Satire Itu Butuh Kecerdasan Lebih

tulisan satire
tulisan satire
ilustrasi

Membuat tulisan satire itu tidak mudah, salah-salah kita malah kena risak. Seperti yang terjadi pada seorang Mbak beberapa hari lalu.

Dua hari lalu, demam OM TELOLET OM begitu membahana di media sosial. Bukan hanya netizen Indonesia yang terjangkiti, tapi sampai netizen luar negeri dengan nama-nama besar juga ikut terjangkit. Bahkan, situs semacam Billboard sekalipun ikut memuat berita tentang demam OM TELOLET OM ini. Untuk sejenak media sosial kembali riuh oleh hal remeh-temeh yang tidak berbau SARA seperti yang sering terjadi belakangan ini.

Di tengah riuh rendah fenomena OM TELOLET OM ini tiba-tiba menyeruak sebuah meme yang disebar sebuah akun Facebook. Meme ini isinya mengaitkan fenomena OM TELOLET OM ini sebagai sebuah upaya pendangkalan aqidah. OM disinyalir berasal dari istilah umat Hindu untuk Sang Hyang Widhi atau Tuhan itu sendiri. Sedangkan TELOLET berasal dari suara terompet yang adalah kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.

Ketika pertama melihat meme ini di sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti, saya sudah berkomentar; mudah-mudahan ini hanya sarkasme. Dalam bayangan saya, hampir tidak mungkin seorang manusia waras bisa dengan cepat menghubungkan fenomena lucu-lucuan seperti OM TELOTET OM ini sebagai sebuah upaya pendangkalan aqidah. Entah imajinasinya yang terlalu tinggi atau kewaspadaannya yang melewati batas wajar. Wajarlah kalau saya menganggap itu sebagai sarkasme atau tulisan satire.

Meme itu lalu beredar luas, lengkap dengan tangkapan gambar akun si mbak yang menyebarkannya. Cacian dan makian tentu saja terlontar ke si pemilik akun, menganggap dia mengada-ngada bahkan menuding dia sebagai orang yang sengaja memupuk kebencian berbasis SARA.

Sehari kemudian tautan lain muncul di grup WhatsApp yang saya ikuti. Tautan itu menuju ke laman Facebook si mbak, isinya adalah penjelasan kalau sebenarnya yang dia lakukan itu adalah sarkasme, ejekan kepada orang-orang yang kadang memang bersumbu pendek dan tidak berpikir panjang. Dia sendiri kaget kalau ternyata apa yang dia lakukan menjadi viral dan sebagian besar malah tidak bisa diterima sebagai sebuah sarkasme, akhirnya dia malah kena risak.

Butuh Kecerdasan Lebih

Sarkasme dalam KBBI IV diartikan sebagai: (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar. Menurut saya apa yang dilakukan si mbak itu kurang pas disebut sebagai sarkasme, mungkin lebih cocok disebut sebagai satire.

Dalam KBBI IV, satire bermakna: gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Nah, ini lebih pas kalau memang si mbak itu berusaha menyindir orang-orang yang bersumbu pendek, malas berpikir dan senang melakukan cocokologi untuk mendukung kemalasannya.

Gaya bahasa satire memang tidak mudah. Tidak mudah dilakukan dan tidak mudah dicerna. Butuh kecerdasan lebih, baik bagi si pembuat maupun bagi si penerima. Di status Facebook-nya si mbak itu menulis begini:

Astaghfirullah. Sebarkanlah jika Anda peduli. Ternyata selama ini saya salah.

Kalimat itu memang ambigu, sulit untuk diterima sebagai sebuah satire apalagi sarkasme. Terlalu datar dan seperti dibuat dengan sungguh-sungguh. Jadi tidak heranlah kalau banyak orang yang tidak paham kalau kalimat itu adalah satire. Kata si mbak, teman-teman dekatnya langsung paham kalau itu hanya satire atau sarkasme, tapi berapa orang sih teman-teman dekatnya dibanding jumlah pengguna media sosial Indonesia?

Mungkin efek yang didapatkannya akan berbeda seandainya dia menulis seperti ini:

Astaghfirullah. Ternyata selama ini saya salah. Sebarkanlah, jangan biarkan si pembuat meme ini bodoh sendirian.

Kalimat “jangan biarkan si pembuat meme ini bodoh sendirian” adalah kunci dari gaya satire dalam kalimat itu. Orang cerdas akan mengartikannya sebagai: si pembuat meme itu bodoh karena bisa-bisanya membuat meme seperti itu. Satirenya akan lebih dapat meski ya tetap saja tidak semua orang bisa mencernanya.

Gaya bahasa satire memang tidak mudah dicerna saudara-saudara! Kita hidup di negeri yang pendidikannya tidak memberi ruang lebih kepada kita untuk menjadi kritis, jadi wajar saja kalau banyak dari kita yang lupa untuk mengkritisi sesuatu yang kita terima. Kebanyakan dari kita lebih senang menelannya saja, lupa untuk mempertanyakannya. Di dalam iklim yang seperti ini, satire tidak akan laku karena banyak orang yang lupa untuk mencari makna sebenarnya dari kata-kata itu.

Januari 2015 yang lalu saya pernah membuat tulisan berjudul “Saya Benci Ridwan Kamil.” Tulisan itu sebenarnya adalah satire yang saya tujukan buat walikota Makassar. Sayangnya, tujuan saya tidak tercapai. Postingan itu dibaca oleh dua macam orang: mereka yang sama sekali tidak mengerti satire dan malah balik menghujat saya sebagai haters Ridwan Kamil, sok pusing memikirkan kota orang lain dan sebagainya. Golongan kedua adalah mereka yang paham kalau itu satire tapi justru lebih membahas tentang Ridwan Kamil. Padahal aslinya saya berharap yang dibahas adalah walikota Makassar, sasaran utama dari tulisan itu.

Tujuan utama tidak tercapai, tapi justru tujuan-tujuan lainnya yang kena.

Dari situ saya belajar bahwa membuat sesuatu bernada satire memang butuh kecerdasan lebih. Sebagai pembuat kita harus pandai-pandai mencari kalimat yang menyembunyikan tujuan utama, tapi tetap tajam menusuk. Salah-salah bisa seperti si mbak tadi, dianggap bersumbu pendek dan kena risak massal. Saya dengan tulisan “Saya Benci Ridwan Kamil” itu masih beruntung karena ketika ada yang berusaha merisak, ada puluhan orang lainnya yang justru “membela” saya dan menertawai si perisak.

Selera humor tiap orang memang beda-beda, baca alasannya di sini

Membuat tulisan satire memang tidak gampang, butuh kecerdasan lebih dan selera humor yang tinggi. Apalagi masyarakat kita masih banyak yang tidak siap. Eh tapi membuat tulisan satire itu menyenangkan loh, asal siap saja dengan risikonya. [dG]