Pada daging yang boyak itu ada kehancuran permanen. Pada daging yang boyak itu ada bunga-bunga merekah. Bukan teratai. Teratai itu telah lenyap. Namun, di tempat yang sama, pada daging-daging yang boyak itu, Gentur melihat bunga yang lain, bunga pertama yang merekah di sesela puing-puing bangunan yang runtuh.
Namanya Faisal Tuharea, seperti umumnya orang Maluku kulitnya juga gelap dengan rambut yang keriting. Dia sempat meradang ketika kami teman-temannya mengira dia penganut Nasrani. Maklum, di kepala kami orang Makassar ini orang Maluku hanya berisi nama-nama seperti Bob Tutupoli, Broery Pesolima dan teman-temannya yang memang beragama Nasrani. Kami tidak tahu kalau orang Maluku juga ada yang muslim.
“Liburan semester nanti kita ke Ambon!” Begitu ajaknya ketika kami seperti terpana mendengar ceritanya tentang Ambon yang punya pantai indah. Sayang, liburan semester belum datang Ambon sudah terlanjur rusuh. Angan-angan kami untuk berkunjung ke kota kelahiran Faisal lenyap dan sampai sekarang saya belum sempat merealisasikannya.
*****
Gentur tiba di Ambon ketika suhu pertikaian kala itu belum juga reda. Perjalanan panjangnya bahkan dimulai dengan sebuah kejadian mendebarkan di atas kapal laut yang membawanya dari Surabaya ke Ambon. Setelahnya, rangkaian kejadian-kejadian menegangkan jadi bumbu dalam satu plot perjalanan hidupnya di tanah para raja itu.
Kedatangannya sebagai jurnalis di negeri yang sedang dilanda konflik horisontal membawa Gentur dalam cerita-cerita yang saling beririsan sekaligus memanggil-manggil kenangan lama yang tak selamanya manis.
Sepakbola kemudian membawanya ke Tulehu, sebuah negeri di tanah Maluku yang sejak dahulu dikenal sebagai tanah penghasil pemain sepakbola terbaik di negeri ini. Orang Tulehu tidak bisa dipisahkan dari sepakbola, sedari kecil sepakbola sudah jadi bagian dari hidup mereka. Bakat-bakat luar biasa pemain sepakbola lahir dari negeri Tulehu. Dari lapangan Matawaru sampai ke lapangan-lapangan besar di berbagai kota di Indonesia.
Di Tulehu, Gentur yang kemudian berkarib dengan Said pelatih sepakbola lokal menjalani banyak cerita. Gentur datang ke sebuah daerah yang sedang hangat oleh perseteruan berlatar agama, tidak ada ruang buat perbedaan. Beda agama berarti harus siap berakhir di ujung senjata. Provokasi datang hampir setiap saat, pertikaian seperti api dalam sekam yang siap tersulut kapan saja. Gentur yang orang asing mulai paham sedikit demi sedikit apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa dia inginkan, dia terseret juga dalam konflik horizontal di tanah Maluku itu.
Dari semua kejadian yang saling berkait satu sama lain itu Gentur menemukan satu hal yang bisa mengobati semua kepedihan itu, sepakbola! Sepakbola tidak pernah gagal menghilangkan ingatan perih dan semua beban kehidupan. Bahkan sepakbola juga yang membuat orang-orang Tulehu itu berani menyeberang ke desa Suli dan menantang maut hanya demi menonton semifinal Euro 2000 antara Belanda dan Italia.
*****
Buku ini saya lihat beberapa hari sebelum membaca reviewnya di blog Almas. Awalnya saya mengira buku ini adalah adaptasi cerita dari film Cahaya Dari Timur; Beta Maluku karya Angga Sasongko. Ternyata sama sekali bukan, buku ini dan film yang akan tayang 19 Juni nanti adalah 2 cerita berbeda meski latarnya sama, desa Tulehu di Maluku.
Halaman pertama novel setebal 300 halaman ini sudah mampu membuat saya terpaku. Zenrs sang penulis seperti biasa, sangat piawai merangkai kalimat untuk menggambarkan sebuah kejadian yang mendebarkan. Novel ini mengalir dalam alur yang sedang, tidak terlalu cepat tapi juga tidak lambat. Sesekali ada cerita flashback tentang kerusuhan 1998 yang menyimpan kenangan perih buat tokoh utama Gentur, atau juga cerita tentang hidup seorang mantan anggota KNIL beragama Nasrani yang harus berakhir perih.
Sebelum membaca buku ini saya mengenal nama Zenrs sebagai seorang penulis sepakbola yang sangat bagus, sesekali juga saya menikmati tulisannya tentang sejarah. Saya tidak tahu kalau dia ternyata juga piawai menulis cerita fiksi. Sepakbola, sejarah, politik dan sastra sepertinya jadi kelebihan utama seorang Zenrs. Keempatnya berhasil dia susun dengan rapi dalam novel ini. Bumbu sepakbola, sejarah Maluku, politik di belakang kerusuhan Maluku dan sesekali cerita sastra dari Maluku hadir di lembar demi lembar novel ini. Semua menyatu jadi sebuah cerita memikat.
Buku ini saya habiskan tidak lebih dari 3 jam, ini hanya ilustrasi betapa novel ini sangat memikat. Sejak membaca lembaran-lembaran pertama buku ini saya tidak punya alasan untuk berhenti sampai benar-benar ceritanya selesai. Sebuah cerita tentang sepakbola, politik, sejarah dan sastra yang sangat memikat. Percayalah! Anda harus membacanya sendiri.
Membaca buku ini membuat saya merindukan Faisal Tuharea, kawan lama yang saya ceritakan di paragraf awal, kawan lama yang pernah berjanji mengajak saya ke Ambon. Suatu hari nanti saya harus ke sana, menuntaskan mimpi lama yang tak sempat jadi kenyataan gara-gara Ambon terlanjur disulut konflik. Semoga! [dG]