Tuhan Lebih Memilih Jerman

Diego Maradona, meratapi kekalahan telak timnya (Foto: FIFA.com)

” Fabio Capello harus menyaksikan partai Jerman vs Argentina, supaya dia belajar bagaimana caranya mengalahkan Jerman “.Itu adalah kalimat yang meluncur dari mulut Diego Armando Maradona, pelatih Argentina ketika memastikan bahwa Argentina akan berjumpa Jerman di babak perempat final. Ucapan itu terasa sangat sombong, tapi sebagian orang sudah paham karena itu keluar dari mulut seorang Diego Maradona. Bukan Maradona namanya kalau sepi dari sensasi.

Waktu itu Maradona mungkin terbuai oleh penampilan anak didiknya kala menghempaskan Mexico. Sebelumnya, Maradona sudah berhasil menorehkan catatan 100% dalam kualifikasi grup dengan menang 3 kali, salah satunya dengan skor besar 4-1 atas wakil Asia, Korea Selatan. Dasar-dasar inilah yang kemudian membuat Maradona besar kepala dan menganggap kalau tak ada lagi tim yang mampu menghadang Argentina.

Sampai sebelum bertemu Jerman di perempat final, Argentina sudah cukup mampu membangkitkan optimisme orang kalau mereka memang punya kans jadi juara musim ini. Meski Lionel Messi sang pemain terbaik belum juga mampu mencetak gol, namun orang-orang masih bisa melihat betapa merepotkannya si kutu itu. Messi masih tercatat sebagai pemain dengan shoot on goal terbanyak sejauh ini. Pun orang makin terpukau pada aksi individu Carlos Tevez, utamanya ketika menyarangkan gol indah lawan Mexico.

Sayangnya, Maradona dan mungkin banyak orang lainnya lupa kalau sebagian besar gol-gol Argentina lahir karena kelebihan individu para personilnya, bukan karena kerja tim yang terkoordinasi rapih. Maradona juga mungkin lupa kalau di pertandingan terakhir melawan Inggris, Jerman sudah menunjukkan kalau mereka adalah tim yang paling jago memainkan kolektifitas dan punya koordinasi yang rapih di tiap lini.

Dari dulu Jerman sudah terlanjur terkenal sebagai tim yang selalu pandai bermain dalam satu kesatuan. Nyaris tak ada satupun pemain Jerman yang menonjol karena aksi individu mereka, yang ada adalah pemain-pemain dengan kemampuan membangun serangan terpadu yang mematikan, atau setidaknya pemain dengan karakter pemimpin yang pantang menyerah. Maradona mungkin lupa itu, dia sudah terlanjur di awang-awang setelah dibuai kesuksesan Argentina di babak penyisihan grup.

Sabtu 4 Juli di Cape Town, Argentina masuk ke dalam stadion masih dengan keyakinan yang tinggi. Sayangnya keyakinan mereka dengan cepat berubah ketika anak muda bernama Thomas Mueller dengan kecerdikannya berhasil menyarangkan Jabulani di gawang Argentina saat belum semua lelaki di lapangan hijau itu basah oleh keringat. Sejak itu Argentina jadi panik. Belum pernah sebelumnya di Afrika Selatan mereka berada dalam posisi seperti itu, tak heran mereka jadi betul-betul kebingungan dan kehilangan akal apalagi para prajurit Jerman menunjukkan karakter asli mereka yang disiplin dan tidak gampang terpancing. Argentina makin panik dan kebingungan.

Memasuki babak kedua tidak ada tindakan berarti dari anak-anak berseragam putih garis-garis biru itu. Mereka malah terbawa irama permainan Jerman yang pelan dan santai. Hanya Tevez dan sesekali Messi yang mencoba mendobrak, tapi sama saja. Khaedira dan Schweinsteiger sudah sigap menghadang mereka sejak dari garis tengah. Argentina makin kebingungan.

Dalam kebingungan mereka, Jerman kembali memberi pelajaran penting tentang , fokus, kecepatan dan penempatan ruang. Mueller yang terduduk di antara dua pemain Argentina ternyata masih bisa menyodorkan bola ke Podolski di bagian kanan pertahanan Argentina. Podolski menggiring sebentar, sementara itu Klose bergerak bagai hantu di belakang para bek Argentina, mencari posisi yang tepat hingga umpan silang Poldi seperti sesendok nasi yang disuapkan tepat di depan mulut. Tak perlu tenaga untuk mendorongnya ke gawang yang sudah kosong. Di belakang Klose, Gabriel Heinze hanya melongo.

Setelah gol itu pertandingan serasa hanya formalitas saja. Gol-gol Jerman seperti tinggal menunggu waktu. Anak-anak Maradona sudah kehilangan semangat, jatuh dan terpuruk. Tak heran bila Schweisnteiger kemudian dengan bebasnya mengirim dua umpan yang segera dikonversi menjadi gol. Hebatnya lagi, seorang Arne Friedrich yang adalah bek tengah bisa merangsek ke atas dan menciptakan gol. Ke mana pemain-pemain Argentina saat itu ? entahlah, mereka sudah kehilangan fokus dan mungkin kehilangan gairah untuk bermain.

Itulah Jerman. Sejauh ini mereka adalah tim yang paling mampu menunjukkan permainan yang solid. Organisasi permainan mereka rapih, kolektifitas mereka mumpuni dan kecepatan mereka luar biasa. Inggris sudah merasakannya dan sabtu kemarin giliran Argentina yang merasakannya.

Selepas peluit panjang dibunyikan, Maradona mungkin tiba-tiba ingat kalau Jerman memang bermain secara tim ketika menghadapi Inggris, tidak seperti timnya yang sejauh ini terbantu oleh individu-individu luar biasa. Mungkin juga Maradona teringat pada Juan Riquelme, lelaki bertalenta luar biasa yang ditinggalkannya jauh di Argentina sana. Riquelme bisa saja menjadi pelayan Messi seperti yang dilakukan Xavi dan Iniesta di Barcelona, tapi Maradona meninggalkannya. Mungkin bila Riquelme ada maka Messi akan bersinar seperti dia bersinar di klubnya.

” Tuhan ingin Argentina ada di final 11 juli nanti “, begitu kata Maradona dua hari sebelum laga digelar. Tak usah mendebat kata-katanya, karena malam itu jawabannya sudah terpampang jelas. Malam itu Tuhan lebih memilih Jerman, mungkin hingga partai final nanti. Siapa yang tahu..