Depresi

foto dari Huftington Post

Depresi adalah sebuah bahaya yang kadang datang tanpa kita sadari, sampai akhirnya merenggut nyawa orang yang kita sayangi.

17 Mei 2017, Chris Cornell ditemukan meninggal di hotel tempatnya menginap. Hanya beberapa jam selepas konser terakhirnya bersama Soundgarden. Kata petugas medis, ada kemungkinan dia bunuh diri. Ketika ditemukan, Chris terkulai dengan ikatan di lehernya. Analisa ini tidak langsung dipercaya begitu saja oleh mereka yang sudah mengenal Chris cukup lama, termasuk para fansnya.

Dulu Chris memang termasuk pencandu obat-obatan dan peminum berat. Tapi sejak menyatakan diri bersih selepas rehabilitasi dan mengumumkan berhenti sebagai peminum, hidup Chris seperti lurus-lurus saja. Dia seperti begitu menikmati hidup bersama istri dan anaknya, menikmati proses penciptaan lagu-lagunya dan menikmati reuni bersama Soundgraden.

15 Mei 2017, Chris bahkan mengunggah status di akun Twitternya bertepatan dengan hari ibu di US. Status itu memuji Vicky –istrinya- sebagai ibu dan istri yang sempurna, dan ditutup dengan kalimat: I love you. So sweet kan?

Makanya, sulit percaya Chris sampai nekat mencabut nyawanya sendiri selepas konser di Dallas, kota yang kata dia sendiri adalah “Rock City”.

Belakangan Vicky memang berucap ke media kalau selepas konser, Chris sempat meneleponnya dan mereka mengobrol di telepon. Chris mengaku menelan pil penenang sedikit lebih banyak dari yang diresepkan dokter. Ternyata Chris memang sedang menjalani terapi untuk meredakan depresi dan kegelisahannya. Salah satu bagiannya adalah pil penenang yang malam itu (mungkin) dikonsumsinya lebih banyak dari yang seharusnya.

Sejak awal karirnya Chris memang sudah berhadapan dengan masalah depresi dan kegelisahan. Dia bukan orang yang terbuka dan cenderung sulit dimengerti oleh lingkungannya. Dia sendiri mengakui kalau musik adalah caranya menenangkan diri di antara orang-orang yang tidak dikenalnya.

Setelah puluhan tahun, depresi itu ternyata masih melekat dan mungkin saja jadi penyebab hilangnya nyawa Chris di usia 52 tahun.

Depresi yang Membunuh

Kematian tragis sepertinya jadi kawan akrab para musisi dari Seattle, atau lebih tepatnya lagi para pengusung skena Grunge. Mulai dari Andy Wood yang meninggal over dosis obat-obatan sebelum karirnya sempat melesat, kemudian dilanjutkan dengan tragedi menembak kepala sendiri yang dilakukan Kurt Cobain. Tragedi yang membuat nama Kurt abadi dan fenomenal hingga detik ini.

Setelahnya ada deretan kasus kematian tragis lainnya. Dari Layne Staley, Shannon Hoon, Scott Weiland dan paling buncit Chris Cornell.

Depresi sepertinya jadi masalah utama para musisi itu. Setidaknya itu juga yang menjadi penyebab Kurt Cobain bolak-balik mengonsumsi heroin dan berkali-kali mencoba bunuh diri. Mereka –atau sebagian dari mereka- sepertinya kesulitan berdamai dengan beban berat sebagai musisi tenar, berada di bawah sorotan lampu dan dipuja banyak orang.

Setidaknya Kurt merasa seperti itu.

Di penghujung hayatnya, Kurt merasa tidak menikmati lagi kehidupan sebagai musisi. Naik ke panggung, bernyanyi, disiram cahaya lampu dan menghadapi orang-orang yang berjoget tanpa tahu makna dari lagu yang dia nyanyikan. Sebagai pribadi yang aneh, semua itu kemudian mendorongnya melepaskan tembakan ke kepalanya sendiri.

Setidaknya itu yang kita tahu.

Betapa berbahayanya kata depresi itu. Pelan-pelan bisa membunuh. Mugkin awalnya hanya menurunkan mood, menghapus rasa senang dan meminggirkan rasa antusias. Lalu perlahan membuat penderitanya mulai kehilangan optimisme, memilih menepi dari keramaian hingga akhirnya memilih pergi untuk selama-lamanya.

Depresi menjadi lebih berat ketika menghampiri orang-orang yang memang cenderung tertutup dan punya isi kepala yang susah diterjemahkan. Orang-orang yang tidak bisa sembarangan bercerita pada siapa saja, tidak bisa seenaknya mengeluarkan isi kepalanya. Mereka adalah sasaran paling empuk dari depresi. Menggerogoti perlahan, nyaris tidak ketahuan. Sampai akhirnya, bum! Semua berakhir dengan kesedihan.

Beban berat kehidupan, masalah yang bertumpuk, popularitas yang tidak bisa ditanggungkan, tekanan dari lingkungan atau mungkin faktor genetik dikabarkan jadi pemicu utama depresi ini. Di Amerika Serikat depresi jadi gejala yang paling menakutkan dan dipercaya menjadi musabab dari beragam kasus. Dari kasus kematian, gangguan kesehatan hingga kasus kriminal. Negara maju lainnya seperti Korea Selatan juga pernah mencatat tingginya kasus bunuh diri karena depresi. Sialnya, itu terjadi pada kebanyakan penduduk berusia produktif atau katakanlah masih muda.

Indonesia juga sepertinya sudah mulai menghadapi gejala yang sama. Tingkat stress dan persaingan makin tinggi, sentuhan-sentuhan manusiawi makin menghilang, pola keakraban tradisional semakin menipis dan kebiasaan-kebiasaan menyendiri di kota-kota besar semakin meningkat.

Masih ingat kan kasus seorang bapak yang bunuh diri secara live di Facebook? Penyebabnya apalagi kalau bukan depresi. Bukan tidak mungkin di masa mendatang tingkat bunuh diri karena depresi makin meningkat di negeri ini.

Kalau tak awas, depresi memang sangat menakutkan. Dia seperti pembunuh berdarah dingin yang mengintai dengan sabar dan menyerang di waktu yang tepat. Gejalanya kadang tidak dikenali karena dia datang begitu pelan. Bermula dari hilangnya mood dan antusiasme, berlanjut ke gejala lain yang beragam hingga akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.

Jadi kawan, berhati-hatilah pada satu kata itu. Depresi sangat berbahaya dan bisa jadi penyebab banyak masalah lainnya, fisik maupun psikis.  [dG]