Brasil, Tolong Maafkan Silva
Kalau saja Thiago Silva tidak berlaku bodoh saat melawan Kolombia di perdelapan final, Brasil mungkin tidak akan menelan kekalahan memalukan seperti itu.
Terlahir dengan nama Ricardo Izecson Dos Santos Leite kelak dia lebih dikenal dengan nama Kaka. Sejak kecil lelaki yang lahir dari keluarga kaya di kota Sao Paolo ini sudah gemar bermain bola. Sebuah kejadian fatal yang melukau tulang punggungnya di kolam renang membuatnya hampir saja kehilangan karirnya. Dokter sudah memvonis Kaka tidak bisa bermain bola lagi, bahkan kalaupun bisa berdiri maka itu adalah sebuah keajaiban.
Tapi keajaiban itu memang ada. Kaka bukan hanya bisa berdiri lagi, dia bahkan bisa bermain bola kembali dan kelak dikenal sebagai salah satu pemain sepak bola terbaik yang pernah dimiliki Brasil. Kaka bahkan ikut dalam tim emas Brasil yang merebut piala dunia kelima di Korea-Jepang 2002. Sebagai seorang kristiani yang taat Kaka sangat mensyukuri keajaiban ini, selepas mencetak gol dia tak pernah lupa berterimakasih pada Tuhan. Di kaos dalam dan bahkan di sepatunya selalu ada nama Jesus yang ditempatkannya di atas segala-galanya.
Keajaiban lain juga dirasakan Nkwankwo Kanu, seorang pria tinggi kurus dari Nigeria. Di akhir tahun 1990an Kanu yang karirnya mulai meroket menemukan kenyataan kalau ada yang salah dengan jantungnya. Dokter Inter Milan, klubnya saat itu sudah angkat tangan dan yakin kalau karir anak muda itu tidak akan panjang.
Tapi Kanu tidak menyerah. Dibantu oleh dokter tim Arsenal, klub yang bersedia menerimanya dia terus berusaha untuk sembuh. Benar saja, Kanu bisa melanjutkan karirnya dan bahkan jadi salah satu elemen penting Arsenal ketika klub itu merajai liga Inggris di akhir dekade 1990an.
Kaka dan Kanu hanya segelintir dari sekian banyak pesepakbola yang menemukan keajaiban, keluar dari rasa sakit yang hampir menghentikan karir mereka sebelum akhirnya bisa bersinar kembali.
Contoh lain adalah Thiago Silva. Silva memulai karir sepakbolanya dari Fluminense di akhir dekade 1990an. Bakat besarnya dengan cepat menarik minat banyak klub, termasuk juara liga Portugal, FC Porto. Tahun 2004 dalam usia 20 tahun dia menyeberang ke klub yang pernah dibesarkan Jose Mourinho itu. Seharusnya ini adalah langkah besar karena Porto adalah gerbang Silva menuju kejayaan di tanah Eropa.
Sayangnya nasib berkata lain.
“Kedatanganku di Porto bukan hal yang mudah. Meski bahasanya sama tapi tetap saja saya merasa kesepian. Beberapa waktu kemudian dokter menemukan kalau saya terkena tuberculosis meski tidak ada satupun dokter yang benar-benar tahu apa yang salah dengan saya.” Ucap Silva.
Penyakit yang menggerogotinya membuat Silva tak pernah bisa menembus tim inti. Tubercolusis merenggut semua kemampuannya dan diapun tersia-siakan di Porto. Tim Fluminense yang tahu kapasitas seorang Silva segera bergerak cepat. Silva ditarik kembali ke Fluminense dan dengan pengobatan yang pas dia berhasil keluar dari sakit yang dia derita.
Dunia kemudian mengenal Silva sebagai pemain bertahan terbaik Brasil era ini, di tim nasional dia didaulat menjadi kapten dan salah satu tumpuan rakyat Brasil untuk merebut gelar keenam di tanah sendiri.
Maafkan Silva.
Semua berjalan lancar pada awalnya, sampai kemudian lelaki bertinggi 183 cm ini membuat satu kesalahan bodoh ketika menghadapi Kolombia. Di menit ke-64 Silva menghadang laju kiper Kolombia Ospina yang hendak menedang bola. Sebuah tindakan bodoh yang tak ada gunanya. Kebodohan itu diganjar kartu kuning, melengkapi satu kartu kuning yang sudah diterimanya kala berhadapan dengan Chile di partai sebelumnya. Ini berarti Silva tak boleh main ketika Brasil menghadapi Jerman di semi final.
Brasil juga akhirnya kehilangan Neymar ketika harus ditarik keluar di menit 88. Satu ruas tulang punggungnya retak dan berarti dia harus merelakan kampanye piala dunianya berakhir lebih cepat. Konon beberapa senti lagi Neymar bisa lumpuh seumur hidup.
Tanpa Neymar, Brasil ibarat mobil tanpa mesin terbaik. Tak peduli sekeren apapun desain mobil Anda, atau cat yang Anda pilih kalau mobil Anda tak dilengkapi mesin terbaik maka semua tak ada artinya. Begitu juga dengan Brasil, tanpa Neymar mereka hanya tim dengan sejarah mentereng yang tak bisa jalan dengan baik. Neymar adalah otak, mesin dan apapun yang terbaik buat Brasil. Brasil tanpa Neymar adalah mobil Ferrari bermesin bajaj. Bisa jalan, tapi yah begitu deh.
Tapi Brasil tanpa Silva ibarat toko emas tanpa penjaga, tanpa lemari kaca anti peluru, tanpa CCTV dan tanpa alarm. Semua memudahkan anak kecil sekalipun untuk masuk dan mengambil emas mana saja yang dia mau, tak ada yang bisa mencegahnya.
Jerman adalah pengunjung toko emas itu. Mereka mengobrak-abrik pertahanan Brasil seperti anak kecil yang mengobrak-abrik etalase toko emas yang tak berpenjaga. Barisan bek Brasil seperti penjaga toko emas yang sibuk bergosip, mengobrol satu sama lain dan membiarkan jualan mereka dirogoh seenaknya. Skor 7-1 sudah cukup sebagai bukti.
Andai saja Silva tak berbuat bodoh kala melawan Kolombia, pertahanan Brasil mungkin tidak akan seburuk itu. Tanpa Neymar mereka mungkin akan sulit membuat gol dan mungkin tetap kalah, tapi setidaknya kalau ada Silva di sisi David Luiz, Brasil mungkin tidak mendekati Arab Saudi yang dibantai Jerman di piala dunia 2002.
Jadi Brasil, maafkan Silva yang dengan bodohnya sudah membuat dirinya sendiri dilarang bermain di partai semi final. Mimpi kalian jadi juara dunia keenam kalinya harus kandas di rumah sendiri. Mungkin memang butuh waktu lebih lama sebelum kalian bisa jadi juara dunia lagi. Untuk saat ini berilah jalan buat Jerman atau Argentina, sambil tak lupa memaafkan Thiago Silva. Toh, lebaran datang sebentar lagi. [dG]