Huru-Hara Tiket Pesawat Domestik

Sejak November 2018 lalu, harga tiket pesawat domestik naik drastis dan bertahan di level tinggi sampai sekarang. Ada apa sebenarnya, dan apa pengaruhnya?



FEBRUARI 2018 LALU, Mamie masih sempat menyambangi saya yang sedang bertugas di Jayapura. Waktu itu, harga tiket pesawat Makassar-Jayapura masih sangat terjangkau. Dari Makassar ke Jayapura dengan maskapai Batik harganya masih Rp.900an ribu. Untuk trayek sebaliknya, dengan maskapai Lion air masih di kisaran Rp.1.100.000,-. Masih sangat terjangkau karena bedanya hanya sedikit dengan harga rute Makassar-Jakarta. Jadilah untuk pertama kalinya Mamie menginjakkan kaki di Tanah Papua.

Itu cerita setahun yang lalu. Sangat berbeda dengan cerita tahun ini.

Di kisaran waktu yang hampir sama – di bulan Februari – saya iseng mengecek harga tiket pesawat jalur Makassar-Jayapura dan sebaliknya. Kalian tahu harganya berapa? Paling murah dibanderol dengan harga Rp.1.800.000,- an. Kisarannya antara Rp.1.8 juta sampai Rp.2.2 juta tergantung jam dan maskapai. Sungguh harga yang berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Sampai berbeda dua kali lipat!

Bermula Dari Libur Akhir Tahun.

Kenaikan tiket pesawat ini bermula dari menjelang akhir tahun 2018 lalu ketika musim liburan mendekat. Sebenarnya ini praktik biasa, ketika permintaan sedang tinggi maka otomatis harga pun akan melonjak. Biasanya ini terjadi di musim liburan sekolah, musim mudik lebaran dan libur akhir tahun. Itu masa-masa ketika harga tiket pesawat melonjak dua kali lipat atau bahkan lebih.

Biasanya fenomena ini hanya terjadi sementara. Lepas musim liburan, harga akan kembali normal.

Tapi tahun ini tidak biasa. Musim libur akhir tahun sudah berlalu, harga tiket masih betah bertengger di ketinggian. Seperti seekor orang utan yang takut menyentuh tanah dan memilih mendekam di batang pohon yang tinggi. Begitu juga dengan harga tiket pesawat. Betah di harga mahal.

Untuk trayek domestik seperti Makassar – Jakarta yang biasanya bisa didapat dengan harga paling rendah Rp.700an ribu, sekarang sudah beranjak di atas Rp.1 juta. Paling murah Rp.1,2 jutaan. Begitu juga dengan harga penerbangan jalur domestik lainnya.

Wajar kalau banyak orang yang mulai menjerit. Para perantau yang biasanya memanfaatkan waktu libur sehari-dua hari untuk pulang ke kampung, sekarang sudah tidak bisa lagi. Para pekerja yang jauh dari keluarga, yang biasanya bisa mencuri-curi waktu libur untuk bertemu keluarga, sekarang harus berpikir ulang. Para wisatawan domestik yang biasanya sudah menyusun waktu untuk berlibur ke beberapa tujuan domestik, sekarang terpaksa harus mengelus dada.

Bulan Januari 2019 sebuah petisi menuntut penurunan harga tiket pesawat dilansir di laman Change.org. Jumlah penandatangannya ada puluhan ribu orang. Petisi ini direspons oleh Budi Karya Sumadi, menteri perhubungan dengan memanggil beberapa maskapai penerbangan di Indonesia. Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mengakui kalau ada kenaikan harga tiket pesawat domestik antara 40% hingga 120%. Namun, selepas pertemuan dengan menteri perhubungan INACA berjanji akan menurunkan harga tiket pesawat antara 20% sampai 60%.

Horeee! Orang-orang bersorak senang. Harga tiket pesawat domestik akan bisa kembali dijangkau.

Namun, bagaikan seorang politisi yang hanya bisa berjanji, kata-kata itupun menguap begitu saja di udara. Janji menurunkan harga tiket pesawat memang sempat terpenuhi. Tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Harga turun 20% untuk jalur tertentu dan jam tertentu. Itupun jumlahnya sedikit sekali bila dibandingkan dengan keseluruhan jadwal penerbangan yang ada.

Sama juga bohong Maleeeeh!

Baca juga perjalanan saya dari bandara ke bandara di sini

Lalu di bulan Februari 2019, presiden Joko Widodo sempat turun tangan menangani kenaikan harga tiket pesawat ini. Beliau meminta Pertamina menurunkan harga avtur yang diklaim sebagai salah satu penyebab kenaikan harga tiket pesawat. Pertamina lalu berbaik hati menurunkan harga avtur di kisaran Rp.250/liter di bulan yang sama. Tapi langkah itu ternyata tidak berpengaruh juga pada tingginya harga tiket pesawat. Masih sama, masih sulit dijangkau.

Menjelang akhir Maret 2019, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan memanggil berbagai pihak untuk menghadiri rapat koordinasi membahas gilanya harga tiket pesawat ini. Pihak yang dipanggil ada dari maskapai, INACA sampai ASKINDO atau Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Pesawat Indonesia. Rapat ini mengeluarkan keputusan bahwa tiket pesawat akan diturunkan per 1 April 2019. Angin segar untuk mereka yang sudah terlanjur terbiasa menumpang pesawat domestik.

Tapi janji tinggal janji. Bulan April sudah berlalu lima hari lebih dan tiket pesawat masih belum ada tanda-tanda harganya akan turun. Untuk rute Makassar-Jakarta per tanggal 6 April, saya cek di Traveloka harganya ya masih di kisaran Rp.1.2 juta ke atas. Masih mahal cuy!


Harga tiket ke Papua dari Makassar, per 6 April 2019

Efek Tingginya Harga Tiket Pesawat Domestik.

Kenaikan harga tiket pesawat ini menurut pendapat para ahli yang saya kutip dari beberapa laman katanya disebabkan oleh beberapa faktor. Harga avtur hanya salah satunya. Sumbangannya terhadap koefisien harga tiket sebesar 35%-45%. Faktor lain yang berpengaruh adalah biaya cicil atau sewa pesawat yang memberikan kontribusi sebesar 25%-30%. Apalagi karena biaya ini dibayarkan dengan Dollar amerika sementara maskapai menerima pembayaran dari penumpang dalam bentuk Rupiah. Ketika harga Rupiah terpuruk, maka otomatis beban pembayaran jadi semakin besar.

Beberapa orang juga menuding adanya praktik kartel dalam penentuan harga tiket pesawat domestik ini turut berperan. Kita tahulah kalau persaingan maskapai domestik di Indonesia semakin mengerucut ketika tersisa dua grup maskapai saja; grup Garuda dan grup Lion Air. Karena saingannya cuma satu, maka otomatis mereka semakin mudah memainkan harga.

Lalu bagaimana efek tingginya harga tiket pesawat domestik ini kepada perekonomian dalam negeri kita?

Oh ternyata sangat besar Fulgoso.

Kenaikan harga tiket pesawat domestik ini seperti efek domino yang menggerogoti perekonomian Indonesia. Pertama dari sisi bisnis, semakin banyak perusahaan yang harus melakukan peninjauan ulang untuk pada rencana perjalanan bisnis mereka. Bahkan dikatakan kalau beban pemerintah daerah pun semakin membengkak karena tingginya harga tiket pesawat sementara perjalanan dinas tetap harus dilakukan.

Pengiriman barang lewat kargo pesawat juga termasuk salah satu yang paling merasakan dampak dari kenaikan tiket pesawat domestik yang gila-gilaan ini. Mau tidak mau kenaikan harga ini akan dibebankan pada konsumen. Efeknya, marketplace dan beragam penjualan daring yang kena sasarannya.

Sektor lain yang kena getahnya adalah pariwisata domestik. Dengan harga tiket pesawat domestik yang jauh lebih tinggi dari harga tiket pesawat ke luar negeri, wisatawan lokal lebih memilih untuk sekalian berwisata ke luar negeri saja. Dan ini jelas merugikan sektor pariwisata domestik. Sebagai contoh, bulan lalu Mamie berangkat ke Jepang dengan menebus tiket pergi-pulang seharga total Rp.7 jutaan saja. Harga itu hampir sama dengan harga tiket pesawat Jakarta-Jayapura dengan maskapai Garuda untuk sekali jalan. Gila, kan?

Di Makassar sendiri rumornya tingkat hunian hotel menurun sampai 30%. Salah satu penyebabnya ya karena harga tiket pesawat yang mencekik itu. Dulu mungkin orang masih bisa berpikir untuk berwisata sejenak ketika ada libur dua atau tiga hari. Toh harga tiket masih terjangkau. Tapi sekarang? Sebaiknya berpikir ulang kalau memang tidak benar-benar butuh.

Menurut ASKINDO, penjualan tiket memang masih didominasi oleh perjalanan bisnis dan perjalanan darurat (misalnya ada kematian atau musibah). Sementara perjalanan wisata menurun drastis. Menurut ASKINDO lagi, angka penjualan tiket ke luar negeri di musim sepi (low season) justru meningkat 10% sampai 20%.


harga tiket pesawat domestik
Infografis huru-hara tiket pesawat domestik

Sampai Kapan Tiket Pesawat Domestik Mahal?

β€œGila! Tiket gue bolak-balik Jayapura ini sudah sama dengan tiket temen gue bolak-balik Swedia.” Kata bos saya bulan Maret yang lalu. Waktu itu karena urusan dinas, dia harus menempuh perjalanan dari Jakarta ke Jayapura pergi-pulang dengan harga tiket total Rp.12 juta lebih. Itu karena kantor kami memang mensyaratkan Garuda Indonesia untuk penerbangan domestik karena alasan keamanan.

Di Papua, ketidakpastian adalah kepastian. Termasuk di bandara. Baca ceritanya di sini

Memang sih, semua dibayarkan kantor. Tapi tetap saja rasanya nyesek. Harga segitu benar-benar sudah sama dengan harga perjalanan ke luar negeri.

Garuda Indonesia sendiri setahu saya sudah beberapa kali terpaksa membatalkan penerbangan keluar dari Jayapura. Ada beberapa penerbangan yang penumpangnya dipadatkan, dipindahkan ke penerbangan berikutnya. Alasannya tentu saja karena kursi yang kosong, dan daripada jalan biaya yang sama tapi pendapatan jauh berkurang maka lebih baik penumpang dipadatkan saja di jadwal yang lain.

Bahkan, PT Angkasa Pura II mencatat sebanyak 433 penerbangan selama Januari 2019 di Bandara Sultan Syarif Kasim II Kota Pekanbaru, Riau terpaksa dibatalkan karena kurangnya penumpang. Dan itu bukan jumlah yang sedikit, bukan?

Entah kapan semua huru-hara harga tiket pesawat domestik ini akan selesai. Apakah harga tiket pesawat domestik akan kembali ke harga normal, atau harga yang sekarang yang akan dianggap sebagai harga normal? Sebagai warga Indonesia saya dan kita semua hanya bisa menunggu. Semoga saja pemerintahan yang baru nanti – siapapun presidennya – akan bisa mengontrol harga tiket pesawat domestik.

Atau mungkin pesawat memang akan dikembalikan ke orang berpunya saja? Seperti dulu di tahun 90an dan awal 2000an? [dG]