Membandingkan Jalanan Makassar dan Jayapura
Agak mengherankan buat saya karena ternyata jalanan Jayapura terasa lebih beradab dari jalanan di Makassar.
SUATU HARI DI JAYAPURA. Saya pulang dari kantor menumpang angkutan umum, di sana disebut taksi. Angkutan umum itu adalah sebuah mobil L300 yang kadang juga disebut sebagai mini bus. Saya duduk di baris pertama tepat di belakang supir sehingga bisa melihat dengan jelas jalanan di depan dan semua kegiatan pak supir. Semua biasa saja, sampai kemudian sebuah peristiwa di sebuah titik jalan berhasil menarik perhatian saya.
Pak supir – yang saya taksir berasal dari daerah di Sulawesi Selatan – berhenti sejenak. Dia memberi kesempatan kepada sebuah mobil dari arah kanan yang akan memotong jalan. Mobil itu baru keluar dari lorong dan akan bergabung dengan jalur kiri seperti yang dipakai si supir. Mobil yang itu memotong jalan dan kemudian masuk ke jalur tepat di depan angkot yang kami tumpangi.
Karena mobil yang memotong jalan itu sudah lewat, harusnya supir angkot kami meneruskan perjalanan. Tapi ini tidak. Dia masih berhenti, kali ini memberi jalan kepada sebuah mobil dari sebelah kiri yang memotong jalur kami karena akan masuk ke jalur kanan. Mobil itu juga baru keluar dari lorong. Ketika mobil itu berhasil masuk ke jalur kanan kami, supirnya membunyikan klakson tanda terima kasih yang segera dibalas dengan klakson yang sama dari supir angkot kami. Kedua supir itu bahkan sempat bertukar senyum sebelum masing-masing melanjutkan perjalanan.
Buasnya Jalanan Makassar.
Kejadian di atas sontak menumbuhkan kekaguman dalam hati saya. Bukan apa-apa, ini kejadian yang sulit saya temui di kota Makassar, ketika pengguna jalan dengan dada yang sangat lapang mau memberikan jalan kepada pengendara lain yang akan memotong jalur mereka. Dua kali pula! Dan itu dilakukan oleh supir angkot, salah satu pengguna jalan yang selalu dituduh paling buas di jalan raya.
Di Makassar, para pengguna jalan biasanya berubah menjadi spesies yang paling egois. Mereka nyaris kehilangan tenggang rasa, menggunakan semua kesempatan sekecil apapun agar kendaraan mereka bisa tetap melaju. Persetan dengan orang lain yang juga sama-sama menggunakan jalan. Ketika ada kemacetan, maka para pengguna jalan akan berusaha sekeras mungkin untuk mencari celah yang tersisa, lalu memaksakan kendaraan mereka masuk ke sana. Terutama para pengguna motor yang tubuh kendaraannya lebih kecil.
Belum lagi klakson. Pengendara di Makassar entah kenapa hobi sekali menggunakan klakson.
Saya pernah bercanda dengan bilang kalau di lampu merah, kita tidak perlu melihat lampu sudah hijau atau belum. Cukup dengan mendengarkan suara klakson. Kalau suara klakson kendaraan sudah menggema bersahutan, itu artinya lampu sudah hijau. Para pengendara yang ada di baris agak di belakang biasanya akan berlomba-lomba membunyikan klakson begitu lampu berubah menjadi hijau. Sebagai penanda kepada mereka yang ada di baris depan agar secepatnya berjalan. Mereka seperti berprasangka kalau kendaraan yang ada di depan ini akan tetap berhenti meski lampu sudah hijau.
Parahnya, kebiasaan ini juga terbawa ketika macet. Satu per satu kendaraan akan mulai membunyikan klakson, seakan-akan dengan membunyikan klakson maka tiba-tiba macet akan terurai dengan sendirinya. Mungkin mereka juga mengira kendaraan yang di depan sengaja membuat jalanan macet, makanya mereka perlu diingatkan dengan membunyikan klakson.
Hal-hal ini yang kadang membuat saya begitu stress ketika berada di jalan raya di Makassar. Apalagi di siang hari yang panas. Susah payah saya menahan diri supaya tidak terbakar emosi.
Kita belum bicara para pengendara motor yang kadang dengan begitu santainya melawan arus hanya karena malas berputar agak jauh. Jumlahnya bukan cuma satu dua, tapi berombongan. Sudah begitu mereka merasa paling jago, pula. Ditegur malah lebih galak.
Oh Tuhaaan.
Hal Berbeda di Jayapura.
Ketika pertama kali tiba – untuk tinggal – di Jayapura awal tahun lalu, saya mulai merasa ada yang aneh dengan jalanan di ibukota provinsi Papua ini. Jalanannya lumayan ramai, khas kota besar. Tapi ada bedanya. Para pengendara di sana relatif lebih sopan. Saya jarang sekali mendengar suara klakson, apalagi yang bernada panjang mengisyaratkan kemarahan atau rasa jengkel.
Ketika menyeberang jalan, saya sering mendapati kendaraan yang benar-benar berhenti karena memberi kami jalan untuk menyeberang. Dan ini sesuatu yang sulit saya temui di Makassar. Pun ketika beberapa kali membawa kendaraan sendiri dan akan berputar di U-Turn, kendaraan dari arah depan biasanya akan berbaik hati untuk berhenti dan membiarkan kita berputar dulu sampai selesai. Jujur, saya jarang menemukan hal seperti ini di Makassar. Di kampung saya, kendaraan sebisa mungkin akan mengambil jalur sekecil apapun bahkan ketika orang lain membutuhkannya.
Baca juga: Menjadi Korban Banjir di Jayapura
Hal lain lagi yang saya temui di jalan di Jayapura adalah kurangnya pengendara yang membunyikan klakson ketika jalanan macet. Padahal macet juga jadi salah satu ciri khas jalanan di Jayapura, meski memang tidak separah Makassar, apalagi Jakarta.
Pengendara di Jayapura akan menikmati macet dengan sabar. Setidaknya tidak memproklamirkan kekesalan mereka. Memang sekali dua kali saya menemukan supir yang ngomel-ngomel karena macet, tapi mereka tidak sampai merasa perlu memencet klakson untuk memberitahukan orang lain kalau mereka kesal.
Satu lagi kejadian yang sempat membuat saya kagum.
Suatu hari dalam perjalanan ke bandara Sentani, kami melewati jalanan yang macet di sekitar Waena. Semua mobil berjalan pelan bahkan sempat berhenti total. Ada pengerjaan jalan yang membuat jalan menjadi sempit dan mengakibatkan macet. Herannya, semua mobil antri dengan tenang di jalur mobil, sementara jalur kiri untuk motor dibiarkan lengang. Kosong melompong.
Di Makassar, bila hal ini terjadi saya bisa memastikan kalau jalur kiri yang kosong itu juga akan dipenuhi oleh mobil yang tidak sabar menunggu macet terurai. Mereka pasti akan memaksakan diri mengambil jalur kiri yang seharusnya adalah hak pengendara motor. Pokoknya tidak boleh ada ruang atau celah yang disia-siakan.
Karakter Warga Kota?
Kata Oprah Winfrey, kalau mau tahu karakter warga sebuah kota maka lihatlah perilaku pengendaranya di jalan raya. Sedikit banyaknya ini benar. Saya sudah cukup banyak mendatangi kota-kota di Indonesia dan saya bisa bilang kalau jalanan kota Makassar bisa masuk sebagai salah satu jalanan paling buruk di Indonesia. Perilaku pengendaranya tidak sabaran dan kadang sampai tidak mengindahkan kebutuhan pengendara lain.
Apakah ini berhubungan dengan karakter warga? Bisa jadi. Orang Bugis-Makassar yang jadi penghuni mayoritas kota Makassar terkenal dengan karakter yang keras dan tanpa basa-basi. Kami juga terkenal sebagai orang yang selalu berusaha memanfaatkan kesempatan sekecil apapun dan selalu berusaha bergerak dinamis. Itu juga yang terbawa ke jalan raya. Kami tidak akan melewatkan celah sekecil apapun selama itu bisa membuat kendaraan kami bergerak.
Lalu bagaimana dengan Jayapura? Ini yang mengherankan buat saya.
Selama ini orang Papua sudah distigma sebagai orang barbar, kasar dan keras. Tapi perilaku mereka di jalan raya justru berkebalikan. Memang sebagian pengguna jalan di Jayapura bukan orang asli Papua. Sebagian adalah pendatang, lebih banyak pendatang dari Sulawesi Selatan. Mungkin bila berkendara di kampung sendiri, mereka akan ugal-ugalan seperti pengendara di Makassar. Tapi ketika berada di Jayapura mereka jadi lebih selow dan sopan.
Saya menduga ini ada kaitannya dengan tuntutan hidup. Kota besar seperti Makassar, tuntutan dan persaingan sudah sangat tinggi sehingga mau tidak mau terbawa ke kebiasaan warganya. Semua orang jadi merasa harus bergerak cepat, memanfaatkan semua kesempatan sekecil apapun. Berbeda dengan Jayapura yang ritme kehidupannya masih lebih lambat dan selow. Pengendaranya pun merasa tidak perlu terlalu keras bersaing. Santai saja, toh nanti akan sampai juga.
Memang perlu penelitian lebih mendalam soal ini. Apakah yang sebenarnya memengaruhi perilaku warga di jalan raya? Karakter umum warga pengguna jalan, atau tingkat kemajuan sebuah kota? Sampai sekarang saya belum menemukan literatur tentang itu.
Satu hal yang pasti, saya merasa lebih nyaman membawa kendaraan di Jayapura daripada di Makassar. [dG]
ada dua tempat yang biasanya saya usahakan kunjungi jika berada di sebuah kota. pasar dan pemakaman, jika memungkinkan. dua tempat itu biasanya menggambarkan bagaimana peradaban kota itu berlangsung. dan yap, jalanan dan pasar juga menggambarkan karakter orang – orang di sebuah kota.
heh? pemakaman? kenapa?
Waktu posting di facebook atau apa tentang lengangnya saty jalur dan tetap antre dikemacetan itu membuatku luar biasa salut. Di kota-kota besar (khususnya di Jawa), pemandangan seperti ini sangat langka.
hahaha iya, sama kayak Makassar dong ya
Mungkin itu saya kak yang kasih jalan ke orang orang 😆
Meski belum pernah menginjakan kaki di tanah papua, saya pribadi orang yang selalu ngasih jalan untuk orang lain. Apalagi kalau yang minta jalan itu bapak separuh baya :’
Semoga warga Makassar kedepannya lebih baik aja untuk persoalan lalu lintas seeperti ini hehe
aminn, soalnya memang benar nah menurutku Makassar salah satu kota dengan lalu lintas paling amburadul di Indonesia
Beda memang antara Makassar dan kota lainnya. Setidaknya saya juga membandingkan dengan di Jakarta yang sama-sama macet tapi minimal untuk ukuran mobil mereka lebih rapih ndak kayak di Makassar. Semoga kita bisa berbenah jadi sekalipun macet dan perlu ber klakson ria karena semua yang ada di jalanan ini pasti ada keperluannya masing-masing.
klaksonnya luar biasa ya Makassar? hahaha
Betul sekali kak, jujur saya kadang merasa sedikit jengkel jika di bunyikan klakson saat lampu lalu lintas berganti ke hijau, bahkan kadang baru berganti ke kuning, sudah mulai bergerak … hikss
Salut sama orang-orang jayapura yang lebih tertib dalam berkendara.
iya, itu saya heran juga sebenarnya
koq bisa ya mereka lebih tertib dari orang Makassar? padahal banyak juga orang Makassar yg berkendara di Jayapura hahaha
Jadi senang tinggal di Makasar atau Jayapura Daeng?
hmmm untuk saat ini kayaknya masih sangat menikmati kehidupan di Jayapura hehehe
Setelah bertahun-tahun kembali berkendara di Makassar saya lumayan stress di jalan. Perlu sebulanan untuk proses adaptasi dengan segala kondisinya. Ketika berkendara di luar Makassar kadang malah di bilangin kalo bawa kendaraannya agresif sekali. Lingkungan kadang mempengaruhi kita.
hahaha jadinya terbawa ke tempat lain ya?
Saya jg berpikir demikian kak, di Makassar baik motor, pete2, maupun mobil pribadi sering menyerobot, berkata2 mutiara dgn intonasi tinggi hahaha… dan juga klakson berjamaah,
dan ajaibnya bapak driver yg di duga berasal dari Sulawesi itu lagi ternyata berkendara dgn tertib di tanah Papua,
nah itu, lingkungan ternyata sangat berpengaruh
Saya paling KZL kalo jalanan udah macet, masih ada aja yang menyerobot, terutama motor yang paling suka mengambil ruas kanan.
KehidupanG di Makassar memaN keras!!
itu lagi hahaha
keras memang kehidupanG
Saya sepakat nih karena hampir setiap hari saya klo mau keluar dari BTP, perempatan di depan SMP 30 itu yang 6 arah berlawanan sering macet dan sering ada pengendara rusuh. Bahkan pernah sepatu saya terinjak motor pengendara rusuh. Hadeuh.
hadeh hahaah untung kalau nda berakhir adu mulut atau adu pukul
Absolutely Daeng, saya pernah tinggal dan jadi sopir taksi di Jayapura di tahun 1995 – 1996…
wuih 20 tahun lalu eee
Yang parah juga di lampu merah Unhas, sudah jelas-jelas di situ ada keterangan “belok kiri langsung” masih saja yang ambil jalan lurus berhenti di bagian kiri. Akibatnya mobil atau motor yang belok kiri langsung harus menunggu sampai lampu hijau juga. Haddeh
nah itu, orang2 sukanya ambil jalur belok kiri langsung untuk berhenti
Nda perlu liat lampu hijau, cukup dengarkan klakson sja. Beh, berubahnamo Makassar.
Stress jg, baruki siap2 tarik gas. Eh adami mobil yang tidak sabaran 😆
kelamaan di jalan bisa bikin stress memang hahaha
Aduh, Makassar kita… Pernah juga saya dan beberapa teman terjebak antri panjang di parkiran motor nipah. Sudah pukul 11 malam, pengunjung sudah pulang semua tapi karena motor banyak skali jadinya harus antri. Tapi malah orang orang tidak sabaran, klakson massal, belum lagi banyak yang berteriak, banyak yang buat jalur dan tidak antri pada garis antri. Kadang jengkel sendiri tapi apa boleh buat, hanya bisa sabar dan saksikan semua hingga 20 menit lamanya..
kayaknya memang sebagian besar macet di kota kita terjadi bukan cuma karena jalanan penuh, tapi karena sikap pengendara yang nda sabaran
Itu yang jalan untuk motor kosong pas lagi macet-macetnya amat langkah di Makassar.. Pengalaman kalau macet di jembatan barombong, tidak ada celah sedikit pun,, semuanya pasti tertupi oleh kendaraan roda 4 maupun roda 2..
iya toh? saya juga kagum pas lihat jalur kiri dibiarkan kosong melompong begitu hahaha
Waktu naik kendaraan umum (taksi) di Jayapura saya gak perhatikan hal sederhana seperti ini mempersilakan kendaraan lain lewat lebih dulu etapi orang2 di Papua kalau naik motor/mobil jarang main klakson. Saya tinggal di Makassar baru ikut-ikutan suka klason juga. Ups!
terbawa suasana hahaha
Wah taksi di Papua keren ya..
Sama seperti di Palu. Tapi di Palu ya Pete pete nya ya disebut Taksi.
Pengguna jalan raya di Makassar barangkali selalu berada di bawah tekanan para atasannya di kantor. Jadi terburu buru dan sifat lain masih selalu jadi kebiasaan.
kayaknya itu intinya, tekanan makin berat jadi setiap detik sangat berharga
Saya jadi sedih membaca tulisan ini, “Karakter warga kota bisa dilihat dari pengendaranya.”
Saya sudah tinggal di Jogja sejak kuliah. Sudah selama 10 tahun lebih, saya merasakan sendiri “denyut” lalu lintas di sini karena sering diajak keliling Jogja oleh pacar (sekarang sudah jadi suami).
Sekitar tahun 2009-2012, pengendara di Jogja masih terasa sangat santun.
“Ritme” lalu lintas cenderung perlahan. Pengemudi mau mengalah, memberikan kesempatan satu sama lain untuk mendapat posisi lebih baik di jalan.
Ketika ada yg ingin menyeberang, walaupun tidak benar-benar berhenti tapi setidaknya semua motor & mobil akan melambat untuk memberi kesempatan. Terlihat gesture mereka untuk menghormati pengendara yg akan masuk jalur/memotong.
Motor pacar saya saja sampai berkali-kali kabel klaksonnya berkarat, saking jarangnya orang memakai klakson di sini.
Sekarang?
Di kota yg katanya orang terkenal santunnya ini, sangat terasa lalu lintas berjalan seenaknya sendiri.
Banyak pengendara muda sekarang yg tidak menunjukkan mereka tahu caranya bertatakrama dengan sesama pengendara lain, sementara pengendara yg lebih senior seolah jadi “tidak mau kalah” sembarangannya dengan yg muda-muda itu.
Jalanan Jogja yg tidak lebar (untuk ukuran kota) dimaceti mobil, itu pun kebanyakan cuma diisi 1 orang saja. Parkirnya pun berjejer-jejer pinggiran jalan, memenuhi jatah yg harusnya bisa dilewati kendaraan lain.
Nggak jarang juga mobil yg “memakan” jatah kiri untuk lajur motor dan membuat semuanya tambah macet. Malah akhir-akhir ini sudah mulai berani makan jalur yg berlawanan juga.
Yg membuat saya & Pak Suami sedih adalah kami merasakan sendiri betapa nikmatnya kesantunan Jogja, dan kami juga merasakan kesantunan itu perlahan hilang.