Messi Dan Beban Berat di Pundaknya

Sungguh berat beban itu untuk seorang Messi
Sungguh berat beban itu untuk seorang Messi

“Great power comes with a great responsibility”

Kata Uncle Ben, paman Peter Parker sang manusia laba-laba. Kekuatan besar datang bersamaan dengan tanggung jawab yang besar, sesuatu yang kadang tidak disadari oleh orang awam. Sebagai orang awam kita hanya tahu kalau mereka yang diberkahi kekuatan besar itu sebagai orang-orang yang bahagia. Mereka bisa melakukan banyak hal yang tak bisa dilakukan oleh manusia biasa seperti kita. Mereka mendapatkan puja-puji, sorotan dan -dalam beberapa kasus-kesenangan duniawi.

Tapi kita lupa kalau mereka yang diberkahi kekuatan luar biasa itu juga punya tanggung jawab yang luar biasa besar. Kadang malah terasa lebih berat dari yang bisa mereka sokong.

Lionel Messi salah satunya. Sebutlah satu pemain sepakbola terbaik dalam satu dasawarsa terakhir, dan tentu saja namanya akan muncul di permukaan. Raja, dewa, mahluk luar angkasa, dan entah apalagi julukan yang sering disematkan di dadanya. Dia adalah pahlawan bagi Barcelona, idaman jutaan penggila sepakbola di seluruh dunia, dan tentu saja di negeri asalnya Argentina.

Status pemain terbaik dunia sebanyak empat kali, deretan juara La Liga dan juara Champions Eropa, semua sudah ada di lemari Messi. Di level personal, apalagi yang dicarinya? Semua yang bisa direbut seorang pesepakbola sudah direbutnya. Tinggal tersisa gelar bersama tim nasional.

Lalu bersama tim nasional Argentina, Messi mencicipi partai puncak empat kali. Dua kali di Copa America (2007 dan 2015) serta sekali partai puncak Piala Dunia (2014). Tapi, semua berujung pada hasil yang sama; runner up.

26 Juni 2016 di  MetLife Stadium, Messi sekali lagi mencicipi partai final bersama para kompatriotnya dalam seragam biru-putih. Ulangan final setahun lalu adalah momen yang tepat untuk menuntaskan hasrat terpendam Messi, meraih satu trofi bergengsi untuk timnas senior Argentina.

Sepanjang gelaran Copa America Centenario, Messi sudah menunjukkan kapasitasnya sebagai Sang Mesias. Melakoni peran baru sebagai penyalur bola di belakang striker, Messi mengangkat moral teman-temannya saat menggulung Panama, lalu berlanjut pada aksi luar biasa meredam tuan rumah Amerika Serikat. Dunia bergemuruh, Messi pasti bisa menuntaskan puasa gelar internasionalnya!

Sayangnya, Messi menjadi manusia biasa di waktu yang tidak tepat. Di final dia lebih banyak kebingungan di tengah kepungan pemain Chile yang tidak keberatan bermain keras demi menghadang si La Pulga itu. Messi mati kutu, tidak mampu berkontribusi sama sekali sampai akhirnya pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti.

Harusnya Messi menjadi pahlawan setelah secara tidak terduga Vidal gagal menceploskan bola ke gawang Argentina. Tapi, beban di pundaknya mungkin terasa sangat berat. Tendangan Messi malah melambung, jauh ke tribun penonton. Kalau sang harapan saja sudah gagal, maka kepada siapa lagi Argentina akan berharap? Dan akhirnya memang Chile yang berpesta, bersorak dan berpelukan di depan Messi dan kawan-kawannya yang terkulai lemas.

*****

Dan air mata itu tak bisa lagi ditahannya
Dan air mata itu tak bisa lagi ditahannya

Messi menutup wajahnya dengan kaos putih-biru Argentina lalu berjalan ke bangku cadangan. Dia berdiri membelakangi lapangan yang masih dipenuhi dengan sorak sorai kemenangan tim Chile. Messi menunduk, mungkin menata hatinya, menahan air mata yang selalu bisa ditahannya dalam tiga final gagal sebelumnya. Seorang official Argentina berusaha menghiburnya, hingga dia kemudian berbalik dan kembali ke lapangan, bergabung dengan rekan setimnya.

Tapi air mata itu tidak bisa lagi ditahannya.

Malam itu Messi menjadi manusia biasa, yang tak mampu menahan beban dari dalam dadanya yang menyeruak lewat sepasang matanya. Empat kekalahan di final dan beban harapan dari jutaan warga Argentina dan pecinta sepakbola dunia sungguh terasa berat untuk seorang Messi. Status sebagai pemain terbaik dunia datang dengan tanggung jawab yang sungguh besar. Malam itu Messi menemui jalan buntu, kembali menemukan dirinya hanya jadi pencicip partai final, bukan juara.

Beratnya beban itu juga yang mungkin membuatnya yakin untuk menggantungkan baju biru-putih Argentina. Di depan wartawan dia dengan tegas menyatakan pensiun dari membela tim nasional.

“Di ruang ganti, saya berpikir kalau tim nasional sudah selesai buat saya. Cukup sampai di sini,” kata Messi. “Rasanya ini saat yang tepat. Ini kesedihan besar bahwa ini terjadi kepada saya, bahwa saya gagal mengeksekusi penalti yang sangat penting. Ini untuk kepentingan semua orang. Tidak cukup hanya masuk final tapi gagal menjadi juara.”

Kata-kata itu mungkin saja keluar karena pengaruh emosi dan kekecewaan yang sangat besar. Peter Parker juga diceritakan pernah memutuskan pensiun sebagai Spiderman ketika dirasanya beban menjadi super hero terlalu berat. Tapi Peter Parker akhirnya kembali. Entah dengan Lionel Messi.

Untuk saat ini biarkanlah Messi menikmati kesedihan dan kekecewaannya dulu. Dia sudah cukup berat dengan beban yang tak mampu dipikulnya. Akan butuh waktu lama sebelum luka-luka itu sembuh, sebelum dia bisa kembali turun ke lapangan dan menikmati sepakbola seperti bagaimana seharusnya seorang pesepakbola menikmatinya.

Mungkin sudah seharusnya memang Messi tidak diberi beban berat lagi. Biarlah dia menyimpan rasa penasaran seumur hidupnya karena belum pernah meraih gelar buat tim nasionalnya. Penasaran, tapi setidaknya pundaknya lega, tak lagi memikul beban yang sungguh berat. [dG]