Akhir kisah dari sebuah serial yang cukup menyedot perhatian. Banyak yang menyesalkan akhirnya, serasa kurang greget. Tapi benarkah begitu?
Sembilan tahun dan 73 episode, sampai akhirnya Game of Thrones harus selesai juga. Permainan penuh intrik untuk memperebutkan kursi baja itu sampai pada keputusan akhir yang membuat banyak orang bergumam, “What the hell?” Banyak yang kecewa dengan ending GoT, banyak yang meradang dan bahkan setengah juta orang lebih menandatangani petisi untuk membuat ulang musim kedelapan GoT yang adalah musim final. Mereka kecewa karena menurut mereka, musim terakhir GoT harusnya lebih menggigit dari yang sudah ada ini.
Rotten Tomatoes juga memasukkan GoT sebagai salah satu dari 10 serial televisi dengan episode penutup paling buruk. Game of Thrones pernah mendapatkan nilai 97% untuk musim keempat tahun 2014 lalu. Bandingkan dengan nilai 53% yang didapatkan musim kedelapan tahun 2019 ini. Menukik 44% dan tentu saja ini jadi nilai yang tidak sedikit.
Tapi benarkah musim penutup GoT ini memang mengecewakan?
Setidaknya ini juga yang saya dengar dari sebagian besar teman-teman saya pecinta GoT. Sebagian dari mereka sudah mengikuti serial ini sejak awal atau minimal dari musim ketiga dan seterusnya. Mereka adalah orang-orang yang menantikan datangnya hari Senin pagi waktu Indonesia. Hari ketika episode baru GoT muncul di layar kaca atau di layar laptop. Lalu, mereka juga akan merasa kehilangan ketika seri terakhir suatu musim selesai karena itu berarti mereka harus menunggu setahun untuk bisa bertemu lagi dengan musim yang baru.
Baca juga: Alasan Saya Betah Menonton Game of Thrones
Mereka inilah yang kemudian memasang standar tinggi menantikan musim kedelapan yang datang setahun lebih lambat dari biasanya. Kalau biasanya jarak antar musim hanya setahun, maka musim kedelapan ini butuh dua tahun sebelum tayang di layar kaca atau bisa diunduh di internet. Penantian yang cukup panjang untuk para penggemarnya. Lalu, ketika musim terakhir ini tayang wajar kalau mereka kemudian merasa ada yang salah ketika ekspektasi mereka tidak terpenuhi.
Kritikan paling kencang adalah pada alur cerita yang bagi beberapa orang dianggap seperti menggampangkan, tidak seperti cerita di musim-musim sebelumnya yang lebih mengaduk emosi. Cerita di musim kedelapan seperti kisah sinetron yang semua selesai begitu saja. Mudah dan tidak butuh drama berbelit-belit.
Bayangkan, Night King yang sudah ratusan tahun bersiap untuk berperang melawan manusia akhirnya mati dalam waktu singkat. Seakan-akan persiapan panjangnya seperti tidak ada artinya. Sialnya lagi, bagi beberapa orang kematian Night King di tangan Arya alih-alih Jon Snow benar-benar mengecewakan. Setidaknya buat beberapa orang yang sudah siap menantikan aksi Jon sebagai pahlawan nomor satu dari serial ini.
Lalu, di kisah-kisah selanjutnya Arya sang penyelamat dan pembunuh Night King itu seperti kehilangan porsi. Dia tidak berperan banyak dalam tiga episode sisa di musim kedelapan. Jadi rasanya sia-sia saja dia menjadi pahlawan di Battle of Winterfell. Di episode lima dia malah hampir mati kena reruntuhan gedung.
Puncak kekecewaan fans lainnya adalah ketika karater Daenerys Targaryen berubah dari sang pembebas menjadi sang pemusnah. Dihianati orang kepercayaannya, ditinggalkan orang-orang dekatnya, kehilangan sahabat sekaligus penasihat, ditolak ketika lagi ingin bercinta. Duh, benar-benar cobaan yang membuatnya kemudian berubah jadi Mad Queen, sama seperti ayahnya sang Mad King. Hasilnya, satu kota dibakar pakai api naga. Bahkan orang yang tidak berdosa pun jadi korban. Ini benar-benar menghapus gambaran ideal seorang Daenerys yang awalnya dianggap pahlawan berubah menjadi penjahat.
*****
Tapi sudahlah, polemik apakah musim final Game of Thrones ini memang jelek atau tidak sudah tidak perlu diperpanjang. Toh semua sudah terjadi. Sama saja dengan teriak-teriak pemilu curang tapi tetap menerima hasil pemilu legislatif dan KPU sudah mengumumkan hasilnya. Teriakan jadi seperti hilang di udara. Sama saja kan? Kalian mau teriak sekeras apapun mengecam musim terakhir GoT, toh hasilnya sudah final.
Jadi terimalah apa adanya.
Bagaimanapun Game of Thrones sudah memberikan sembilan tahun yang penuh cerita. Delapan musim yang seperti roller coaster, kadang menanjak kadang menukik, memainkan emosi. Perjalanan panjang ini juga membuat kita bisa merasakan perubahan-perubahan pada beberapa karakter utamanya.
Sansa yang awalnya gadis lugu, naif dan penakut tiba-tiba berubah menjadi gadis yang kuat dan sadis. Daenerys yang awalnya jadi korban nikah paksa bisa berubah jadi pemimpin gerombolan paling ditakuti. Jamie yang dulu adalah penjahat keji, pelan-pelan berubah jadi orang baik-baik yang berhasil memerawani seorang ksatria perempuan. Bukankah itu sudah cukup untuk menempatkan serial ini sebagai salah satu yang terbaik?
Soal bahwa akhirnya kurang greget, ya mau bagaimana lagi. Tidak ada gading yang tidak dibekali kelapa. Eh maksudnya tidak ada gading yang tak retak. Memang mengganjal sih, seperti ada yang kurang memuaskan. Tapi setidaknya saya bisa menikmati adegan ketika sisa Stark berpisah di dermaga. Seperti mengenang kembali masa-masa mereka masih bersama, lalu dipisahkan oleh angkara murka, terpencar-pencar dan kemudian pelan-pelan bersatu kembali hingga akhirnya “jadi orang” semua.
Saya membayangkan ibu-ibu di Winterfell akan bergosip sesamanya. “Ih, emang hebat ya didikannya pak Ned. Tuh anaknya berhasil semua. Dua yang jadi pemimpin, satu jadi pendeta, satunya lagi jadi kapten kapal. Pak Ned pasti bangga di alam sana.”
Dan warisan itulah yang mewarnai perjalanan Game of Thrones selama sembilan tahun. Menjadi salah satu teman setia bagi jutaan orang di dunia. Lalu, ketika Game of Thrones berakhir dan Avengers pun selesai, maka fans keduanya akan bertanya; sekarang apa lagi? [dG]
Sumpah! aku rada2 kesal.
klo pun si mad queen harus mati, napa gitu doang??
ini intinya sih, “gitu doang?”
secara yudi ngikutin dari pertama huhuhu
hahaha iyaaaa
kek terlalu sederhana untuk sebuah serial yang jalan cerita awalnya sangat kompleks