Surutnya Sepakbola Inggris
Kehidupan seperti lautan. Ada pasang surutnya dan ada gelombangnya. Begitu juga kehidupan di dunia sepakbola.
Orang Inggris selalu mengklaim diri mereka sebagai penemu sepakbola, negara mereka selalu diagung-agungkan sebagai tanah nenek moyang sepakbola. Tahun 1966 mereka jadi tuan rumah ajang Piala Dunia dan dengan bangganya mereka mengusung tema: Football Comes Home. Ada banyak perdebatan tentang ini. Orang Inggris memang penemu sepakbola modern, mereka juga yang membawa olahraga ini sampai ke Italia, Argentina dan bahkan Brazil.
Ironisnya karena meski dianggap menemukan sepakbola modern, mereka malah tidak terlalu akrab dengan trofijuara. Di ajang piala dunia mereka hanya sekali mencicipi label juara, tahun 1966 ketika ?sepakbola diklaim pulang ke rumahnya. Hanya sekali itu dan bahkan menyentuh partai final sekalipun mereka tidak pernah lagi. Jelas kalah mentereng dari negara yang mereka pengaruhi seperti Brazil, Italia atau bahkan Argentina.
Klub Inggris mungkin bernasib lebih baik. Liverpool dan Manchester United pernah menjadi raja Eropa walaupun sekali lagi masih kalah dari klub asal Spanyol, Real Madrid dan klub asal Italia, AC Milan. Entah kenapa, Inggris selalu dianggap overrated atau terlalu dibesar-besarkan kekuatannya ketika mereka turun ke ajang antar negara. Mungkin itu sebagai penghargaan atas jasa mereka menyebarkan sepakbola ke penjuru dunia.
Dasawarsa 90an, sepakbola Italia merajai Eropa dan tentunya jadi pusat perhatian di seluruh dunia. Eropa adalah tanah sucinya sepakbola, apa yang terjadi di sana seluruh dunia harus tahu. Media dan pebisnis menjadikan Eropa sebagai taman bermain mereka. Benua lain hanya dilirik seperlunya, kalau masih ada waktu.
Nama-nama seperti Van Basten, Ruud Gullit, Rijkaard, Matthaus, Voeller, Klinsmann, Vialli dan banyak lagi adalah nama-nama magnet kuat yang menarik atensi orang melirik ke Italia. Tahun 90an adalah tahunnya Italia, sayangnya hanya dalam level klub. Di tingkatan piala dunia dan piala Eropa mereka tetap tidak bisa bicara banyak.
Tapi surut kemudian datang. Memasuki periode tahun 2000an, giliran Inggris yang perlahan mencuri perhatian. Para investor termasuk dari negeri padang pasir datang ke kampung Pangeran Charles itu dengan membawa berkoper-koper dana segar. Satu persatu klub Inggris didanai, diberi darah segar dan didandani agar menarik.
Pemain-pemain top dunia kemudian mengepak koper mereka dan terbang ke Inggris, berdesakan di klub-klub yang memang sudah terkenal sebagai klub besar atau bahkan klub yang sebelumnya lebih banyak dicap sebagai medioker.
Chelsea dan Manchester City pada periode tahun 90an adalah klub yang belum sementereng sekarang. Mereka lebih banyak berkutat di papan tengah, kalah mentereng dari Manchester United, Liverpool, Arsenal atau bahkan Tottenham Hotspur. Tapi uang mengubah nasib mereka. Dengan cepat mereka menyeruak ke permukaan, mencari tempat nyaman di antara para langganan juara bahkan perlahan menggeser mereka.
Sepakbola Inggris berhasil mencuri sorotan lampu dari Italia yang perlahan memudar seiring kasus calciopoli tahun 2006. Herannya, meski dilanda kasus, sepakbola Italia malah berjaya dengan merebut juara dunia keempatnya meski liga mereka mulai ditinggalkan televisi berbayar. Popularitas liga Italia mulai tinggal kenangan, kehebatan klubnya juga sudah mulai hilang satu persatu.
Sementara itu Inggris yang dibanjiri investor dan pemain mahal mulai merangkak dan meraup popularitas. Di tingkatan klub, mereka menguasai Eropa secara perlahan-lahan. Sejak tahun 2005 hingga 2009 mereka berhasil mengirim wakilnya ke partai final meski hanya menyisakan Liverpool dan Manchester United sebagai juaranya. selama 3 tahun berturut-turut sejak 2007 Inggris bahkan mengirim 3 wakilnya di semifinal. Puncaknya tahun 2008 ketika terjadi All England Final yang mempertemukan Manchester United dengan Chelsea. Inggris berhasil menyamai Spanyol (tahun 200) dan Italia (tahun 2003) yang sama-sama membuat final antar tim senegara.
Tapi surut kemudian datang. Tahun 2013 atau setahun setelah Chelsea menjadi raja Eropa tidak ada satupun wakil Inggris yang bertahan hinggal perempat final. Sang juara bertahan sudah gugur duluan sebelum fase grup selesai. Disusul Manchester United, Arsenal dan Manchester City. Meski liganya masih diperbincangkan orang, tapi nyatanya klub Inggris bukan siapa-siapa di level Eropa.
Sepakbola memang seperti kehidupan, dan kehidupan seperti lautan. Ada pasang, ada surut, ada masa tenang dan ada gelombang. Tahun ini Inggris gagal menunjukkan ke dunia kalau mereka punya klub hebat. Tahun depan, mereka mungkin juga masih gagal untuk menunjukkan ke dunia kalau mereka punya tim nasional yang hebat.
Atau, jangan-jangan tahun depan sepakbola Inggris malah akan pasang dan jadi juara dunia untuk keduakalinya? [dG]
….