Wamena, Di Suatu Masa
Tentang sebuah kota yang kerap disebut sebagai “jantungnya Papua”. Kota Wamena yang menyimpan banyak cerita.
PAGI MENYAPA KOTA WAMENA, ibu kota kabupaten Jayawijaya, Papua. Saya dan teman-teman tim keluar meninggalkan hotel sekira pukul 08:30 WIT. Beberapa anak SMP duduk berkumpul di tepi jalan. Sudah jam belajar, tapi mereka masih berada di luar kelas. Hotel yang kami tempati memang berada tidak jauh dari sebuah SMP. Jalanan sepi, toko-toko tutup. Tidak ada keramaian yang menandakan adanya denyut kehidupan sebuah kota.
“Kemarin ada kejadian di pasar Wouma. Ada kerusuhan, katanya ada korban orang Batak,” kata pak Moko, seorang sejawat yang memang berdiam di Wamena. “Makanya toko-toko tutup, sekolah juga kayaknya diliburkan,” sambungnya.
Oh, pantas saja kehidupan pagi itu tidak seperti kehidupan biasanya. Sepi dan murung.
Dari cerita pak Moko dan kemudian Rio – sejawat lainnya yang seorang Labewa (lahir besar Wamena) – kami memperoleh cerita yang lebih lengkap. Sehari sebelumnya, sekelompok pemuda berkumpul di dekat pasar Wouma. Mereka menenggak minuman keras dan ketika sudah mulai dipengaruhi alkohol mereka mulai membuat keributan di pasar. Beberapa orang kemudian menelepon polisi, berharap kedatangan petugas bisa menenangkan anak-anak muda yang mulai meresahkan itu.
Petugas memang datang, tapi anak-anak muda yang sedang dimabuk alkohol itu tidak lantas menyerah. Mereka malah menyerang petugas dan terjadilah bentrok. Pemuda dengan panah, batu dan parang serta polisi yang mencoba bertahan tidak menembakkan timah panas. Dua orang pekerja konstruksi bersuku Batak melintasi arena pertikaian, berharap bisa lolos karena toh mereka tidak ada kaitannya dengan keributan itu. Tapi mereka salah. Keduanya justru seperti mengantar nyawa. Satu orang meninggal di tempat, terkena bacokan anak-anak muda yang sudah kalap di bawah pengaruh alkohol, sementara satu lagi selamat meski dalam keadaan kritis.
Selain kedua pekerja konstruksi itu, dua orang tentara juga menjadi korban. Mereka melintas dan kemudian terjebak dalam kekacauan itu. Satu orang luka parah dan kritis, satu lagi berhasil menyelamatkan diri.
Beberapa orang ditangkap selepas kerusuhan di hari Rabu 24 April 2019 itu. Keesokan harinya, orang-orang Batak berkonvoi menuju kantor Polsek Jayawijaya. Mereka menuntut keadilan, menuntut pelakunya dihukum seberat-beratnya.
Situasi memanas di pagi yang sejuk di kota Wamena.
Kenangan Buruk Wamena Berdarah 2000
Di tempat lain, kerusuhan seperti yang terjadi di Wamena itu mungkin tidak akan sampai menimbulkan ketegangan. Sekadar “kekacauan biasa” yang disebabkan anak-anak muda berandalan. Sekali ditangani aparat, keadaan akan langsung aman.
Tapi tidak di Wamena.
Apalagi, kejadian itu terjadi di pasar Wouma. Pasar yang menyimpan kenangan buruk Wamena Berdarah tahun 2000. Dari cerita beberapa orang, kerusuhan tahun 2000 itu adalah kerusuhan terburuk di Wamena yang terjadi dalam 20 tahun belakangan. Ratusan orang meninggal dunia, ribuan lainnya terpaksa mengungsi dari Wamena. Korban jatuh di kedua pihak, baik mereka yang Orang Asli Papua (OAP) maupun para pendatang.
Semua berawal dari bendera-bendera “Bintang Kejora” yang dinaikkan di banyak tempat di sekitar Wamena. Mereka berkilah, presiden Gus Dur sudah memberi izin untuk menaikkan bendera yang bagi mereka adalah identitas Papua. Tapi aparat bersikeras melarang karena bendera itu dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka. Ketegangan mulai meningkat, apalagi karena ada pasukan OPM di bawah Goliath Tabuni yang ikut ambil bagian. Pasukan ini diberi nama “Pasukan Koteka.”
Baca juga kejadian paling dekat saya bertemu dengan OPM di sini.
Hingga akhirnya bentrokan bernada rasial pecah juga. Dimulai dari pasar Wouma dan menyebar hingga ke seluruh kota Wamena. Ratusan orang meregang nyawa, tertusuk parang, tertembus panah bahkan sampai kepala terpenggal. Para pendatang terdesak, aparat kewalahan. Ribuan orang memaksakan diri keluar dari Wamena dengan menumpang pesawat Hercules. Ketika akhirnya bantuan aparat TNI datang dari gunung-gunung, jumlah korban semakin bertambah. Kali ini dari pihak OAP.
Tidak heran kalau kejadian di pasar Wouma April kemarin sempat membuat seisi kota tegang. Bayangan buruk kejadian Wamena Berdarah 2000 kembali terbayang.
“Abang, malam ini tidak usah makan di luar. Saya dapat info dari Polsek, Wamena sedang siaga 1.”
Sebuah pesan dari teman mampir di handphone saya. “Wah, nampaknya ini serius,” kata saya dalam hati. Dan benar saja, malam itu suasana memang jauh lebih senyap dari malam-malam sebelumnya. Tidak banyak orang yang lalu lalang meski sebenarnya setiap malam pun Wamena tidak terlalu ramai. Wamena akan berubah jadi kota sepi setiap malam turun. Cuaca yang dingin jadi salah satu penyebabnya, selain karena banyaknya kejadian tidak mengenakkan di malam hari. Orang bilang tingkat kejahatan cukup tinggi di Wamena karena banyaknya orang-orang mabuk di sekujur kota. Mereka ini bisa saja memalak Anda, memaksakan kehendak bahkan sampai melukai.
Di hari biasa saja Wamena tidak terlalu ramai di malam hari, apalagi ketika ada kejadian yang membuat semua orang siap siaga.
Beruntung ketegangan itu tidak berumur panjang. Dua malam setelah kejadian di pasar Wouma, Wamena kembali seperti sediakala. Toko-toko mulai buka seperti biasa, anak-anak bersekolah seperti tidak ada kejadian apa-apa, dan malam hari denyut kehidupan masih terasa seperti biasa. Ketakutan akan terulangnya kejadian di Wamena tahun 2000 tidak jadi kenyataan.
Semua bisa menghela napas lega.
Kota Tua di Pegunungan Papua.
Bicara Wamena berarti bicara tentang sebuah kota tua di pegunungan Papua. Kota yang usianya hampir sama dengan Enarotali di bagian barat. Kalau Enarotali di bagian barat, maka Wamena di bagian timur. Wamena adalah kota yang pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh orang kulit putih di tahun 1930an. Mereka menemukan kehidupan di tengah lembah Baliem yang berbentuk seperti mangkuk itu. Sejarah mencatat, itulah kali pertama Lembah Baliem menjalin hubungan dengan dunia luar.
Wamena baru benar-benar menjadi kota di tahun 1950an. Tahun 1955 tentara Belanda di bawah pimpinan Frits Veldkamp mendarat di Wamena dan kemudian mendirikan pos pemerintahan. Sampai sekarang, tanggal 10 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Wamena.
Kata Wamena sendiri berasal dari dua suku kata “Wam” yang berarti babi serta kata “Mena” yang berarti jinak. Jadi bila digabungkan, maka kata Wamena berarti babi jinak. Ada beberapa versi dari munculnya nama Wamena ini.
Salah satunya adalah cerita ketika rombongan ekspedisi kulit putih itu berjalan kaki dan menemukan sebuah perkampungan yang kala itu bernama Ahumpua, mereka bertemu dengan sekelompok anak-anak yang sedang bermain di padang rumput bersama babi.
Anggota rombongan itu bertanya tentang nama tempat tersebut, tapi karena kendala bahasa oleh anak-anak itu malah dijawab “tu wam mena” atau itu adalah babi jinak. Anak-anak itu mengira sang pendatang berkulit putih itu menanyakan tentang babi mereka. Sejak itulah, daerah yang awalnya bernama Ahumpua kemudian diganti dengan nama Wamena.
Itu hanya salah satu versi, masih ada beberapa versi lain.
Terletak di ketinggian antara 1600 mdpl hingga 1800 mdpl, cuaca Wamena tergolong sejuk. Suhu berkisar antara 16° hingga 26°. Di waktu tertentu, embusan angin dari pegunungan yang kerap disebut “angin Kurima” (karena berembus melewati distrik Kurima) akan sangat menusuk tulang.
Wamena adalah kota paling ramai di pegunungan Papua. Kota pertama di pegunungan tengah Papua yang punya bandara besar yang bisa didarati pesawat Boeing. Wamena bahkan punya mall meski saat ini sepertinya terbengkalai. Wamena dan Jayawijaya adalah induk dari 10 kabupaten pemekaran lain di pegunungan tengah Papua bagian timur.
Dahulu kota ini dijuluki “Kota Bunga”, karena banyaknya bunga-bunga yang mekar indah di rumah-rumah warga atau bahkan di tepi jalan. Ini cerita dari seorang teman yang dulu sering menghabiskan masa kecilnya di Wamena, sekira tahun 1970an hingga 1980an. Wamena pun terkenal sebagai pemasok sayuran kelas satu ke kota Jayapura dan kota-kota lain di pesisir Papua. Tanah Wamena yang subur dan sejuk memungkinkan semua sayuran dan bunga itu tumbuh dengan senang hati.
Tapi itu dulu.
Sekarang, sudah sulit menemukan bunga-bunga di sekujur kota ini. Debu, jalanan yang bolong dan gedung-gedung berdinding beton menggantikan semua kesederhaan dan kebersajahaan kota Wamena. Udara sejuk pun tidak selalu hadir. Ketika tiba di Wamena bulan April kemarin, kami bisa menghabiskan malam dengan selembar kaos oblong di badan. Tidak perlu jaket karena dinginnya malam tidak terlalu menusuk. Tidak seperti Wamena yang saya dengar dan saya kenal sebelumnya.
Wamena adalah kota yang – saya bilang – korban dari modernisasi. Kota ini mengejar ketertinggalan, memoles diri menjadi kota yang maju, sama seperti kota di pesisir Papua. Tapi, Wamena meninggalkan banyak hal. Meninggalkan kesederhanaan, kebersahajaan dan mungkin banyak lagi hal lainnya. Wamena menyisakan banyak pekerjaan rumah untuk pemerintahnya dan semua yang tinggal dan mencintai kota itu. Masalah sosial, kesenjangan antara pendatang dan pribumi, kerusuhan rasial yang seperti api dalam sekam, dan banyak lagi.
Sayang sekali jika kota ini akan terus mengadopsi masalah di kota besar lainnya. Bergerak mengejar modernisasi dan merelakan banyak hal baik lepas begitu saja. Saya hanya berharap, Wamena akan tetap menjadi kota indah di pegunungan tengah Papua yang akan selalu dikenang sebagai jantungnya Papua. Kota yang menjadi induk dari banyak kabupaten baru di sekitarnya. Kota yang akan menyambut semua orang yang datang dengan udara yang sejuk dan semoga saja bunga-bunga yang bermekaran indah di sekujur kotanya.
Karena buat saya, Wamena adalah mutiara di jantung Papua. [dG]
Bagus tulisannya om. Jadi rindu, ingin pulang…
Sadisnya nak muda Wamena kalau sudah mabuk..So Pity, orang tidak ada sangkut pautnya jadi mangsa mereka.,Polisi ingin tembak juga tapi tempat keramaian kayaknya..
Meskipun belum pernah kewamena tapi selalu dengar2 ceritanya juga sih meski visualnya masih samar. Wamena keren di kak udah ada bandara sendiri ada tommi juga tawwa kurir2 nya akankah nanti gojek dan grab masuk? ?
Penasaran sekali mau ke Papua tapi di sisi lain juga sangat takuuut hihihi Setiap dg ipul tulis sesuatu tentang papua semakin penasaran mau kesanaaaa
Alhamdulillah, ketegangan gak berlangsung lama.
Btw, suka sekali baca ceritanya tentang sejarah Wamena. Kebayang di era 70-80’an mungkin Wamena seperti Malino ya?
Saya hanya tahu Wamena itu dari sepakbolanya. Tim sepakbola yang hampir 90% memenangkan pertandingan saat main di kandang. Faktor cuaca dingin menjadi nilai plus bagi tuan rumah.
Untuk masyarakatnya dan khususnya tragedi tahun 2000 malah baru tahu dari cerita ini. Ternyata selain di Ambon, Poso, Sampit, di Wamena pun ada tragedi kelam yang seperti itu. Meski tidak sama pemicunya.
Jadi ungat kejadian amarah ya yg pernah di umi, april makassar berdarah yg juga menelan bnyk korban
bisa separah itu y kak kejadiannya. penasaranka jdnya knp bs sensitif skali klo didaerah sna, apa krn pendidikannya? perilaku masyarakat mmg bgtu dr dlu atau gmn?
Selalu takjub dengan cara Daeng mengabadikan Papua. Saya saja yang lahir dan besar di Papua tidak bisa mengabadikan Papua seindah ini, malah “pengetahuan” saya tentang Papau cuma di Serui saja. Saya bahkan tidak tahu sama sekali dan baru tahu lewat postingan Daeng ini, ternyata tahun 2000 pernah terjadi peristiwa berdarah di Wamena ya.
Duh, rada ngeri juga ya tinggal di daerah rawan konflik kayak di Wamena. Untungnya di Serui nggak serawan itu, tapi yah orang Papua memang terkenal suka mabuk-mabukan. Termasuk di Serui juga tapi kayaknya sampai saat ini kayaknya belum ada kejadian seperti kejadian di Wamena, gara-gara mabuk sampai orang yang tidak bersalah juga jadi korban.
Eh tapi baru-baru kejadian di Serui ditemukan korban mutilasi, pelakunya si pacar korban sendiri sih. Tapi mungkin juga gara-gara pengaruh alkohol sampai bisa melakukan kejahatan sesadis itu.
Upst maaf kalau komen saya kepanjangan dan ada typonya?