Ke Penang
Sebuah catatan pendek dari perjalanan singkat ke Penang, Malaysia.
“Oh dari Penang? Berobat atau jalan-jalan?”
Pertanyaan seperti itu hadir dari beberapa orang ketika tahu saya baru saja dari Penang. Mereka pasti tahu reputasi Penang sebagai tempat berobatnya orang Indonesia. Iya, Penang – selain Singapura – sangat terkenal sebagai tujuan sebagian orang Indonesia untuk berobat. Entah karena tidak percaya dengan dokter Indonesia, atau karena memang hendak mencari second opinion. Tapi yang jelas, Penang memang memanfaatkan benar kebutuhan orang Indonesia itu. Banyak sekali paket wisata berobat ke Penang yang memang semakin memanjakan orang Indonesia yang ingin berobat ke sana.
Tapi kami – saya dan Mamie – ke Penang bukan untuk berobat.
Semua berawal dari ide, “Jalan-jalan ke luar negeri berdua yuk!” Ide yang langsung disetujui dan diturunkan menjadi rencana detail. Penang jadi tujuan pertama, karena tentu saja harganya yang relatif terjangkau. Tadinya ada opsi ke Singapura, tapi terbentur dengan pertanyaan, “Mau ngapain di Singapura?”
Dan Penang jadi pilihan pertama.
Berangkat.
Kami berangkat dari Jakarta, tepatnya dari Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta di hari Jumat yang cerah. Maskapai Air Asia yang akan mengantar kami ke Penang. Kebetulan harganya sangat terjangkau, jauh lebih murah dari harga tiket pesawat Jakarta-Makassar. Bedanya sampai 700-an ribu Rupiah per tiket. Lumayan kan? Jadi jangan heran kalau banyak orang Indonesia lebih memilih liburan ke luar negeri daripada ke wilayah timur Indonesia. Harga tiketnya beda jauh.
Singkat cerita kami tiba di bandara Penang dua jam kemudian. Bandara Penang kecil, bahkan tidak sebesar bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Ini bisa dimengerti karena Penang memang hanya sebuah daerah kecil di semenanjung Malaya, di seberang mainland.
Penang adalah bagian dari Kerajaan Malaysia, salah satu negara bagian. Letaknya memang dekat dari mainland, bahkan terhubung dengan sebuah jembatan panjang. Mungkin seperti Madura dengan Surabaya.
Dari bandara yang berada di sebelah selatan kami diantar ke arah utara, ke daerah George Town, pusat kota Penang. Kami memang menginap di sebuah hotel di wilayah George Town, dekat dari rumah sakit Glenagles yang terkenal. Kenapa menginap di situ? Karena itu rekomendasi dari bosnya Mamie yang memang biasa berobat ke Penang. Hotelnya memang enak, hanya saja ternyata lumayan jauh dari tempat wisata Penang. Mungkin karena yang memberi rekomendasi adalah orang yang sering ke Penang untuk berobat, bukan untuk jalan-jalan.
Melihat Penang
Kami memulai penjelajahan di Penang keesokan harinya. Kami hanya menghabiskan tiga malam di sana. Tiba Jumat, dan balik hari Senin. Jadi ketika Sabtu tiba, kami langsung menjelajah. Menengok beberapa sisi Penang yang sudah terkenal.
Tujuan pertama museum, tepatnya 3D museum. Sebenarnya ini museum biasa saja, museum yang cukup moderen yang menampilkan imaji 3 dimensi. Tidak terlalu menarik, tapi bisalah sebagai pembuka.
Dari museum itu kami berjalan kaki ke benteng Cornwallis yang merupakan peninggalan Inggris. Terletak tepat di seberang pelabuhan Penang yang hari itu menjadi tuan rumah merapatnya sebuah kapal pesiar besar. Benteng ini biasa saja menurut saya. Tidak seluas benteng Fort Rotterdam di Makassar. Jadi kami tidak lama di sana, hanya berputar seputar benteng lalu menikmati sarapan di beberapa kedai yang ada di sana. Kebetulan tiket masuk benteng sudah termasuk diskon makanan dan minuman di kedai dalam benteng.
Dari benteng Cornwaills kami lalu bergerak ke arah selatan, menuju Pinang Peranakan Mansion. Ini adalah rumah tua milik keluarga Tionghoa kaya yang menyimpan banyak sekali benda-benda memorabilia keluarga Tionghoa zaman dulu. Rumah kediaman itu kemudian dijadikan semacam museum yang dibuka untuk umum.
“Pemiliknya pengusaha tambang. Keturunan mereka sudah tinggal di Hong Kong sekarang, dan rumah ini dijual ke orang lain. Pembelinya inilah yang kemudian mengubah bangunan ini jadi museum,” kata salah seorang petugas di sana.
Pinang Peranakan Mansion sangat menarik buat saya. Banyak sekali benda-benda memorabilia yang menggambarkan bagaimana asimilasi antara Tionghoa, Melayu, dan bahkan Eropa. Mulai dari pakaiannya, perhiasan, hingga barang sehari-hari. Sangat berkesan.
Makanan
Hujan turun dengan cukup deras ketika kami selesai berkeliling di Pinang Peranakan Mansion. Padahal kami berencana akan berjalan ke daerah Little India dan Jetty, serta tentu saja mencari lokasi Penang Street Art yang jadi salah satu ikon Penang. Karena hujan masih deras maka kami memutuskan untuk makan di restoran yang berada dalam kawasan Pinang Peranakan Mansion.
Kami memesan makanan khas China peranakan, saya lupa namanya. Tapi yang saya ingat betul adalah rasanya. Aduhai! Benar-benar sangat nyaman di lidah. Itu makanan yang paling berkesan selama di Penang. Enak benar! Bumbunya meresap dan ah pokoknya benar-benar enak. Saya tidak bisa mendeskripsikannya. Memang tidak salah anggapan saya selama ini kalau masakan China peranakan itu memang enak.
Soal makanan, Penang memang cukup menggoda. Sebagai daerah yang merupakan pertemuan berbagai etnis seperti China, Melayu, dan India, beragam makanan dari beragam etnis itu hadir sebagai daya tarik wisata Penang.
Jadi selama tiga malam di Penang, kami pun berkeliling mencoba beragam kuliner dari beragam etnis itu. Dari nasi kandar, roti canai, beberapa makanan tionghoa yang halal, sampai durian asli Penang. Semuanya enak! Benar-benar enak.
Sejarah
Penang memang termasuk daerah yang menyimpan banyak sejarah untuk Malaysia. Beberapa bagian George Town sudah termasuk daerah yang dilindungi oleh UNESCO atau UNESCO Word Heritage. Artinya bangunan-bangunan tersebut tidak boleh diapa-apakan termasuk diubah, direnovasi, apalagi dirubuhkan. Jadilah wilayah tesebut seperti mesin waktu yang membawa kita ke zaman kolonial.
Hebatnya lagi, bangunan-bangunan tersebut sebagian besar sudah dialihfungsikan menjadi restoran, kantor, atau toko. Tanpa benar-benar mengubah bagian luarnya. Hanya ada sedikit bangunan yang dibiarkan terbengkalai.
“Kita memang tidak diperbolehkan mengubah bentuk bangunan ini. Cuma boleh memanfaatkannya saja,” kata seorang perempuan pemilik kedai kopi di salah satu bangunan tua Penang.
Ini membuat saya cemburu luar biasa. Bagaimana bisa mereka tetap menjaga bangunan tua penuh sejarah itu, sementara pemerintah Makassar malah merubuhkan bangunan-bangunan tua dan menggantinya dengan bangunan baru. Kenapa pemerintah Makassar tidak bisa? Atau jangan-jangan memang tidak mau.
Sebagai orang yang menyukai hal-hal dari masa lalu, atau katakanlah hal-hal retro, Penang sangat membuat saya terkesan. Menikmati daerah George Town yang terlihat sangat terpelihara dengan aroma zaman dulunya adalah salah satu hal yang mengesankan. Penang memang menjadikan bangunan tua dengan seni jalanan itu sebagai daya tarik utamanya, selain layanan rumah sakitnya.
*****
Kami kembali ke Jakarta Senin malam. Selesai sudah perjalanan singkat ke Penang yang cukup berkesan. Mungkin memang karena pilihan tempatnya yang sesuai dengan selera saya, jadinya perjalanan singkat ini berkesan. Meski sebenarnya tidak ada hal lain yang benar-benar spesial dari Penang. Tapi sebagai perjalanan singkat, cukuplah. Apakah saya akan kembali lagi ke Penang? Hmmm mungkin, tapi mungkin setelah saya melihat tempat-tempat lain dulu. [dG]