Hal-hal Baik Dari Buku Labbaik

buku Labbaik; Yang Muda Berhaji

Sebuah buku yang tidak butuh waktu lama buat saya untuk menghabiskannya. Ceritanya personal dan banyak hal baik yang bisa diambil.

“Nek, bagaimana rasanya jalan ke luar negeri?” Tanya seorang cucu kepada neneknya.

“Wah tidak tahu Cu. Nenek belum pernah ke luar negeri,” jawab si Nenek.

“Loh, bukannya nenek sudah pernah naik haji?”

“Iya, tapi itu kan ke Mekkah. Bukan ke luar negeri,”

*****

ITU JOKE LAMA, sudah saya dengar sejak masih kecil.  Intinya, perjalanan ke tanah suci meski melintasi batas negara, oleh sebagian orang masih dianggap berbeda dengan perjalanan plesiran ke luar negeri.

Kalau perjalanan ke luar negeri dianggap sebagai perjalanan hura-hura, maka perjalanan haji dianggap sebagai perjalanan yang berat, penuh renungan, sepenuhnya ibadah. Makanya, kebanyakan yang berangkat haji adalah mereka yang sudah mulai masuk usia paruh baya bahkan uzur. Usia yang biasanya diidentikkan dengan masa: perbanyak zikir, ajal sebentar lagi datang.

Haji tidak akrab dengan golongan muda, katakanlah di bawah 40an tahun. Ngapain buru-buru naik haji? Kayak orang tua saja, begitu sebagian anak-anak muda menanggapi ajakan untuk sedini mungkin ke tanah suci, menunaikan rukun Islam kelima.

Tiap tahun memang ada saja orang-orang muda yang naik haji. Mereka sebagian adalah orang-orang muda yang merasa terpanggil, sebagiannya lagi adalah mereka yang punya orang tua berduit yang mendaftarkan mereka tanpa bertanya mereka mau atau tidak. Pokoknya, sudah didaftarkan. Kamu ikut saja. Itu sudah!

Soal mereka merasa terpanggil atau tidak, itu urusan nanti.

Di antara sedikit orang muda (di bawah 40an tahun) yang berhaji, Hilman salah satunya. Pria yang kadang namanya juga ditulis dengan Helman berhaji di usia 32 tahun, tepatnya di tahun 2014 lalu. Proses awalnya hampir sama dengan sebagian besar anak muda yang berhaji. Didaftarkan orang tua, bukan murni keinginannya sendiri.

Setelah sempat tertunda selama setahun, Hilman dan istri akhirnya berangkat juga menunaikan ibadah haji. Bersama Ayah, adik dan mungkin beberapa sanak keluarga lainnya. Bedanya dengan orang-orang muda yang berhaji karena diajak orang tua, Helman yang perfeksionis itu mulai menjalani persiapan panjang.

Dari mencari dan membaca literatur tentang haji – bukan hanya bacaan dan doa-doa – sampai melakukan riset sederhana. Tidak hanya itu saudara-saudara, Hilman yang juga rajin menulis itu kemudian mendokumentasikan perjalanan hajinya dalam sebuah buku yang diberi judul: Labbaik.

Buku dengan sampul dominan warna biru itu hadir di rumah saya pekan lalu, tapi benar-benar baru saya pegang di hari Minggu sepulangnya saya dari Lombok. Hanya butuh waktu kurang dari dua jam sebelum buku setebal 154 halaman (dan setidaknya enam kesalahan penulisan, hahaha) ini selesai saya baca.

Saya pernah bilang, kalau saya bisa menghabiskan sebuah buku dalam waktu singkat, berarti buku itu memang bagus. Jadi silakan mengartikan sendiri bagaimana penilaian saya terhadap buku ini.

*****

BUKU INI MENJADI BAGUS karena dia tidak menggurui, tidak pula memberikan teori berbelit dan pelik tentang haji, bukan pula buku panduan tata cara berhaji. Buku ini hanya catatan personal tentang sebuah perjalanan fisik dan perjalanan spiritual. Isinya tentang renungan, terhadap apa-apa yang ditemukan si penulis selama masa 40 hari menunaikan ibadah haji.

Saya memang mengenal Hilman sebagai seorang perenung, introvert tapi begitu lugas ketika menulis. Itu semua tertuang dalam buku yang judul di sampulnya menggunakan font October Twilight.

Ada beberapa bab yang buat saya begitu menyentuh. Tentang keberagaman dan bagaimana seharusnya kita menghormati keberagaman itu, tentang bagaimana Tuhan menjawab keresahan dan pertanyaan manusia dengan cara yang unik, dan tentu saja tentang bagaimana perjuangan melengkapi ibadah di tengah lautan manusia dengan sikap, sifat dan temperamen yang berbeda-beda.

Buku ini seperti anti tesis tentang apa yang terjadi di tanah air saat ini. Bagaimana kita sekarang begitu mudah menyorongkan perbedaan sebagai senjata untuk saling menyerang, alih-alih mencari persamaan sebagai alat perdamaian. Membaca beberapa bab tentang perbedaan di buku sungguh bikin nyess. Mengamini pikiran saya tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan.

Ada banyak pengalaman menyentuh dan sangat personal yang dituangkan Hilman di dalam buku ini. Personal tapi sebenarnya sangat dekat dengan kita meski kita belum pernah ke tanah suci. Perenungan yang dia tuliskan berdasar pengalaman di tanah suci sebenarnya adalah perenungan tentang kehidupan sehari-hari. Hanya saja, karena tanah suci “lebih dekat ke Tuhan” maka perenungan itu menjadi lebih maknyuss.

Saya menyarankan kamu yang suka membaca cerita perjalanan untuk membaca buku ini. Buku ini memang catatan perjalanan, tapi bedanya karena selain perjalanan fisik, buku ini juga penuh dengan catatan perjalanan spiritual. Perjalanan menemukan dan melepaskan, perjalanan mengenali dan melupakan. Perjalanan yang, ah baca sendirilah ya.

Buku ini memang bukan buku panduan berhaji, tapi isinya bisa direnungkan sebagai panduan hidup sehari-hari. Tak ada kesan menggurui di dalam buku ini, yang ada adalah kesan mendalam yang mungkin saja menimbulkan kerinduan pada Baitullah buat mereka yang sudah pernah ke sana, atau rasa penasaran buat mereka yang belum pernah ke sana.

Ada banyak hal-hal baik yang bisa diambil dari buku Labbaik. [dG]