Ketika Saya Divaksinasi

Alhamdulillah, saya sudah menjalani proses vaksinasi COVID-19 sebanyak dua kali. Ini adalah cerita ketika proses itu terjadi.
Pagi baru saja mendekati pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Saya sudah berada di halaman Puskesmas Tamangapa yang terletak di Tamangapa. Karena kalau terletak di Antang namanya Puskesmas Antang. Puskesmas itu sudah buka, tapi belum ada aktivitas. Saya sempat melongok ke dalam, tapi tidak ada orang. Suasana masih sangat sepi. Mungkin memang saya yang datang terlalu pagi. Tapi untuk membela diri, saya datang pagi karena sehari sebelumnya saya memang diberi instruksi untuk datang pukul 7:30 pagi.
“Jangan terlambat, datang jam 7:30 untuk registrasi,” begitu instruksi yang saya dapat.
Instruksi itu saya dapat dari HRD kantor tempat saya sedang bermitra. Beberapa hari sebelumnya, saya didaftarkan untuk menjadi peserta vaksinasi COVID-19 yang diadakan secara kolektif oleh kantor saya. Jadilah pagi itu saya merapat ke Puskesmas Tamangapa, bahkan sebelum Puskesmas itu beraktifitas. Saya bertemu dengan beberapa orang dari kantor yang juga mendapat instruksi yang sama. Datang pukul 7:30 pagi.
“Mau ki apa pak?” Tanya seorang ibu. Dia berkaos oblong dengan celana pendek, berjalan dari arah luar Puskesmas. Pertanyaannya diajukan kepada kami, dua orang laki-laki yang sedang berdiri di halaman Puskesmas.
“Mau vaksin bu,” kata saya sambil menyebut nama kantor.
“Oh, belum pi datang ibu dokter. Tunggu mi dulu pak,” kata si ibu dengan ramah. Dia kemudian berlalu ke dalam Puskesmas. Saya pikir dia salah satu petugas Puskesmas, mungkin office girl.
Sebagai informasi, Puskesmas Tamangapa ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Manggala, sekitar 3 km dari rumah saya.

Mendaftar dan Menunggu
Hampir satu jam menunggu sampai akhirnya seorang perempuan berpakaian putih datang. Saya taksir usianya pertengahan 30-an. Penampilannya anggun dengan jilbab krem dan kacamata berbingkai tipis. Walaupun menggunakan masker, tapi saya tahu dia tersenyum ke arah kami yang berdiri dekat pintu Puskesmas. Selain saya dan dua orang dari kantor, ada beberapa orang lain yang sudah berkumpul.
“Mau ki vaksin?” Tanya si ibu berpakaian putih itu. Nada sapaannya ramah.
“Iye bu,” saya yang menjawab.
“Oh iye, tunggu nah. Nanti ke lantai dua mi mendaftar,” katanya. Dia kemudian berlalu, masuk ke dalam Puskesmas.
Mungkin ini ibu dokter yang dimaksud ibu yang berkaos oblong tadi, pikir saya.
Kami masih menunggu beberapa saat sebelum seorang perempuan mempersilakan kami masuk dan langsung naik ke lantai dua. Perempuan ini berseragam ASN warna cokelat khaki. Dia perempuan yang sama dengan yang pertama menyapa kami di luar Puskesmas. Saya baru menyadarinya setelah beberapa menit. Terlihat sekali perbedaan antara perempuan berkaos oblong dengan perempuan berseragan ASN.
Si ibu inilah yang mengarahkan kami untuk mendaftar. Kami diminta menyerahkan foto kopi KTP dan mengisi form yang sudah disiapkan. Karena memang sehari sebelumnya kami sudah mendapatkan informasinya, jadi kami sudah siap dengan foto kopi KTP.
“Di bawah maki dulu, jangan terlalu penuh di sini. Nanti dipanggil ya,” si ibu menyarankan kami menunggu di bawah, bukan di lantai dua. Ruangan itu memang mulai ramai, baik oleh warga yang ingin vaksinasi maupun oleh petugas. Saya dan beberapa orang lainnya kemudian beringsut ke lantai bawah menunggu proses selanjutnya.
Berhadapan dengan Dokter
Tak berapa lama, seorang petugas mengarahkan kami naik kembali ke lantai dua dan masuk ke sebuah ruangan. Ruangan itu berbentuk seperti hall. Ada banyak kursi di sana, berterbaran dengan jarak yang renggang. Ada juga beberapa meja yang diisi oleh perempuan-perempuan muda berjilbab. Mereka ini adalah petugas registrasi yang mengumpulkan data para penerima vaksin hari itu.
Satu per satu nama disebut, sampai kemudian tiba giliran saya.
“Jean Pierre Syaiful!” Suara itu menggema.
“Iya!” Saya berdiri dan menuju meja asal suara itu dan duduk di sebuah kursi di depan seorang perempuan muda berjilbab. Wajahnya manis, tapi saya tidak terlalu tertarik. Saya lebih tertarik menata degup jantung sendiri. Maklum, saya orang yang takut jarum suntik.
Si perempuan muda itu cuma mengonfirmasi data-data pribadi saya yang sudah saya tulis di form. Diakhiri dengan pertanyaan, “Ini nomor bapak bisa terima SMS?”
“Iya,” jawab saya. Kalau situasinya berbeda mungkin saya akan menjawab, “Coba SMS dulu dek ke nomor saya, mau cek nomor saya bisa terima SMS atau tidak.”
“Ke depan maki pak, ketemu ibu dokter,” katanya memberi instruksi.

Depan yang dia maksud adalah bagian lain Puskesmas itu, di luar dari hall tempat orang berkumpul. Di ujung lorong ada satu ruangan lagi yang cukup besar dan terbuka dengan akses langsung ke lantai satu. Dua buah meja terpasang di sana, diisi oleh dua orang perempuan berjas putih. Salah satunya adalah perempuan ramah yang menyapa kami di lantai satu tadi.
Saya harus menunggu beberapa saat sebelum saya maju dan duduk tepat di hadapan si ibu dokter yang ramah. Dia mengajukan beberapa pertanyaan seputar kesehatan. Misalnya: pernah punya penyakit jantung? Apakah punya sakit asma? Apakah punya alergi? Apakah pernah sakit panu, kadas, kurap? Apakah pernah sakit hati? Dua pertanyaan terakhir tentu saja cuma saya karang. Sisanya benar.
“Cek tensi dulu ya pak,” katanya setelah selesai bertanya ini-itu.
Dia memasang alat pengukur tekanan darah dan segera mengoperasikannya. Saya merasa lengan saya seperti diremas lalu ditambah dengan rasa keram di ujung jari. Memang seperti itu rasanya ketika alat pengukur tekanan darah itu beroperasi.
“Waduh! Tinggi sekali ini pak tekanan darah ta. 115/100,” kata si ibu dokter. “Kita ulangi lagi ya, tapi bapak rileks saja, nda usah tegang,” sambungnya.
Mungkin dia mengira saya tegang karena takut jarum suntik, padahal memang iya. Walhasil tes tekanan darah diulang lagi. Prosedurnya masih sama, dan rasanya pun masih sama. Saya bisa merasakan darah saya mengalir deras ke ujung jari ketika si ibu dokter melepaskan alat pengukur tekanan darah di lengan.
“Wah masih sama pak,” kata si ibu dokter. Akhirnya saya jelaskan bahwa memang rata-rata tekanan darah saya seperti itu, jadi mungkin itu normal untuk saya. Si ibu dokter kemudian berkata, “Baik pak. Ini sebenarnya batas maksimum yang bisa kita toleransi. Tapi saya minta bapak tanda tangan di sini dulu ya.”
Dia menyodorkan sebuah form berisi pernyataan bahwa saya tidak akan menuntut apa-apa bila ternyata ada sesuatu yang salah yang terjadi. Saya mengiyakan saja, toh kalaupun tidak bisa menuntut di dunia saya akan menuntut di akhirat. Tapi itu tentu saja tidak saya sebutkan, hanya di dalam hati saja.
“Oke pak. Kita tunggu mi nama ta dipanggil nah,” katanya kemudian. Saya meringis, mengiyakan dan segera beringsut pindah ke kursi di depan sebuah ruangan. Di dalam ruangan itulah saya bisa melihat petugas vaksin sedang bekerja menyuntik para peserta vaksinasi.
Eksekusi!
Sekitar 10 menit duduk di kursi yang disiapkan, akhirnya nama saya dipanggil lagi. Saya masuk ke sebuah ruangan kecil yang lebih banyak diisi lemari-lemari berisi kotak obat. Seorang perempuan sudah ada di sana, duduk di belakang meja. Saya duduk di kursi di depannya, menghadap ke luar ruangan. Si ibu di samping kiri saya.
“Bu, kalau vaksin itu harus tangan kiri ya?” Tanya saya.
“Nda harus pak, tergantung tangan mana yang lebih banyak dipakai. Kalau lebih banyak pakai tangan kanan, berarti kiri yang disuntik. Karena kalau habis vaksin biasanya agak keram tangan ta,” jawabnya.
Oh ternyata itu alasannya. Saya pikir ada alasan ilmiah, ternyata tidak.
Saya mengangkat lengan baju, memperlihatkan lengan saya dengan otot-ototnya yang tidak seberapa. Saya membuang pandangan jauh ke luar ruangan, ke arah orang-orang yang sedang menunggu. Saya tidak berani melihat ke arah si ibu yang nampaknya sedang menyiapkan jarum suntik.

Rasanya deg-degan juga, apalagi ketika saya merasa lengan saya agak dingin. Mungkin karena alkohon yang diusap si ibu. Saya berusaha menormalkan degup jantung dan napas saya ketika tiba-tiba terasa ada benda asing yang menusuk lengan. Nyaris tidak terasa sama sekali, sampai kemudian si ibu berkata, “Sudah pak.”
“Hah? Sudah? Secepat itu? Mana rasa sakitnya?” Kata saya jumawa, tapi tentu saja hanya dalam hati.
“Pak, tunggu di dalam dulu ya. Observasi 30 menit untuk melihat reaksinya,” kata si ibu. Saya mengangguk, berterima kasih, dan meninggalkan ruangan itu menuju ke hall tempat pertama saya menunggu.
Di dalam sudah ada teman-teman sekantor. Sebagian sudah selesai vaksin, sebagian lagi masih menunggu giliran. Saya melihat jam tangan, pukul 10 lewat sedikit. Ini proses terakhir dari keseluruhan proses vaksinasi, dan saya sedang menduga-duga seperti apa efeknya.
Ada yang bilang kita jadi mengantuk dan lapar, ada juga yang bilang biasa saja. Bahkan ada rumor yang bilang kalau vaksin COVID-19 bisa membuat alat kelamin pria jadi lebih besar. Ini bukan efek samping namanya, tapi efek depan. Itupun belum tentu benar meski mungkin banyak yang berharap itu benar.
Pulang dan Merasakan Efeknya
Lebih dari 30 menit kemudian, dan saya merasa baik-baik saja. Tidak ada hal aneh yang saya rasakan. Tidak mengantuk, tidak lapar, dan bahkan alat kelamin saya pun rasanya biasa saja. Berarti saya sudah boleh pulang, pikir saya. Akhirnya saya keluar dari ruang observasi. Puskesmas sudah semakin ramai, meski petugas terlihat berusaha mencegah kerumunan. Saya menyusuri lorong di depan hall dan menuju ibu dokter yang sedang bekerja.
“Bu, sudah 30 menit lebih. Saya boleh pulang?” Tanya saya.
“Bapak ada keluhan?” Ibu dokter malah balas bertanya.
“Tidak ada bu. Cuma bulan ini memang kondisi keuangan saya kurang bagus bu, belum ada kontrak kerja yang baru jadi belum ada pemasukan. Saya masih bertahan hidup dari tabungan,”
“Maaf, itu bukan urusan saya pak,”
“Oh maaf bu,”
“Kalau memang tidak ada keluhan kesehatan, bapak boleh pulang,” kata ibu dokter.
Saya akhirnya meninggalkan Puskesmas yang mulai tambah ramai itu. Dalam perjalanan pulang, saya pelan-pelan mulai merasakan efek dari vaksinasi itu. Mata mulai berat dan sepertinya saya mengantuk. Celana pun rasanya jadi sesak. Nah, ini dia efek yang dibilang orang, pikir saya. Beruntung saya berhasil menahan diri dan bisa sampai di rumah dengan selamat.
Tiba di rumah, tanpa pikir panjang saya langsung lompat ke atas tempat tidur. Dan tanpa menunggu lama, saya tertidur. Ini satu-satunya efek yang saya rasakan setelah vaksinasi. Rasa ngantuk yang sepertinya tidak biasa, lebih dari rasa biasanya. Lapar sih tidak, saya tetap seperti biasa. Apalagi ukuran kelamin, masih seperti biasa. Jadi satu-satunya efek yang saya rasa ya mengantuk itu.
*****
Vaksinasi pertama itu saya jalan di tanggal 30 Maret 2021. Kelanjutannya saya lakukan 28 hari kemudian, di tempat yang sama. Vaksinasi kedua prosesnya sama seperti yang pertama, bedanya cuma karena saya sempat hampir ditolak. Tekanan darah saya lebih tinggi dari yang pertama. Ini alasannya karena kurang tidur. Vaksinasi kedua ini saya jalani di bulan Ramadan, dan namanya Ramadan pasti tidur jadi tidak sebanyak biasanya. Akibatnya, tekanan darah jadi lebih tinggi. Mungkin ya, itu hanya asumsi saya saja.
Untuk kedua proses vaksinasi itu saya selalu mendapatkan SMS setelah tiba di rumah. SMS yang berupa tautan untuk mengunduh sertifikat vaksinasi. Jadi, sekarang saya punya dua sertifikat vaksinasi. Vaksinasi pertama dan kedua. Sertifikat ini saya simpan baik-baik, siapa tahu suatu hari nanti bisa dijadikan jaminan di Pegadaian.
Itulah pengalaman vaksinasi saya. Bagaimana dengan kalian? [dG]
Hmm banyaknya dialog imajinatifnya ???
Eh kenapa ki’ tahu perempuan yang tanya2 soal SMS itu berwajah manis? Dia ndak pake masker?
Btw memang bikin dumba’-dumba’ vaksinasi covid ini krn baru pertama kali sepanjang sejarah dan ada kasus2 yang tidak diharapkan serta bumbu2 hoaks yang aneka rupa dih.
Betul kak, yang bikin dumba2 itu karena banyak hoaks tidak jelas
Saya suka ini tulisan Serius tapi lucu, mendidik sekaligus menghibur..
Jean Pierre Syaiful? Baru sy tau hehe.
Saya jadi ingat pas vaksin. Pagi pagi menuju puskesmas sudah makan nasi ayam, pas menjelang giliran vaksin tiba tiba lapar. Mungkin panik. 30 menit setelah vaksin, lapar lagi. Dan lapar terus seharian itu. Padahal makan terus.
Ngantuk juga, sore sore sampe rumah tertidur tiba tiba berjam jam haha.
Sehat sehatki daeng !
Nunu juga, sehat2 bersama keluarga yaaa
Saya juga sudah divaksin 2 kali, malah pas proses vaksin sengaja bikin vlog, dokternya ikut menyapa hehehehehhe.
Hahaha asyik ya, dokternya santai berarti
Saya juga sudah vaksin. Tapi baru pertama. Dan belakangan baru ramai masyarakat berbondong-bondong pergi vaksin sampai antri panjang di puskesmas..
Hehe hanya di pikiran berkecamuk baca dan dengar informasi vaksin. Campur aduk berita hoaks. Apalagi terakhir disuntik waktu SD. Jadi sedikit ada takutnya. Ternyata tidak sakitji disuntik. Dan biasa saja ji sudah di suntik vaksin.
Lebih terasa sakitnya di hidung kalau rapid test..?
Iyaaa, lebih ada rasanya kalau rapid test hahaha
wah, takut jarum suntik juga? *tos*
wah berarti sudah tuntas vaksinasi ini.. vaksin apa yang didapat? kalo dari tanggal, kemungkinan Sinovac, ya?