Ada Apa Dengan-MU?

Dua pertandingan lawak MU sudah berakhir, hasilnya pun cukup menghibur untuk para pecinta sepak bola komedi. Tapi tidak buat para pendukung MU.

Eropa sedang mengalami masa yang berat akibat gelombang panas. Kebakaran hutan di Perancis, sementara di Inggris dan Jerman kekeringan mulai mengancam. Musim panas tahun ini membuat cuaca di Eropa yang biasanya sejuk atau dingin menjadi sangat panas. Suasana panas itu terasa semakin menyiksa karena bukan hanya terjadi di luar tubuh, tapi juga di dalam kepala dan hati sebagian orang. Utamanya para pendukung Manchester United.

Liga primer Inggris sudah dimulai, dan dua pertandingan sudah dilewati. Dua-duanya memberi hasil yang cukup meremukkan harapan buat pendukung Setan Merah dari Manchester. Kalah 1-2 dari Brighton, dan diteruskan dengan kalah 0-4 dari Brentford. Kemasukan enam gol dan hanya bisa membalas dengan satu gol. Jumlah yang sukses membuat mereka duduk di peringkat bawah klasemen sementara Liga Primer Inggris.

Sukses jadi pecundang.

Ganti Pelatih

Selepas turunnya Sir Alex Ferguson, Manchester United memang pelan-pelan mulai ikut terseret turun. David Moyes yang ditunjuk Sir Alex menggantikan dia ternyata memang belum sekaliber dia. Susah memang, nama Sir Alex sudah terlalu besar dan tentu saja tidak bisa digantikan dalam waktu singkat. Berharap klub akan bersabar seperti waktu pertama Sir Alex tiba puluhan tahun lalu juga tidak mungkin. Publik sepak bola saat ini sudah tidak sesabar publik dekade 80-an. Jadi setelah David Moyes dianggap tidak berhasil mempertahankan nama besar MU, dia segera diminta mengepak barangnya.

Selepas Moyes total sudah ada tujuh manager pelatih yang didatangkan MU, ini kalau manager sementara seperti Ryan Giggs, Michael Carrick, dan Ralf Rangnick dihitung. Total delapan pelatih dalam sembilan tahun selepas kepergian Sir Alex. Dan semua bisa dibilang gagal menjaga nama besar Setan Merah dari Manchester ini.

Sebenarnya Mourinho dan Ole Gunnar Solksjaer bisa dibilang lumayan memberikan angin segar untuk MU. Keduanya berhasil membawa MU duduk di peringkat dua klasemen Liga Primer Inggris. Mourinho di musim 2017/18, dan Ole di musim 2020/21. Sayangnya, keduanya juga akhirnya harus angkat kaki. Mourinho dianggap gagal membangun kondisi ideal di dalam tim, dan Ole dianggap gagal membangun kreativitas tim.

Ten Hag Datang

Selepas kepergian Ole, ditunjuklah Ralf Rangnick sebagai pelatih sementara untuk membenahi tim. Ralf sudah terkenal di Jerman sebagai pelatih yang meletakkan dasar dari taktik gegenpressing, sebuah filosofi sepak bola yang mengutamakan tekanan tinggi dan kolektif pada lawan. Pelatih Liverpool Jurgen Kloop konon menciptakan filosofi itu karena terinspirasi oleh Ralf Rangnick. Belakangan Kloop sukses menggunakan filosofi itu di Liverpool dan membuat Liverpool berhasil “buka puasa” gelar.

“Muridnya saja kayak gitu, apalagi gurunya,” begitu kata sebagian orang. Sebagai tanda optimisme akan kedatangan Ralf Rangnick.

Tapi optimisme tinggal optimisme. MU yang awalnya bermain baik di bawah Ole, perlahan menjadi klub medioker. Bahkan seorang Cristiano Ronaldo, salah satu pemain sepak bola terbaik di muka bumi yang katanya datang sebagai “anak hilang yang kembali” juga tidak bisa berbuat banyak. Lawakan demi lawakan ditampilkan pemain setan merah, hingga akhirnya musim 2021/22. MU berakhir di peringkat 6, hasil dari 38 pertandingan, 16 kali menang, 10 kali seri, dan 12 kali kalah. Mereka juga berhasil menyeimbangkan statistik gol dengan 57 kali memasukkan dan 57 kali kemasukan. Impas.

Musim 2022/23 dimulai dengan menekan tombol restart. Pelatih manager baru didatangkan dari Belanda. Erik Ten Hag, mantan manajer Ajax Amsterdam yang berhasil membuat klub itu bergema di Belanda dan Eropa. Harapan tinggi disematkan di pundak pelatih Belanda kedua dalam sembilan tahun terakhir perjalanan Manchester United.

Dan benar saja, dua pertandingan awal MU Ten Hag sudah mencatatkan sejarah. Pelatih pertama sejak 1921 yang membuat MU kalah dua kali berturut-turut dalam laga pembukaan Liga Inggris. Ten Hag juga berhasil mengulang sejarah menjadikan MU kemasukan setidaknya enam gol dalam dua pertandingan sejak terakhir melakukannya di tahun 1960.

Dua prestasi luar biasa di awal musim!

Ada apa?

Ada Apa MU?

Pertanyaan terbesar saat ini adalah, ada apa dengan MU? Apa yang salah? Pelatih baru yang dianggap bisa membawa perubahan sudah datang, pemain yang dianggap bisa membawa pengaruh buruk sudah disuruh keluar, bahkan hasil pra musim juga sudah menunjukkan hasil menggembirakan. Tapi kenapa justru setelah main di panggung sesungguhnya, mereka melempem?

Dari hasil pertandingan terakhir, pengamat sepak bola bilang kalau MU membutuhkan defense midfielder atau gelandang bertahan yang bisa keluar dari tekanan dan menjadi penghubung antara lini belakang dan depan. MU tidak punya ini, karena ketika mereka sedang berada di bawah tekanan, yang ada justru gelandang bertahan yang bingung harus berbuat apa. Bahkan melakukan kesalahan-kesalahan mendasar yang bisa dimanfaatkan lawan.

Pemain bertahan mereka juga seperti gampang panik ketika diserang, lupa menutup lubang-lubang pertahanan dan malah terpaku pada satu pemain. Sialnya lagi, De Gea sang kiper yang di musim lalu dianggap pahlawan, di pertandingan terakhir kemarin justru jadi kartu mati.

Maju ke bagian depan, gelandang serang dan penyerang MU juga dianggap kurang kreativitas. Bingung membongkar pertahanan lawan, salah umpan, dan ah pokoknya seperti tim yang baru belajar main bola.

Dari belakang sampai depan semua bobrok, tidak ada yang menonjol. Situs Sportbible bahkan memberi skor rata-rata 2/10 untuk semua pemain MU malam itu. Saking buruknya permainan klub yang pernah menjadi raja Liga Inggris itu.

Mental sepertinya memang jadi masalah utama buat MU. Mau sebagus apapun strategi dan taktik yang diusung pelatih, kalau mental pemain memang sudah down¸ semua tidak akan berjalan. Tinggal menunggu waktu saja sebelum konflik antar pemain atau situasi panas di ruang ganti akan muncul. Itu kalau Ten Hag sebagai orang paling berkuasa di ruang ganti gagal menemukan cara terbaik memperbaiki suasana mental pemainnya.

*****

Dua pertandingan lawak MU sudah berakhir, hasilnya pun cukup menghibur untuk para pecinta sepak bola komedi. Tapi tidak buat para pendukung MU. Hati dan kepala mereka pasti panas, walaupun rasanya mendung menggantung di atas kepala mereka. Tidak usah bermimpi bersaing dengan tetangga Manchester City yang tampil menggila pekan lalu, bersaing dengan tim seperti Everton atau Leicester City saja rasanya berat.

Pekan depan MU harus bisa memanfaatkan pertandingan ketiga sebagai momentum untuk bangkit. Apalagi lawan mereka hanya…eh, Liverpool ya? Waduh! [dG]