Pendekar Tongkat Emas; Pendekar Tanpa Make Up

Poster Pendekar Tongkat Emas
Poster Pendekar Tongkat Emas

Pendekar Tongkat Emas bisa mengobati kerinduan penggemar film silat klasik yang mungkin sudah lama tidak menemukan film silat klasik Indonesia yang berstandar tinggi.

Cempaka (Christine Hakim) adalah seorang guru silat yang disegani lawan maupun kawan. Di usia senjanya dia merawat 4 orang murid yang sebenarnya adalah anak-anak dari lawan yang dia bunuh. Mereka adalah Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia) dan Angin (Aria Kusumah).

Cempaka tahu kalau hidupnya tidak lama lagi, karenanya dia memutuskan untuk menurunkan tongkat emas andalannya kepada salah satu murid kesayangannya. Logikanya Biru sebagai murid tertua adalah yang terpilih, tapi ternyata tidak. Cempaka malah memilih muridnya yang lain. Pilihan ini memicu amarah Biru yang akhirnya berkhianat demi mendapatkan tongkat emas warisan Cempaka.

Cerita bergulir sebagaimana layaknya sebuah cerita dunia persilatan. Biru memutarbalikkan fakta, menuduh murid pilihan Cempaka yang berkhianat. Konflik dimulai dari sini, perebutan tongkat emas yang dibalut dengki, ketamakan, amarah dan keinginan untuk menguasai. Satu persatu korban berjatuhan dan sedikit demi sedikit watak kejam seorang Biru makin nampak.

Dalam kekisruhan dunia persilatan itu muncullah seorang sosok pendekar bernama Elang (Nicholas Saputra), Elang jadi kunci yang mengurai benang kusut perebutan tongkat emas, Elang juga yang membuka semua tabir rahasia di belakang tongkat emas dan jurus pamungkas; tongkat emas melingkari bumi.

*****

Saya lupa kapan terakhir kali menonton film silat klasik. Dulu saya sangat menyenangi genre yang satu ini. Saya masih ingat ketika saya begitu terpana menyaksikan kehebatan Jet Li, Chao Wen Chuo, Andy Lau, Chen Che Ta dan sederet bintang film Hong Kong lainnya. Judul-judul seperti Kung Fu Master, Thai Chi Master, Once Upon A Time In China dan lain-lain adalah judul yang akrab di kuping. Itu dulu, sekira belasan tahun yang lalu.

Belakangan saya sudah jarang menyimak film-film silat klasik, kalaupun menyimak film action bela diri saya lebih sering menonton film bela diri modern. Untuk film Indonesia sendiri saya memang jarang menonton film aksi laga, alasan utamanya karena film aksi laga Indonesia digarap dengan standar jauh di bawah film Hong Kong atau Hollywood.

Lalu datanglah film Pendekar Tongkat Emas. Melihat cuplikannya saya menaruh harapan besar, film ini bisa memanggil kembali kenangan saya menonton film-film silat klasik belasan tahun yang lalu. Pendekar Tongkat Emas terlihat begitu menggoda dengan aroma silat klasik yang sudah ?hampir saya lupakan rasanya.

Tapi benarkah Pendekar Tongkat Emas (PTE) bisa memanggil kembali kenangan indah menonton film silat klasik? Ya dan tidak. Ya karena PTE yang digarap serius oleh Miles Film memang berhasil menyajikan adegan-adegan silat klasik yang menawan dengan latar pulau Sumba yang aduhai. Adegan perkelahian para pendekar dengan pakaian klasik memang berhasil membawa kenangan saya pada film-film silat klasik Hong Kong belasan tahun lalu.

PTE cerdik mengambil setting daerah di luar Jawa. Akibatnya kita terhindar menyaksikan perkelahian pendekar berkostum Jawa seperti di film-film laga yang dulu sering dibuat oleh sineas Indonesia di dasawarsa 90an. PTE juga menampilkan pendekar apa adanya, dengan pakaian sederhana (walaupun lebih mirip pakaian orang Tiongkok) dan tanpa make up. Kalian mungkin masih ingat bagaimana dandanan pendekar wanita di film seperti Babad Tanah Leluhur atau Satria Madangkara, mereka selalu tampil dengan sanggul rapi yang dihiasi melati dan wajah kinclong karena dilapisi bedak.

Di PTE tidak ada pemandangan seperti itu. Pendekar wanita dan pria tampil seperti seharusnya pendekar. Wajah mereka coklat berlapis debu, rambut mereka diikat seadanya dan terlihat lepek karena minyak dan debu. Perkelahian merekapun ditata dengan apik dan mampu menampilkan adegan-adegan yang tidak berlebihan.

Tapi ada yang kurang dari PTE. Sampai tulisan ini saya buat saya masih berusaha mencari-cari apa yang kurang dari PTE, masih mencari apa yang membuat saya belum mampu sepenuhnya menyamakannya dengan film silat klasik yang dulu rajin saya tonton.

Mungkin karena konfliknya yang terlalu sederhana dan gampang ditebak. Pengkhianatan, perebutan kekuasaan dan ketamakan adalah sesuatu yang sangat sering kita temui dalam film-film silat. Elemen itu juga yang diangkat oleh PTE, tapi entah mengapa saya merasa konfliknya masih kurang greget.

Kekurangan lainnya ada di pertarungan akhir yang masih kurang megah. Saya membandingkannya dengan pertarungan terakhir di film The Raid 2 yang menurut saya sangat megah dan menguras emosi. PTE belum berhasil menyamainya, setidaknya itu menurut saya.

Meski begitu saya sulit untuk menolak kharisma seorang Christine Hakim yang memang terlihat begitu mencolok dibanding pemain-pemain lain. Oh ya, Eva Cecilia juga menawan, dia membiarkan mukanya terlihat polos penuh debu dan minyak hanya demi makin membumikan tokoh yang dia perankan. Mungkin hanya Reza Rahadian saja yang terlihat masih kurang bengis, dia masih kalah bengis oleh Tara Basro.

Tapi apakah ini berarti PTE jelek? Oh sama sekali tidak! PTE berhasil tampil sebagai film silat klasik yang lumayan memukau. PTE mengisi satu genre yang lama tidak tergarap dan buat penggemar film silat klasik, PTE lumayan mengobati kerinduan. Untuk level tontonan, PTE cukup menghibur. Tidak rugi untuk menyaksikannya sebagai pilihan di akhir tahun. [dG] ?