Ada Cinta dan Kerinduan di Bogor
Tapi Tuhan menyayangi kami. Hasley Hosen datang sebelum Pearl Man menuntaskan aksinya, tepat di ujung penampilan.
Jakarta lumayan panas hari itu. Sudah dekat jam 12 siang dan saya masih di stasiun Tebet, menanti commuter line menuju kota Bogor. Ada yang tidak biasa sehingga saya memutuskan menempuh jarak puluhan kilometer ke kota yang dulu terkenal sebagai kota hujan itu. Puluhan kilometer dari Jakarta, tapi ribuan kilometer dari Makassar tempat saya menetap.
Hari itu komunitas Pearl Jam Indonesia (PJID) menggelar acara di Bogor. Tepatnya di Allure Caf? jalan Jalak Harupat yang saya sendiri tidak tahu letaknya di mana. 1 Juli 2012, PJID sepakat untuk berkumpul di kota itu, sekadar menjalin silaturahmi sekaligus dirangkaikan dengan 2 event seru; penganugerahan blog PJID award 2012 dan satu lagi, peluncuran majalah RVM edisi kedua.
Lomba blog PJID digagas sekitar dua bulan lalu, niat utamanya adalah untuk menjaring animo masyarakat luas tentang scene grunge dan tentu saja tentang Pearl Jam. Panitia kecil yang dibentuk teman-teman PJID sumringah ketika tahu ada 45 tulisan yang terdaftar, separuhnya adalah tulisan yang sungguh berkualitas. Jangan lihat jumlahnya, karena pasti sangat kecil bila dibandingkan peserta lomba blog dengan hadiah puluhan juta rupiah. Tapi, menjaring 45 tulisan (kemudian hanya 44 yang lolos seleksi) tentang grunge dan Pearl Jam tentu bukan hal gampang di jaman ketika scene itu sudah melewati masa jayanya.
Kegembiraan lain bagi para lost dogs di PJID adalah ketika majalah RVM kembali terbit. Setelah edisi perdana di akhir 2011 kemarin, RVM sempat vakum sebelum kemudian beberapa orang berniat menghidupkannya kembali. Jadilah di awal Juni 2012 beberapa orang mulai menyibukkan diri untuk kembali membuat RVM tiba di tangan para pembacanya.
Edisi kedua ini lebih berbobot dari edisi perdana tentu saja. Jumlah halaman semakin bertambah, luas tema juga makin dilebarkan. Walhasil muncullah tulisan tentang kuliner, desain, fashion dan tempat nongkrong di edisi kedua ini. Sebuah proses pendewasaan yang sungguh nyaman dinikmati.
13:20, akhirnya saya menemukan caf? Allure. Bogor tidak sesulit yang saya bayangkan. Cafe yang lebih mirip rumah tinggal dengan eksterior tahun 40an itu belum terlalu ramai. Di depan sudah ada beberapa anak muda yang rupanya band Pearl Man yang akan tampil sebentar lagi. Mereka melempar senyum ke arah saya, mereka tahu saya fans Pearl Jam tentu dari kaos yang saya pakai.
Di dalam saya sempatkan dulu menyapa beberapa kawanan lost dogs yang sebagiannya sudah saya kenal. Sudah ada band yang tampil. Saya hanya dapat bagian ujungnya saja, ketika mas Reza mengakhiri nyanyiannya.
Selepas basa-basi dari MC yang hari itu ditumpahkan ke pundak Denny dan mas Reza, dua wanita cantik naik ke panggung. Di belakang mereka Arie siap dengan gitar akustiknya. Dua wanita itu adalah Dinar dan Palsay, mereka menamakan “proyek bunuh diri-nya” dengan nama Jeritan Adinda. Saya tidak tahu apa ini penampilan perdana mereka, tapi saya tahu mereka grogi. Lagu dari Collective Soul dan Stone Temple Pilots mereka bawakan dengan suara yang nyaris fals meski tidak sampai mengganggu pendengaran. Mereka tentu bukan Sean dan Regina yang bertarung di final Indonesian Idol, tapi dua wanita itu punya keberanian untuk mempermalukan diri mereka di depan kawan-kawannya sendiri. Sebenarnya tidak tepat bila dibilang mempermalukan diri, karena toh mereka tampil lumayan. Tepuk tangan membahana ketika mereka turun, tanda banyak yang menyukainya.
Selepas para adinda menjerit, tampillah band asal kota Bogor. Namanya Pearl Man. Dari tampilannya saya menaruh harapan besar kalau aroma magis dari lagu-lagu Pearl Jam akan segera memenuhi ruangan, apalagi itu acara PJID pertama yang saya ikuti.
Sayangnya saya berharap terlalu banyak. Rombongan dari Bogor itu memulai dengan Black. Musiknya lumayan, tapi sayang sang vokalis jauh dari lumayan. Entah grogi atau memang kurang jam terbang, sang vokalis bertubuh tinggi besar itu seperti merusak lagu mistis Black yang sebenarnya memang butuh kemampuan vokal lebih. Lagu berikutnya juga sama, suaranya belum mampu mengangkat mood anak-anak PJID yang berserakan di depan panggung.
Tapi Tuhan menyayangi kami. Hasley Hosen datang sebelum Pearl Man menuntaskan aksinya, tepat di ujung penampilan. Anak-anak PJID mendaulat lelaki jangkung berambut gondrong itu untuk menyumbangkan suaranya di lagu penutup; Rockin? in a free world. Suasana langsung panas. Vokal Hasley membakar semangat anak-anak PJID. Aliran panas dari lagu-lagu Pearl Jam mengalir deras lewat suara berat Hasley yang memenuhi ruangan. Tepuk tangan untuk sang penyelamat. Tepuk tangan juga untuk Pearl Man yang bermain bagus tapi sepertinya harus memikirkan untuk mengganti vokalisnya.
Disela dengan peluncuran majalah RVM edisi kedua, pesta siang itu kembali berlanjut. Kali ini dengan aroma yang berbeda. Ikhwan yang lebih populer dengan nama Kuda menggelandang beberapa anak-anak remaja tanggung naik ke panggung dengan ukulele di tangan. Mereka adalah komplotan Jakarta Ukulele yang biasanya berlatih dan berkumpul di taman Suropati. Beberapa lagu mereka mainkan, termasuk tentu saja lagu dari Eddie Vedder. Lumayan, penonton mampu menikmati suguhan lagu dengan aroma berbeda itu.
Selepas Jakarta Ukulele, naiklah seorang gitaris berkharisma yang sudah tidak asing bagi teman-teman PJID. Namanya Nito. Kali ini dia tampil seorang diri, membawakan lagu-lagu Pearl Jam dengan suara yang tidak mengecewakan bahkan cenderung melenakan. Suasana makin panas ketika Hasley kembali naik ke panggung menemani mas Nito. Baba O?riley membuat beberapa orang terbakar meski tidak sampai moshing atau head banging.
Setelah diselingi pengumuman dan penyerahan hadiah untuk para pemenang lomba blog, Razak naik ke panggung sendirian. Lelaki tambun berambut acak-acakan ini ternyata tampil menghibur. Suara beratnya memancing penonton untuk ikut bernyanyi. Penampilan sederhana tapi sungguh menghibur. Di penghujung penampilannya, Hasley kembali tampil. Dia jadi pelengkap penampilan Razak yang sebenarnya sudah cukup membakar. Salut untuk lelaki tambun berambut acak-acakan itu.
Dan Supergrup akhirnya tampil juga. Band dadakan hasil racikan Denny itu tampil sebagai pamungkas. Beberapa hari sebelumnya Denny sudah mengungkapkan kebingungannya mengurusi anak-anak Supergrup yang katanya susah diatur itu. Meski katanya susah diatur, tapi ternyata mereka tampil sangat lumayan. Hebatnya lagi karena mereka membawakan lagu-lagu Pearl Jam yang sangat jarang dibawakan oleh Pearl Jam sendiri seperti Sometimes dan Faithfull.
Saya tidak sampai habis menikmati penampilan Supergrup. Jarak Bogor-Jakarta harus saya pangkas sesegera mungkin karena masih ada agenda yang menunggu. Setelah pamit kepada anak-anak PJID saya meninggalkan caf? Allure. Sayup-sayup masih terdengar suara Supergrup yang masih betah menghibur para lost dogs sore itu.
Ada aroma berbeda yang saya rasakan siang sampai sore hari itu. Itu kali pertama saya ikut dalam acara PJID dan saya tahu kalau aroma itu adalah aroma rindu dan cinta. Mereka dan saya rindu pada Pearl Jam, mereka dan saya sudah menunjukkan betapa kami mencintai band dari Seattle itu. Kami belum berputus harapan suatu hari nanti entah mereka yang datang ke Indonesia atau kami yang mendatangi mereka.
Pokoknya Pearl Jam, titik!
[dG]
Wuih! Mantap gan! Akhirnya dirimu bisa menikmati acara PJID secara penuh, hahaha!
Hahaha, itupun gak sampe abis..
tar deh, PJN VII gw jabanin sampe abis
wah, pecinta Pearl jam ternyata masih ada dinegeri ini ya…
Say jadi inget masa2 sekolah dulu 🙂
masih ada dong mas..masih aktif malah
hihihi