Teman saya (dia juga sekaligus guru saya) yang bernama Jimpe ini memang punya sense of title yang bagus.
Oke, kalimat itu memang buatan saya sendiri hanya untuk menggambarkan bagaimana selera seseorang bisa sangat bagus jika menyangkut pemilihan judul. Ketika ide untuk membukukan beberapa tulisan dari laman MakassarNolkm.com muncul, kami belum terpikir ide untuk judulnya sampai Jimpe hadir dengan judul “Jurnalisme Plat Kuning”.
Kenapa Jurnalisme Plat Kuning? Apa hubungannya dengan mobil-mobil angkutan umum yang menggunakan plat kuning sebagai penanda?
Jimpe mengumpamakan jurnalisme humas pemerintah sebagai jurnalisme plat merah, merujuk pada warna plat mobil dinas yang dipakai aparat pemerintahan. Sementara itu jurnalisme arus utama yang dibayai pemodal adalah jurnalisme plat hitam, katanya. Bagaimana dengan warga yang bukan aparat pemerintahan dan bukan bagian dari korporasi media? Jurnalisme plat kuning adalah kalimat yang pas untuk menggambarkannya, seperti mobil angkutan umum yang menggunakan plat kendaraan berwarna kuning.
*****
MakassarNolkm.com hadir sekira 3 tahun lalu, berawal dari sebuah obrolan selepas workshop perkotaan yang digelar di Jakarta kala itu. Warga butuh ruang untuk berapresiasi, butuh tempat untuk saling berbagi kabar, informasi atau bahkan cerita remeh temeh yang tak mungkin tertampung media arus utama apalagi media buatan pemerintah.
Nama MakassarNolKm atau Makassar Nol Kilometer dipilih waktu itu karena nama itu terasa menancap di kuping dan pikiran. Nama itu sudah pernah dipakai sebelumnya oleh sekelompok warga sebagai nama sebuah buku kompilasi tulisan yang isinya dahsyat. Buku itu berisi tulisan tentang ragam dinamika perkotaan yang ditulis oleh warga untuk warga.
Semangat itulah yang ingin kami usung kembali.
Situs MakassarNolKm.com kemudian hadir sebagai situs bersama, milik bersama dan ruang publik bersama. Tidak ada pemilik di sana, hanya ada sekolompok orang yang bertugas merawatnya dan membuatnya tetap berdenyut. Selama kurun 3 tahun memang ada masa dimana semangat itu sempat membara dan ada pula masa dimana semangat itu seperti hendak padam dan sayup-sayup terbawa angin. Syukurlah sampai hari ini MakassarNolKm.com masih tetap ada dan tetap membuka pintunya bagi siapa saja yang hendak masuk dan bermain di sana.
Awalnya tidak ada niatan untuk membukukan tulisan di website MakassarNolKm.com, maklum kami sadar diri. Membukukan tulisan di sana berarti butuh dana besar, padahal website ini tanpa pemodal. Hanya ada kami para perawatnya dan warga yang memilikinya. Untuk menghidupinya selama ini kami hanya mengandalkan donasi yang diputar lewat penjualan merchandise atau cindera mata buatan sendiri.
Tapi akhirnya tulisan di website itu bisa juga dibukukan dengan bantuan dari beberapa pihak. Langkah pertama yang dilakukan oleh tim editor adalah mengoleksi semua tulisan yang sudah pernah tayang, memilahnya satu persatu, mengedit seperlunya, mengurangi yang berlebih, menambah yang kurang dan kemudian menyusun tata letaknya.
Hingga akhirnya buku setebal 403 halaman ini hadir di tangan warga dan siapa saja yang hendak membacanya.
*****
Di dalam buku ini berserakan banyak cerita yang dibuat dan disusun oleh warga biasa, bukan oleh aparat pemerintah atau mereka yang bekerja untuk media. Memang ada beberapa awak media yang juga menulis di buku ini, tapi tulisannya tentu berbeda dengan tulisan atau berita yang harus dia persembahkan kepada media tempatnya mencari makan. Tulisan di buku ini dibuat dengan menggunakan kacamata warga dan sentuhan warga biasa.
Buku ini dibuka dengan cerita di salah satu warung kopi di sudut kota Makassar. Warung kopi adalah sebuah tempat yang menyenangkan untuk melihat langsung interaksi antar warga dan itu yang berhasil dituliskan oleh Ahmad Syamsuddin sebagai pengantar cerita.
Lalu Achmad Fani Saputra (saya baru sadar kalau dua Ahmad membuka dan menutup tulisan di buku ini) menutup buku ini dengan tulisan dari hingar bingar konser musik cadas di Makassar. Dua kisah yang berlatar berbeda ini adalah gambaran dinamisnya suatu kota. Belum lagi kalau melongok siapa saja yang menyumbangkan tulisan di buku ini. Mulai dari anak SMA, mahasiswa, pekerja kantoran, pekerja lepas, pekerja media, pekerja LSM, sampai ibu rumah tangga. Sungguh sebuah perayaan yang hingar bingar.
Buku ini sangat menyenangkan untuk dibaca, menyenangkan untuk melihat dan membaca geliat warga sebuah kota dari kacamata mereka sendiri. Sayangnya karena buku ini tidak dijual bebas karena tujuannya memang bukan untuk mencari profit. Buku ini akan disebarkan secara gratis ke SMA/SMK dan kampus-kampus di sekitar Makassar. Tujuannya tentu saja untuk menarik sebanyak mungkin anak-anak muda yang ingin menulis dan mencatatkan kisahnya sendiri.
Tapi, buat Anda yang berminat memilikinya, tim MakassarNolKm menyiapkan beberapa eksemplar yang dapat ditebus dengan donasi minimal Rp. 50.000,-. Jumlah ini sepenuhnya akan disiapkan untuk menghidupi situs MakassarNolKm.com, menggelar kegiatan pelatihan menulis dan mungkin saja menerbitkan buku berikutnya.
Bila berminat sila langsung mengontak @MksNolKm atau @Kampung_Buku di twitter. Mari merayakan hingar bingarnya perayaan jurnalisme warga, jurnalisme plat kuning. [dG]