Ketika Bayi Masuk Bioskop
Membawa bayi dan balita ke dalam bioskop saat penayangan film dewasa sangat tidak bijak menurut saya. Bisa mengganggu kenyamanan penonton lainnya.
AKHIRNYA SAYA PUNYA KESEMPATAN MENONTON AVENGERS; END GAME. Ketika film ini pertama tayang di bioskop, saya sudah harus terbang kembali ke Papua dan malah langsung ke Wamena. Tidak ada bioskop di sana, jadi tentu saja saya harus melewatkan kesempatan menontonnya. Harus pasrah pada cerita tipis-tipis teman dan orang-orang di media sosial yang sudah lebih dulu menonton.
Avengers; End Game adalah salah satu film yang paling saya nantikan tahun ini. Begitu juga jutaan orang lainnya. Kisah akhir perjalanan super hero lintas galaksi melawan kejahatan yang sudah dibangun sejak 11 tahun lalu. Puncak pertarungan tentu dinantikan setelah perjalanan kisahnya sudah sangat membuat penasaran.
Setelah semua kegiatan selesai, saya sudah kembali ke Jayapura dan libur 1 Mei menghampiri. Maka, itulah waktu yang saya rasa paling pas untuk menonton Avengers; End Game. Nonton sendiri di kota Jayapura. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak saya lakukan. Saya bukan tipe yang suka nonton bioskop sendirian. Kalau mau nonton sendirian, mending saya nonton di kamar saja.
Ramai di Bioskop
Saya tiba di Mall Jayapura sekira pukul 10:30. Saya sudah memesan tiket untuk pertunjukan pukul 11:15. Masih ada waktu sekira 45 menit. Suasana bioskop sedang ramai-ramainya, maklum hari libur. Ratusan orang memadati satu-satunya bioskop di kota Jayapura itu. Sebagian dari keramaian diisi anak-anak kecil di bawah 10 tahun. Seluruh layar yang berjumlah tujuh itu semua menayangkan Avengers; End Game. Tidak ada film lain. Berarti anak-anak kecil itu juga siap untuk menonton film yang sama meskipun sebenarnya jelas sekali kalau film itu diperuntukkan bagi mereka yang berusia 13 tahun ke atas.
Pukul 11:10 pengumuman bergema, panggilan untuk mereka yang sudah membeli tiket pertunjukan di Studio 3. Saya sudah duduk di kursi kegemaran saya, C9. Saya suka deretan C dan nomor 9 karena posisinya yang pas di tengah studio sehingga sudut saya ke layar terasa pas.
Tidak lama sepasang pasutri muda berkulit kuning terang datang. Mereka duduk deretan yang sama dengan saya, sang suami yang menggendong bayi mungil bahkan duduk tepat di samping saya. Di sebelahnya si istri dengan seorang anak balita juga duduk manis.
“Duh..” saya bergumam dalam hati. Tiba-tiba merasakan firasat buruk.
Seorang bayi dan balita tepat di samping saya, di dalam gedung bioskop. Sebuah perpaduan yang entah kenapa membuat saya kuatir tidak bisa menikmati film dengan nyaman.
Seluruh lampu akhirnya dimatikan. Film mulai diputar. Saya berusaha menyingkirkan pikiran buruk dan berharap si bayi dan si anak balita bisa duduk tenang sepanjang pemutaran film. Saya mulai konsentrasi menyaksikan Clint Barton mengajari anak sulungnya memanah. Saya lirik ke sebelah, si bayi yang sudah bisa duduk di pangkuan masih tenang. Pipi mungilnya yang menggemaskan tersiram cahaya dari layar.
Kira-kira 15 menit film diputar, si bayi di samping saya mulai rewel. Dia merengek, mungkin tidak nyaman. Saya lirik lagi, bapaknya berusaha menenangkannya. Tidak berhasil, karena si bayi makin keras merengek, bahkan mulai menedang-nendang sambil berdiri. Duh, saya benar-benar sudah mulai kehilangan konsentrasi.
Saya lirik lagi, pasutri itu mulai bertukar peran. Si bayi diambil ibunya, sementara si balita diambil bapaknya. Si balita masih bisa tenang di pangkuan bapaknya karena rupanya orang tua mereka membekalinya dengan handphone. Si balita bermain gim di handphone, di dalam bioskop yang gelap gulita! Cahayanya jelas sangat mengganggu. Ditambah lagi suara dari handphone dan tawa riang si balita.
Tuhan! Saya benar-benar terganggu, kehilangan kenyamanan menonton. Si bayi makin rewel dalam gendongan ibunya, suaranya mengalahkan suara Tony Stark yang sedang berdiskusi dengan teman-teman avengersnya yang tersisa.
Demi menenangkan si bayi, pasutri itu membuatkan susu. Iya, membuatkan susu! Si bapak menyalakan senter dari handphone untuk membantu istrinya menyiapkan susu dari tas yang mereka bawa. Senter di dalam teater yang sedang menayangkan film saudara-saudara!
“Tidak sekalian gelar tikar saja nih bro?” Tanya saya. Tapi tentu saja dalam hati. Saya benar-benar sudah kesal dan bahkan sudah mulai melihat-lihat kalau-kalau ada bangku lain yang kosong. Tapi, ini kursi favorit saya. Masak saya yang harus mengalah?
Adegan membuat susu sudah selesai, si bayi mulai tenang. Tinggal si balita yang masih asyik bermain gim di handphone. Saya berusaha menahan diri dan berusaha mencoba kembali konsentrasi menonton film. Tidak lama kemudian si ibu dengan bayinya keluar studio, saya tidak peduli apa alasannya. Saya berusaha menikmati film seperti tujuan saya ke sana. Entah berapa menit kemudian, si ibu masuk lagi bersama si bayi. Dia rupanya meminta botol susu dari suaminya lalu keluar lagi. Meski singkat, tapi adegan itu cukup membuyarkan konsentrasi.
Saya masih menikmati film yang sedang diputar meski di samping saya si balita masih asyik bermain gim di handphone. Lalu tak lama kemudian si suami berdiri, mengemasi barang-barangnya dan keluar dari studio. Dia dan keluarga kecilnya tidak pernah kembali lagi sampai film habis. Saya hitung kira-kira hanya 30 menit mereka ada di dalam studio. Tiga puluh menit yang lumayan mengganggu.
Tapi syukurlah bahwa akhirnya mereka keluar sebelum saya bertambah kesal dan menambah dosa.
Bolehkah Membawa Bayi ke Bioskop?
SAYA JUGA PERNAH PUNYA ANAK BAYI dan saya sangat menghargai peran seorang ibu. Saya juga tahu kalau punya bayi dan balita itu melelahkan, menguras energi. Wajar bila orang tua (utamanya ibu) kemudian merasa butuh pelarian sejenak. Keluar dari rutinitas yang begitu melelahkan, nyaris 24 jam sehari.
Tapi, menyenangkan diri dengan mengorbankan kenyamanan orang lain tentu tidak bijak bukan? Alih-alih mendapatkan simpati, bisa-bisa malah kesan jelek yang dibawa pulang. Kesan jelek dari mereka yang merasa kenyamanannya terganggu.
Saya tidak anti anak kecil di bioskop. Tidak ada masalah sepanjang konteksnya memang pas. Saat pemutaran film anak-anak misalnya. Wajar kalau bioskop dipenuhi anak kecil dan mereka bertingkah seperti layaknya anak kecil di dalam studio. Karena itu memang buat mereka. Tapi, kalau film untuk remaja apalagi film dewasa? Tentu konteksnya berbeda kan?
Kemarin pun, saat film sudah setengah main beberapa anak-anak yang nampaknya mulai bosan duduk tenang di kursi mulai bermain kejar-kejaran di ruang kosong di depan layar. Untung saja tidak lama, jadi belum sampai benar-benar mengganggu.
Baca juga: 7 Hal Yang Sebaiknya Tidak Dilakukan di Dalam Bioskop
Membawa bayi ke dalam studio risikonya besar. Iya kalau bayinya bisa tenang tidur sepanjang pemutaran film. Tapi kalau dia merasa terganggu? Toh suara studio diatur sedemikian rupa agar mengeluarkan kualitas suara yang menggelegar dan saya yakin akan membuat bayi kurang nyaman. Mungkin bahkan bisa memengaruhi pendengarannya. Karena tidak nyaman, dia pasti akan rewel dan menangis keras. Kalau sudah begitu bukan cuma orang tuanya yang tidak nyaman, satu bioskop pun bisa tidak nyaman, kan?
Jadi bapak-bapak dan ibu-ibu yang punya anak kecil, tolonglah dipertimbangkan kalau mau membawa anak kecil ke dalam bioskop. Sesuai imbauan dari pemilik bioskop untuk menonton film sesuai kategori umur. Membawa anak kecil menonton film untuk anak-anak tentu tidak masalah. Bahkan jika akhirnya mereka akan rewel di dalam bioskop, orang tidak bisa protes karena itu adalah sifat anak-anak. Tapi, membawa anak kecil menonton film remaja apalagi film dewasa, tentu tidak bijak bahkan bisa sangat mengganggu.
Kalau kamu ingin dihargai, maka hargailah dulu orang di sekitarmu. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bisa menghargai manusia lainnya. Demikian, semoga bisa menjadi pertimbangan. [dG]
Orang tua harusnya paham dengan aturan seperti ini. Namun, nggak sedikit yang tidak peka dengan aturan. Banyak loh yang tidak hanya membawa balita, tapi anak di bawah umur tapi nontonnya dilm dengan aturan misalnya dewasa dll. Nasibbb
suka kesel juga sih kalau liat ada orang bawa2 anaknya ke bioskop padahal yang ditonton adalah film remaja atau dewasa.. pengen ngomelin tapi ga berani juga wkwkwk..
-Traveler Paruh Waktu