Merindukan Hujan
September sudah mau selesai, Oktober sudah menjelang. Tapi hujan masih malas mendekat.
Bulan ber-ber sudah datang. Dimulai dengan September yang sebentar lagi akan berganti Oktober. Tapi hujan belum juga datang. Padahal biasanya bulan ber itu akrab dengan hujan, yah minimal gerimislah. Itu biasanya, tahun ini sepertinya memang tidak biasa. Setidaknya untuk Makassar.
Sampai akhir September, rasanya sudah lama sekali Makassar tidak diguyur hujan. Saya bahkan lupa kapan terakhir hujan menyambangi Makassar. Walhasil, tanah kering kerontang, air sumur mulai susut, dan debu malah bertambah tebal. Jangan bilang soal gerah dan panas ya? Di Makassar, matahari saja sampai cari tempat berteduh saking panas dan gerahnya.
Sulit Ditebak
Cuaca memang semakin sulit diprediksi sekarang, bahkan di negara tropis seperti Indonesia. Zaman dulu, orang-orang tua kita punya kearifan lokal dalam bercocok tanam yang hadir dari kepekaan mereka membaca tanda-tanda alam. Mereka bisa dengan tepat memprediksikan kapan waktu untuk menanam, kapan menyemai, kapan memanen. Karena alam masih sangat mudah dibaca, apalagi Indonesia cuma punya dua musim; kemarau dan hujan.
Itu dulu.
Sekarang semua sudah berubah. Alam sudah sangat sulit untuk ditebak, akibatnya semua prediksi yang didasarkan pada kearifan lokal jadi tidak akurat lagi. Pola perubahan iklim dan cuaca sudah sangat berubah, sulit ditebak. Lebih sulit ditebak dari mood anak-anakABG yang galau.
Bayangkan, musim ketika harusnya matahari sudah terang benderang eh malah hujan masih rajin menyambangi. Sebaliknya, musim ketika harusnya hujan mulai datang meski tipis-tipis, eh matahari malah masih garang.
Musim Kering
Kembali ke kondisi musim kering di Makassar. Seperti yang saya bilang di atas, sampai sekarang akhir September masih belum ada tanda-tanda mendung apalagi hujan. Makassar masih sangat kepanasan, diguyur matahari setiap hari.
Bukan cuma Makassar sebenarnya, tapi hampir semua daerah Sulsel. Bahkan beberapa wilayah di Sulsel sudah menderita gagal panen karena kekeringan. Jumlahnya sudah mencapai ratusan hektar sawah. Cukup menyedihkan.
Di kota Makassar sendiri, beberapa waktu lalu pemadaman bergilir mulai terjadi. Meski alasan utamanya adalah karena perbaikan layanan dari PLN, tapi konon ini diperparah juga dengan kondisi ketersediaan air yang jadi bahan utama pembangkit listrik di Sulawesi Selatan. Ini memang hal yang biasa terjadi di Makassar, mengingat bahwa listrik di Sulawesi Selatan sebagian besar dipasok oleh PLTA Bakaru. Jadi ketika suplai air berkurang, maka daya juga tentu berkurang.
Sudah ada informasi juga kalau suplai air bersih mulai berkurang. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka sepertinya warga Makassar dan sekitarnya harus siap-siap berhemat air bersih. Mudah-mudahan tidak sampai begitu.
Satu lagi yang paling terasa adalah produksi debu. Barang-barang di rumah ditinggal sehari saja rasanya sudah penuh berdebu. Sangat mudah melihat kendaraan yang berseliweran di jalan yang dihiasi debu-debu di bagian tubuhnya. Padahal mungkin saja pagi sebelum turun ke jalan kendaraan itu sudah dibersihkan. Saking banyaknya produksi debu di Makassar.
*****
Oktober sudah mau datang, tapi hujan belum juga memberi tanda-tanda hadir. Harapan sebelum oktober saya cuma satu, mudah-mudahan hujan mau mampir ke Makassar. Yah minimal tiga kali seminggu lah, sekadar membasahi tanah yang sudah penuh dengan debu. Atau bisa mengisi aliran sumber air di Sulawesi Selatan. Mudah-mudahan ya. [dG]