membaca kabar bahwa ada kemungkinan Chris Cornell mati bunuh diri.

Why? Why Chris? What happened?

Kematian Chris –kalau memang benar dia bunuh diri – akan menambah panjang daftar akhir hidup yang tragis para pelaku musik dari Seattle. Setelah Andy Wood, Kurt Cobain, Layne Staley, sekarang Chris. Siapa selanjutnya?

Anyway, so long Chris. Terima kasih untuk suara dan musik-musikmu yang menemani masa-masa remaja saya hingga sekarang. Saya memang bukan fansmu, tapi tetap saja ada rasa kehilangan. Mungkin di sana kamu akan bertemu lagi dengan Andy Wood, Kurt Cobain dan Layne Staley.

In my shoes, a walking sleep, and my youth, I pray to keep, heaven send, hell away, No one sings like you anymore