Kuas Tajam Di Kaki Seniman

Pirlo dan team Italia sedang berlatih

Orang Jerman selalu merasa minder jika berhadapan dengan orang Italia. Bagi mereka orang Italia selalu lebih necis, lebih rapi, lebih sukses, lebih tampan dan lebih pintar.

” Sepakbola adalah permainan 22 orang yang saling berebut bola dan kemudian dimenangkan oleh Jerman”, Kata Gary Lineker dengan kesal. Legenda Inggris di akhir 80an dan awal 90an itu paham betul kalau Jerman adalah sebuah tim yang selalu menjadi batu sandungan untuk tim-tim lainnya.

Orang Jerman seperti punya darah segar setiap kali turun sebagai sebuah tim dalam sebuah turnamen. Tidak peduli seberapa buruk penampilan mereka di babak kualifikasi grup, begitu turun ke lapangan dalam ajang yang sesungguhnya maka Jerman akan berubah menjadi sebuah tim yang pantang menyerah dan hanya mengenal satu kata, menang!

Memang mereka tidak selalu menjadi juara, tapi mereka konsisten. Hampir selalu masuk ke babak akhir, paling buruk semifinal. Sebuah tim yang disegani dan selalu diperhitungkan. Orang Jerman itu pekerja keras, disiplin tinggi, bermental baja dan berfisik prima. Mereka selalu berlarian ke sana ke mari mengejar bola, sampai peluit akhir berbunyi.

Jerman adalah tim yang kaku, miskin kreatifitas dan tidak mengandalkan permainan indah para individu. Mereka adalah tim yang bekerja sistematis sesuai teori sepakbola. Mereka tidak mengandalkan satu-dua bintang, tapi sebelas pemain yang rela bekerjasama dengan keringat dan bahkan darah yang bercucuran. Mereka adalah mesin dalam sebuah industri yang saling bahu membahu dan saling membantu mencapai tujuan.

Italia berbeda dengan Jerman. Orang Italia pecinta seni, mereka senang tampil necis, senang mengumbar kata cinta dan senang bersantai. Orang Italia senang menghabiskan waktu mereka di cafe dengan segelas cappucino, espresso dan berjam-jam obrolan seru.

Orang Italia eskpresif. Lihat gerak mereka, tangan mereka selalu bergerak serupa penari yang mengikuti alunan nada yang keluar dari mulut mereka. Orang Italia penuh kreasi, mereka tidak suka hidup yang serba teratur. Bagi mereka setiap detik terlalu berharga untuk sekadar dilewatkan tanpa dicintai.

Lelaki Italia adalah para seniman berwajah tampan yang pandai memikat hati wanita dengan kalimat yang penuh cinta. Para lelaki Italia bermain bola dengan kaki yang lincah meliuk. Mereka menebar aroma cinta dan kadang intrik dari setiap gerak kaki di lapangan hijau. Lelaki Italia adalah pecinta yang kadang memanipulasi kelicikan hingga tampak seperti cinta yang indah.

Di abad ke-14 Italia adalah pusat seni Eropa. Orang Jerman menyeberang daratan untuk datang ke Italia mempelajari dasar seni Eropa. Albert Durer yang memulai, sebelum kemudian disusul oleh seniman lain seperti Goethe. Tahun 90an, Italia juga jadi pusat pelatihan bagi para pesepakbola kelas satu Jerman. Italia jadi tempat belajar bagi Lothar Matthaus, Andreas Brehme, Juergen Klinsmann, Juergen Kohler dan Rudi Voeller.

Meski tak sesering Jerman mencicipi partai puncak, toh Italia juga berhasil menjadi negara Eropa yang bisa mengganggu dominasi Brasil dengan 4 bintang di dada kirinya. Empat bintang yang melambangkan empat juara dunia yang sudah mereka raih. Kalah satu bintang dari negeri Samba di benua seberang.

Orang Italia adalah orang-orang yang santai dan menghargai hidup dengan sikap santai. Kekuatan mereka baru keluar ketika mereka merasa terancam dan berada di tepi jurang. Tahun 1934 dan 1938 mereka juara ketika Mussolini menodongkan senapan ke kepala para pemain. Tahun 1982 mereka juara dunia ketika kasus suap hinggap di tubuh beberapa pemain mereka. Tahun 2006 mereka juara lagi ketika kasus calciopoli meruntuhkan kejayaan Serie A. Tahun ini mereka berangkat ke Polandia-Ukraina juga dengan kasus pengaturan skor yang mencoreng muka Italia. Bukan tidak mungkin mereka akan juara kali ini.

Malam nanti Italia dan Jerman akan bertemu. Dua tim yang akan saling bunuh untuk menentukan satu tempat di partai final. Sudah ada Spanyol yang menunggu di sana, dan hanya ada satu yang boleh menghadapinya. Italia atau Jerman.

Italia punya ksatria mungil bernama Andrea Pirlo. Lelaki asal Brescia ini berhasil memaksa banyak pelatih mengubah skenario tim karena kemampuannya. Dia tampil menjadi deep playmaker, bermain tepat di depan dua bek untuk mengontrol permainan dan menjamu para striker.

Pirlo bak seekor ular mungil yang bergerak dalam senyap, nyaris tak terlihat dan tiba-tiba melepas patukannya. Dia punya kelengkapan sebagai seorang seniman lapangan bola. Dia bisa mengontrol bola dengan baik, meliuk melewati satu dua pemain yang bertubuh lebih besar dari dirinya dan melepas umpan yang hampir selalu tepat jatuh di kaki pemain lain.

Di Jerman ada Mezut Oziel, lelaki berdarah Turki yang jadi pengatur lapangan tengah Jerman. Dia juga mungil bila dibandingkan pasukan Jerman lainnya, tapi kakinya lincah dan geraknya selalu membahayakan. Mata bolanya seperti mata burung hantu yang memantau mangsa, siap menyerang kapan saja. Oziel adalah seniman Jerman, tentu dengan gaya yang berbeda dengan seniman Italia. Oziel lebih sistematis dan jarang memberi kejutan.

Malam nanti, kedua seniman itu akan saling beradu. Hasil kreasi siapa yang paling indah, guratan kuas siapa yang paling mampu menarik decak kagum para penikmat seni lapangan hijau. Pirlo atau Oziel? Dua seniman beda usia yang akan beradu keindahan gerak di lapangan hijau.

Orang Jerman selalu merasa minder jika berhadapan dengan orang Italia. Bagi mereka orang Italia selalu lebih necis, lebih rapi, lebih sukses, lebih tampan dan lebih pintar. Sebaliknya, orang Italia juga selalu menghormati il spirito tedesco, semangat orang Jerman. Di manapun Gli Azzuri bertemu Jerman, mereka selalu bersemangat jauh lebih besar dari biasanya. Bertemu Jerman berarti mempertaruhkan kejayaan negeri, bukan sekadar permainan.

Malam nanti, dua orang seniman akan saling beradu dengan kuas tajam di kaki mereka. Mereka mungkin akan bersalaman di akhir pertandingan dengan salah satu dari mereka tersenyum lebar dan lainnya tertunduk lesu. Jerman atau Italia?

[dG]