“Beberapa orang mengatakan; sepakbola adalah urusan hidup atau mati. Saya bisa meyakinkanmu, sepakbola jauh lebih serius dari itu,” Bill Shankly.
APA ARTI SEPAKBOLA BAGI KAMU? Sekadar sebuah olahraga memainkan bola yang dilakukan 22 orang di atas lapangan hijau? Atau mungkin lebih? Miliaran orang di muka bumi jatuh cinta pada olahraga ini, mendedikasikan banyak waktu, tenaga dan dana untuk bisa menikmatinya. Membeli seragam tim kesayangan, turun ke jalan dan berjalan menuju stadion, berteriak sekuat tenaga, melompat kegirangan, menangis pilu atau bahkan beradu otot dengan pendukung tim lawan. Sebagian bahkan kehilangan nyawa.
Bagi sebagian orang, sepakbola bukan sekadar olahraga. Jauh melampaui batasan itu, menjadi urusan hidup atau mati. Mungkin juga seperti ucapan Bill Shankly, jauh melewati urusan hidup-mati.
Baca juga: Panggung Besar Bernama Sepakbola
Kata orang sepakbola adalah olahraga paling populer di muka bumi. Dimainkan jutaan orang, dinikmati miliaran lainnya. Percayalah, anggapan itu memang benar. Sepakbola dimainkan di lapangan rumput paling nyaman di Eropa sana hingga tanah kering berdebu di Afrika. Miliaran orang bicara dalam bahasa yang sama: sepakbola.
Di luar lapangan pun rupanya ada banyak kejadian di dunia ini yang diilhami oleh sepakbola. Politik, agama, ekonomi, semua terpengaruh. Langsung ataupun tidak.
Hubungan-hubungan itulah yang oleh seorang jurnalis asal Amerika Serikat berusaha diceritakan. Franklin Foer, menuliskan reportase mendalamnya tentang berbagai aspek dalam kehidupan di dunia yang dipegaruhi oleh sepakbola dalam buku berjudul: Memahami Dunia Lewat Sepakbola. Buku ini berisi 10 cerita, dari perang gangster di Serbia yang berlatar rasial, komersialisasi konflik agama di Scotlandia, kebencian pada Yahudi di dunia sepakbola hingga bagaimana nasionalisme Catalunya berada di belakang Barcelona. Semua punya satu benang merah yaitu sepakbola.
Sebenarnya ini agak aneh mengingat Franklin Foer berasal dari Amerika Serikat, negeri yang lebih memberi ruang pada american football, basket dan baseball. Orang Inggris dan Italia bercerita tentang sepakbola tentu hal yang wajar, tapi orang Amerika Serikat? Mungkin terdengar aneh. Tapi justru di situlah sisi menarik buku ini. Sebagai “orang luar”, Franklin Foer mengawali investigasinya dengan asumsi yang berbeda dengan mereka yang “orang dalam”. Asumsi itu mengantarnya pada beragam kisah yang justru lebih dalam.
*****
DI DASAWARSA 90AN, Red Star Belgrade cukup mentereng di jagad sepakbola Eropa. Pernah sekali waktu mereka berhasil menembus final piala Champion Eropa sebelum akhirnya menaklukkan Olympique Marseille. Mereka juga memproduksi pemain-pemain papan atas Eropa yang namanya cukup menggetarkan waktu itu.
Tapi, mungkin tidak banyak yang tahu kalau rombongan penggemar garis keras Red Star Belgrade adalah supporter ganas dan mungkin paling ganas di muka bumi. Mereka tanpa segan menembus latihan tim, memukuli pemain mereka sendiri dan kemudian bangga karenanya. Mereka menganggap itu sebagai bagian dari kekesalan mereka atas kurangnya komitmen para pemain.
Mundur ke masa perang saudara di Balkan, supporter Red Star Belgrade adalah salah satu komponen yang ikut memanasi perang saudara itu. Mereka berevolusi dari supporter sepakbola menjadi kelompok milisi yang siap menghabisi orang Kroasia atau Muslim Bosnia. Mereka tidak segan mengotori tangan mereka dengan darah musuh-musuh mereka, atau memaksakan kelamin mereka menembus kelamin wanita dari etnis yang mereka benci.
Ada satu nama yang paling dihormati para supporter garis keras itu, Arkan namanya. Pria inilah yang jadi panglima perang para suppoter cum milisi itu. Arkan punya kedekatan dengan pemimpin Serbia di bawah kuasa Slobodan Milosevic. Kedekatan itu yang membuat Arkan punya keleluasaan membangun pasukan milisi memanfaatkan supporter ultras Red Star Belgrade. Dia menciptakan pasukan sendiri yang diberinya nama: Tigers.
Banyak pekerjaan kotor pemerintah yang mereka kerjakan, baik itu dengan tangan kosong, memakai pentungan atau bahkan memakai senjata api. Arkan sendiri menjalankan bisnisnya dengan perlindungan penuh pihak pemerintah. Sebuah kelompok supporter sepakbola berhasil diubahnya menjadi sekelompok gangster paling ditakuti di Serbia.
Franklin Foer berhasil menemui Arkan, orang-orang terdekatnya dan orang-orang yang membencinya. Pertemuan-pertemuan itu beserta hasil-hasil wawancaranya dia susun menjadi satu cerita yang apik di bab pembuka buku ini.
Kisah lalu berpindah ke Skotlandia, negara kecil yang dimasukkan ke dalam Britania Raya oleh Inggris.
Glasgow adalah kota terbesar di negara itu, dikuasai oleh dua klub sepakbola: Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Sebagai dua klub bertetangga, hubungan mereka jauh dari kata rukun. Perjalanan panjang membuat kedua klub itu tidak pernah ramah satu sama lain dengan satu alasan: agama.
Celtic dianggap membawa panji Katolik sekaligus pembebasan Skotlandia dari cengkeraman Inggris. Rangers membawa panji Protestan sekaligus bentuk kesetiaan pada kerajaan Inggris. Keduanya tidak mungkin disatukan, perbedaan paham itu adalah bahan bakar untuk terus bersiteru, di dalam maupun di luar lapangan.
Ada kebencian yang mengakar dan berkarat di antara dua klub dan bahkan dua kubu supporter. Pertumbuhan ekonomi global memang cukup berhasil mengubah peta perseteruan itu. Celtic tidak lagi dipenuhi pemain Katolik seperti juga Rangers yang tidak lagi hanya menerima pemain Protestan. Bisnis dan ekonomi mulai menggerusnya, tapi tidak sampai habis. Pemain berbeda agama itu mau tidak mau harus meneriakkan kebencian yang sama dengan supporter mereka meski itu artinya harus menghujat agama sendiri.
Masih banyak kisah menarik lainnya di buku ini, termasuk kisah parahnya korupsi di Brasil yang menunggangi sepakbola, atau kisah bagaimana kerasnya kehidupan pemain kulit hitam di Ukraina selepas runtuhnya komunisme. Kita juga bisa menemukan kisah perjuangan wanita penggemar sepakbola di Iran yang menuntut persamaan hak agar bisa menikmati sepakbola di stadion.
Selepas jatuhnya syah Iran, kehidupan yang tadinya moderen memang mengalami sedikit pergeseran. Ayatullah Khomeini berusaha memurnikan kembali ajaran Islam di Iran, menggeser sedikit demi sedikit pengaruh barat termasuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik. Sepakbola pun sempat dikungkung karena dianggap sebagai bagian dari pengaruh barat. Tapi mereka akhirnya paham, mengungkung sepakbola hanya berarti menyuburkan semangat perlawanan yang bisa saja membuat mereka tersandung di kemudian hari.
*****
BUKU SETEBAL 257 HALAMAN terbitan Marjin Kiri ini adalah buku yang menarik. Lewat bahasa yang lugas cenderung sarkas dan dibumbui humor, Franklin Foer berhasil memotret pengaruh besar sepakbola pada banyak aspek di dunia.
Selepas membaca buku ini, kita pasti akan mengamini pernyataan kalau sepakbola memang bukan sekadar olahraga. Sepakbola sudah jauh meninggalkan kotak olahraga, menggelinding tanpa arah ke kotak-kotak yang lain: ekonomi, bisnis, politik, kepercayaan, nasionalisme, sebutkan saja semuanya.
Buku yang menarik dan sangat saya sarankan buat Anda yang memang senang membaca tulisan-tulisan tentang sepakbola atau senang pada topik humaniora. [dG]
Sepakbola memang semacam tontonan yang menyatukan, tapi juga penuh drama. Ada musuh bebuyutan, suporter fanatik, sampai masuknya mafia dalam perekrutan pemain. Tidak ketinggalan bagaimana sepakbola bisa memicu pada bidang politik.
Bagi kita sebagai orang awam saja, sepakbola tidak hanya permainan yang ditonton hanya 90 menit. Selepas peluit panjang ditiup, masih ada banyak lagi hal-hal yang menarik untuk ditelisik.
justru setelah 90 menit itu yang lebih menantang
karena lebih banyak drama dan ceritanya, bukan begitu?