Realita Internet di Papua

Belum semua tempat di Papua merasakan internet, apalagi internet selular. Tantangannya cukup besar.


Menara milik Telkomsel di belakang kantor distrik Koroway Bulanop

Saya lagi di Agats ketika itu. Ibukota kabupaten Asmat yang berada di bagian selatan pulau Papua, diapit kabupaten Mimika dan Mappi di kanan dan kirinya. Sebagai salah satu kabupaten yang berada di pesisir, Asmat bisa dibilang cukup maju. Akses yang lebih mudah membuat perkembangan Agats – ibukotanya – menjadi lebih di depan bila dibandingkan sebagian besar kota di pegunungan tengah Papua. Tidak sulit mencari toko besar di Agats. Ratusan toko punya pendatang bertebaran di sekujur kota. Hotel, rumah makan, kafe semua bisa ditemukan di Agats. Nyaris tidak ada bedanya dengan kota kabupaten lain di provinsi yang lebih maju.

Perihal internet, Agats pun lebih beruntung. Ini bila saya bandingkan dengan ibukota kabupaten di pegunungan yang biasa saya datangi. Ambil contoh bila dibandingkan dengan Tiom, ibukota Lanny Jaya, atau Enarotali, ibukota Paniai. Keduanya ada di pegunungan tengah Papua dan aksesnya lumayan sulit.

Di kedua kota itu, akses internet selular nyaris mustahil. Hanya ada satu operator selular, yaitu Telkomsel. Sinyalnya pun hanya sampai batas Edge. Sulit untuk menghubungkan kita ke dunia luar dengan jalur internet. Jangankan membuka media sosial, membuka dan mengirim pesan via WhatsApp saja susahnya minta ampun. Dikirim pagi, bisa-bisa baru sampai malam hari. Atau kadang malah tidak terkirim sama sekali.

Di Agats, sinyal selular sudah jauh lebih bagus. Walaupun hanya ada Telkomsel, tapi setidaknya sinyalnya sudah 4G. Tapi, jangan membayangkan 4G di Agats kecepatannya sama dengan 4G yang kita temui di Makassar, apalagi di Jawa. Tulisannya memang 4G, tapi kecepatannya sama saja dengan 2G. Untuk mengunduh gambar di WhatsApp saja sulitnya minta ampun, apalagi membuka atau mengirim video.

Namun sekali lagi, bila dibandingkan dengan kota seperti Enarotali atau Tiom, internet di Agats masih jauh lebih bagus. Di saat tertentu kita masih bisa membuka media sosial, bisa juga mengunggah foto ke Facebook atau WhatsApp. Tapi, hanya di saat tertentu.

“Internet lagi susah di Agats sekarang. Kayaknya karena semua jaringan dipusatkan ke KPU yang lagi pleno,” kata Sendy, seorang kawan yang sedang tinggal di Asmat.

Benar saja, ketika saya tiba di Asmat di masa ketika KPUD sedang sibuk menghitung suara, sinyal internet di Agats sedang susah payah. Mengirim pesan lewat WhatsApp saja susahnya minta ampun. Dan itu terjadi berhari-hari. Padahal biasanya setidaknya kita masih bisa mengirim pesan teks tanpa gambar.

Di saat tertentu, Agats pun bisa merasakan guyuran internet cepat. Itu ketika ada pejabat yang berkunjung. Misalnya ketika awal tahun lalu ketika Asmat jadi pusat perhatian Indonesia bahkan dunia akibat bencana gizi buruk. Ratusan wartawan memasuki Agats, puluhan “orang pusat” juga berkunjung ke Asmat. Beberapa menteri dan pejabat negara pun datang ke kota ini. Nah, saat itulah tiba-tiba kecepatan internet langsung menjadi lebih cepat dari biasanya. Namun, ketika mereka semua sudah pulang internet pun kembali ke kecepatan semula. Seperti siput.

Pesisir Beda Dengan Pegunungan.

Karena letaknya yang ada di pesisir, Agats tentu relatif mudah untuk menerima perkembangan termasuk perkembangan infrastruktur internet. Hal yang sama juga terjadi di Nabire dan Timika. Dua kota itu juga termasuk kota yang beruntung diguyur internet selular yang lumayan. Untuk standar Papua, Timika menurut saya lebih dari lumayan. Internet selular di sana bisa disamakan dengan internet selular di Jayapura, ibukota provinsi. Selain Telkomsel ada juga pilihan lain seperti Indosat.

Tapi tidak dengan Nabire. Meski di handphone tertulis 4G, tapi kecepatannya setara 3G. Di beberapa titik bahkan sulit sekali mengunggah video atau bahkan foto di WhatsApp. Tapi di titik yang pas, bukan masalah untuk mengirim foto dan video. Jadi sepertinya kecepatan internet di Nabire belum merata. Meski begitu kondisinya jelas jauh lebih baik dari Agats.

Sementara itu di daerah pegunungan tengah, setidaknya ada Wamena, ibukota Jayawijaya yang punya koneksi internet selular yang nyaman. Nyaman untuk ukuran Papua ya. Artinya kita masih bisa mengunggah foto dan video di WhatsApp, bisa membuka Facebook, Twitter dan Instagram dengan lancar meski agak lambat.

Ini mungkin karena Wamena adalah salah satu kota di pegunungan tengah Papua yang bisa dibilang paling maju. Kota-kota lain tidak seberuntung Wamena untuk urusan internet.

Oh satu lagi kota besar di pesisir yang juga memiliki internet selular yang lumayan cepat, kota Merauke. Sebagai salah satu kota paling ramai di Papua, Merauke yang terakhir saya kunjungi tahun 2015 itu juga punya internet dengan kecepatan yang lumayan. Mungkin setara dengan Timika, tapi belum sampai menyamai kecepatan internet di Jayapura.

Di Jayapura sendiri pilihan internet selular setidaknya ada tiga operator; Telkomsel, XL Axiata dan Indosat. Meski tentu saja Telkomsel adalah rajanya. XL Axiata dan Indosat hanya ada di beberapa titik di dalam kota. Gerak keluar kota sedikit saja, sinyalnya akan hilang atau susah payah.

Di beberapa titik di Jayapura, kita bisa dengan mudah menemukan titik 4G+. Sesuatu yang buat saya cukup mewah untuk ukuran Papua. Hal ini tentu didukung oleh tersambungnya jaringan fiber optic di Jayapura sejak beberapa tahun lalu. Jaringan yang termasuk dalam program Palapa Ring ini sangat memudahkan operator selular untuk mengupgrade layanan mereka.

Sebagai pulau yang sangat rawan gempa, fiber optic di Papua rentan sekali mengalami pemutusan karena gempa. Setahun lalu, saya pernah mengalami kejadian ketika sinyal internet sama sekali tidak berfungsi. Bukan cuma sinyal internet, tapi juga sinyal seluler. Beruntung beberapa jam kemudian sinyal bisa dipulihkan meski dengan kecepatan yang sangat rendah karena untuk sementara Telkomsel harus menggunakan satelit untuk menggantikan fiber optic yang putus.


Pemasangan kabel fiber optic di jalur Nabire-Paniai

Sampai saat ini pemasangan kabel fiber optic di Papua terus dikerjakan. Saya kerap menemui pekerja pemasangan kabel di jalur Nabire-Paniai. Pemasangan kabel fiber optic di Papua tidak mudah karena selain masalah geografis, keamanan juga jadi pertimbangan utama. Memasang fiber optic di daerah pegunungan Papua kerap harus dikawal oleh TNI karena bukan tidak mungkin pekerja akan berhadapan dengan OPM. Ini belum termasuk pembebasan lahan adat milik warga, karena kadang ada juga sekelompok warga yang menolak pemasangan kabel fiber optic yang melewati tanah adat mereka.

Wifi Jadi Andalan.

Meski jaringan internet selular belum sepenuhnya memenuhi Papua, namun jaringan nirkabel (wifi) sepertinya lebih mudah ditemukan. Utamanya di daerah pegunungan. Beberapa perusahaan swasta mengusahakan sambungan internet dengan wifi yang terhubung ke satelit. Mereka menjual layanan ke warga menggunakan voucher wifi yang bisa dibeli di kios-kios.

Harga voucher wifi beragam di tiap daerah. Di Enarotali, voucher untuk penggunaan satu jam dijual dengan harga Rp.20.000,-. Sementara di Asmat, kita bisa membeli voucher untuk pemakaian 10 jam dengan harga Rp.50.000,-. Lebih murah.

Kecepatan jaringan internet lewat wifi itu cukup lumayan. Setidaknya bisa membuat kita membuka media sosial seperti Facebook dan Twitter serta mengirim gambar dan video di WhatsApp. Tapi tidak untuk membuka YouTube.

Di sebagian besar kantor-kantor pemerintahan di Papua, wifi juga jadi salah satu syarat utama. Tentu ini untuk memudahkan kerja para pegawai karena zaman sekarang banyak hal yang bisa diselesaikan dengan internet. Berkirim data, berkirim surel atau sekadar berkoordinasi lewat aplikasi percakapan. Atau untuk dinas seperti dinas kependudukan dan catatan sipil, mereka bisa memasukkan data kependudukan dengan menggunakan internet.

Di Agats, beberapa sekolah bahkan menyediakan internet untuk umum yang bisa diakses 24 jam. Tidak heran kalau kita bisa menemukan orang-orang yang berkumpul di sekitar SMP di malam hari di tengah kegelapan. Mereka ini adalah orang-orang yang didominasi anak-anak muda yang ingin menikmati internet gratis dan lancar. Di lapangan Yos Sudarso yang juga adalah alun-alun kota Agats, internet gratis juga tersedia. Semua ini disediakan oleh Diskominfo bekerjasama dengan Kemenkominfo.

Soal wifi, ada satu kejadian yang unik menurut saya. Kala itu saya berkunjung ke Koroway yang berada jauh di pedalaman Asmat. Di tempat yang sangat terpencil itu, yang belum memiliki listrik, kita juga bisa menemukan internet menggunakan wifi. Ada pihak swasta yang menyediakan wifi di sana dan mereka juga menjual voucher.

Untuk apa wifi itu? Ternyata sebagian besar digunakan oleh para pendatang yang juga adalah penambang emas tradisional. Selain berkomunikasi dengan keluarga di tempat asal, mereka juga menggunakannya untuk berkoordinasi dengan teman lain di dunia luar.

Cukup luar biasa buat saya.

*****

Tantangan geografis, keamanan dan budaya menjadi hal yang sangat menyulitkan Papua untuk merasakan internet cepat. Pemerintah memang masih terus berusaha menyediakan internet ke semua wilayah Indonesia, termasuk Papua. Tapi khusus untuk Papua, pergerakannya tidak bisa terlalu cepat. Tidak seperti daerah lain di Indonesia.

Jadi buat kalian yang ingin berkunjung ke Papua, siap-siaplah dengan kondisi irit internet. Jaringan selular tidak bisa diandalkan di semua daerah. Kita bisa saja hanya bergantung pada wifi, itupun dengan syarat jangan terlalu berharap. [dG]