Mengenang karebosi;semoga bukan akhir

Siang sehabis dhuhur di suatu hari yang mendung di kota Makassar. Saya berdiri di tangga MTC, menatap beberapa alat berat bercat kuning yang sibuk menggali bumi diatas lapangan Karebosi. Sebuah bangunan yang dulunya menjadi panggung upacara telah rubuh dan hanya menyisakan sedikit bata dan beton yang masih berdiri. Deretan pagar seng bercat biru di sekeliling Karebosi seakan-akan mengisolasi lapangan kebanggan kota Makassar tersebut dari lingkungan sekitarnya.

Saya ingat, pertama kali melintasi Karebosi sekitar pertengahan tahun 1980-an saat masih berseragam SD. Saat itu saya bersama ibu dan adik saya melintasi Karebosi dari arah jalan Sudirman menuju jalan Kajaolallido menuju bioskop Madya. Tak ada kesan berarti tentang Karebosi waktu itu, saya lebih kagum pada ramainya lalu lintas dan beberapa bangunan yang tampak mewah dan mentereng di sekeliling Karebosi.

Waktu berlalu, pertemuan kedua saya dengan Karebosi terjadi beberapa tahun kemudian saat Pameran Pembangunan Sulawesi Selatan digelar di lapangan seluas kurang lebih 11 Ha ini. Waktu itu salah satu ajang yang paling dinantikan oleh anak-anak seusia kami adalah Pameran Pembangunan yang diadakan setahun sekali menjelang acara HUT Kemerdekaan. Pameran Pembangunan dan lapangan Karebosi adalah satu paket yang mengagumkan bagi kami saat itu.

Persentuhan saya dengan Karebosi makin intens saat memasuki usia remaja, tepatnya saat saya bersekolah di STM. Karebosi menjadi tujuan utama saya dan teman-teman satu geng saat membolos sekolah. Nongkrong di Karebosi sambil menyaksikan penjual obat atau pemain catur yang menawarkan tantangan pada pengunjung adalah tontonan yang mengasyikkan. Karebosi memang kadang diramaikan oleh anak-anak berseragam sekolah yang membolos.

Saya dan teman-teman sering terkagum-kagum menyaksikan aksi para penjual obat yang dengan berbagai triknya berusaha menarik pembeli. Atraksi yang paling kami tunggu adalah atraksi kecepatan tangan para pedagang obat saat mengganti sabun atau odol yang kata mereka berisi sejumlah uang, atau aksi mereka saat menggunakan ular atau buaya. Tak lupa kata-kata khas para penjual obat selalu kami ingat. “ yang jauh mendekat, yang dekat merapat “, kalimat khas yang sering kami tirukan.

Banyaknya anak sekolah yang membolos dan berkumpul di Karebosi juga menjadikan Karebosi sebagai tempat yang rawan untuk memulai sebuah tawuran. Masalah kecil biasanya berujung pada aksi tawuran yang berbuntut panjang. Beruntung saya tidak pernah sampai terlibat dalam aksi-aksi seperti itu.

Menjelang pertangahan tahun 1990-an Karebosi tidak lagi menjadi tempat penyelenggaraan Pameran Pembangunan. Pameran Pembangunan kemudian berpindah ke lokasi Benteng Somba Opu di selatan kota sebelum akhirnya vakum. Saat itu pula berbagai pusat perbelanjaan baru hadir di kota Makassar. Saya dan teman-teman yang beberapa kali masih suka membolos sekolah kemudian memindahkan lokasi bolos ke Makassar Mall atau terakhir ke Latanete Plaza. Karebosi makin jarang saya kunjungi tanpa alasan khusus.

Alasan khusus yang saya maksud di sini adalah Sepakbola. Saya sempat ikut sebuah klub sepakbola yang berlatih diKarebosi walaupun cuma sebentar. Setiap sore sepulang dari sekolah saya dan seorang teman segera menuju Karebosi dan berlatih sampai sore hari. Sayang, masalah jarak yang cukup jauh dari rumah membuat saya akhirnya berhenti berlatih di Karebosi.

Waktu itu bila bicara tentang latihan sepakbola, yang muncul di kepala saya adalah Karebosi. Utamanya pak Kamal. Lelaki tua yang mendedikasikan hidupnya untuk melatih anak-anak bermain bola di Karebosi, jauh sebelum Diza Ali dengan MFS-nya memakai area yang sama.

Pengalaman buruk

Bukan hanya pengalaman yang indah yang membekas di ingatan saya bila bicara tentang Karebosi. Berderet kejadian buruk dan pahitpun pernah saya alami di Karebosi.

Suatu hari saya dan seorang teman nekat melarikan diri dari sebuah pelajaran yang tidak kami sukai dan memilih nongkrong di Karebosi. Sayangnya kami tidak tahu kalau hari itu sebuah tawuran massal antara anak STM dan SMA baru saja terjadi. Kami baru sadar saat beberapa orang polisi langsung menghadang kami. Melihat asal sekolah kami yang dari STM, pak polisi pun mencurigai kami berasal dari sekolah yang sama dengan para pelaku tawuran.

Waktu itu lutut saya sampai lemas dan menggigil membayangkan hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami. apalagi saat melihat belasan anak-anak pelaku tawuran sudah dipaksa berjongkok dengan bertelanjang dada di salah satu sudut. Untunglah kami berhasil meminta belas kasihan pak Polisi itu sehingga kamipun dibiarkan pergi setelah didata terlebih dahulu. Sejak saat itu saya berjanji tidak akan membolos ke Karebosi lagi.

Kenangan buruk lainnya adalah saat dihadang dua orang waria di sudut sebelah Selatan Karebosi. Waktu itu saya sedang asyik berjalan sendiri dari arah barat menuju arah timur Karebosi ketika tiba-tiba 2 orang waria bertubuh tinggi besar menghadang saya. Mungkin wajah saya berubah menjadi seputih kapas saat mereka mulai merayu saya.

Kondisi lapangan yang sunyi dan gelap membuat saya makin kuatir, keringat dingin membasahi baju. Saya shock dan sudah terlanjur jatuh mental menghadapi serbuan yang tiba-tiba itu. Saya sudah lupa bagaimana caranya, tapi yang jelas saya sudah lepas dari kedua waria itu dan akhirnya bisa bernafas lega saat sudah duduk di atas pete-pete. Suatu pengalaman yang menyeramkan bagi seorang remaja seperti saya waktu itu.

Tapi puncak dari kenangan buruk terjadi sekitar tahun 1997. Saat itu saya baru saja pulang dari daerah Somba Opu dan hendak menumpang pete-pete ke arah Antang. Saat asyik jalan sendirian di trotoar jalan RA.Kartini, tiba-tiba tiga orang lelaki menghadang jalan saya. Dua orang mendesak saya ke pinggir trotoar, sementara satu lagi duduk ajak jauh sembari mengamati suasana.

Seorang dari mereka mengeluarkan badik dan mengancam sambil meminta semua isi kantong dan dompet saya. Saya pasrah saja, rasanya sia-sia melawan tiga orang laki-laki bersenjata tajam itu. Akhirnya, puluhan ribu uang di kantong saya melayang malam itu. Syukurlah saya tidak terluka sedikitpun walau sempat deg-degan juga saat salah satu dari pemalak itu menekan perut saya dengan badik.

Mungkin bukan hanya saya yang pernah mengalami kejadian-kejadian buruk seperti itu di sekitar Karebosi.

Revitalisasi Karebosi

Berbagai alasan ketidaknyamanan warga seperti yang saya alami serta kenyataan bahwa di musim hujan Karebosi seakan-akan menjadi danau di tengah kota itulah yang menjadi alasan pihak Pemerintah Kota Makassar untuk merevitalisasi Karebosi. Rencana yang sudah digulirkan sejak beberapa waktu lalu lewat sayembara revitalisasi Karebosi.

 Di pagar seng bercat biru yang mengelilingi proyek revitalisasi Karebosi, sebuah poster besar bergambar suasana suram Karebosi di musim hujan dipasang seakan-akan untuk mengingatkan warga bahwa kondisi itulah yang akan terus terjadi bila Karebosi tidak direvitalisasi. Ada yang menganggap bahwa itu adalah langkah yang bisa diartikan sebagai langkah membuka borok Pemkot sendiri, memperlihatkan bahwa selama ini Pemkot memang tidak pernah memperhatikan kondisi Karebosi.

Protes keras dari sebagian warga muncul ketika mengetahui bahwa investor yang berhak mengerjakan proyek revitalisasi Karebosi adalah PT. Tosan Permai Lestari, perusahaan yang juga adalah pemilik MTC, pusat perbelanjaan megah di sebelah utara Karebosi. Suara protes makin keras melihat rencana revitalisasi yang syarat bernuansa bisnis. Sebagian lapangan Karebosi akan dipakai pihak Tosan sebagai mall dan area parkir plus sebuah terowongan yang menghubungkan Karebosi dan MTC. Masyarakat curiga mall tersebut walaupun berada di bawah tanah nantinya akan merubah fungsi utama lapangan Karebosi. Kekhawatiran lainnya adalah berkurangnya daerah resapan air akibat daerah yang ditutup dengan beton.

Di situs resmi pemerintah kota Makassar, Walikota Makassar menjamin tidak akan ada perubahan fungsi dari lapangan Karebosi nantinya. Adapun pemanfaatan sebagian lahan bawah tanah Karebosi sebagai pusat perbelanjaan dinilai sebagai hal yang wajar mengingat investasi yang telah ditanamkan oleh pihak PT. Tosan. Sesuai perjanjian, pihak PT. Tosan mendapatkan hak penggunaan Karebosi selama 20 tahun.

Walikota Ilham Siradjuddin juga menampik tuduhan adanya kolusi dalam penunjukan PT. Tosan sebagai investor yang mengelola Karebosi. Beliau mengatakan bahwa penunjukan investor telah sesuai dengan mekanisme, “Kami melakukan penawaran investasi secara terbuka. Karena cuma satu yang mendaftar, maka masa penawaran kami perpanjang. Tetapi tetap satu yang mendaftar. Maka dialah yang jadi investor. Aturannya kan begitu. Nggak lah, saya nggak terima sogokan,” katanya.

Wajar bila masih banyak orang yang menganggap revitalisasi Karebosi ini sarat nuansa kolusi mengingat kiprah PT.Tosan yang sebelumnya juga sudah mencaplok salah satu aset Pemkot di sebelah timur MTC. Apalagi ada yang menuding proyek revitalisasi Karebosi kurang transparan.

Furqon Affandi, seorang arsitek senior di tempat saya bekerja mengatakan bahwa rencana revitalisasi ruang publik yang bernuansa bisnis adalah hal yang wajar mengingat para investor tentu tidak ingin sekedar menyumbangkan uangnya untuk sebuah proyek pemerintah. Bagaimanapun mereka tentu ingin uang yang sudah ditanamkan bisa kembali, kalau perlu dalam waktu singkat.

Kesalahan Pemkot, kata pak Furqon adalah kurang merangkul banyak pihak sehingga kesannya proyek tersebut tidak cukup transparan, padahal Karebosi adalah milik seluruh warga Makassar. Dalam hal ini kontrol masyarakat haruslah lebih diperketat, apalagi ada tudingan kalau proyek Karebosi cacat hukum.

Hujan gerimis mulai turun saat saya meninggalkan MTC siang itu. Dari seberang deru alat berat masih terdengar. Entah kenangan apa yang akan saya ukir di atas tanah Karebosi yang baru nantinya. Harapan saya dan tentunya seluruh masyarakat Makassar, Karebosi tetap akan menjadi area publik yang terbuka dan gratis serta tentunya lebih nyaman dan aman dari yang dulu. Semoga saja Karebosi tidak hanya menjadi lahan mengeruk keuntungan semata bagi sebagian orang. Semoga…