Markus Ilun dan Ibu Bernama Hutan
Dia adalah kepala adat Punan Adiu. Dia bergeming ketika investor berusaha merayunya untuk melepaskan hutan adat Punan Adiu. Dia adalah Markus Ilun.
“Saya kena asam urat. Sakit kalau jalan.” Kata Markus Ilun sambil mengelus tonjolan kecil di dekat mata kakinya. Tonjolan itu sedikit lebih besar dari kelereng, membuat jalannya agak terpincang-pincang. Asam urat memang menyerang sendi, katanya kadang sakitnya tidak tertahankan ketika sendi itu saling bergesekan.
Markus Ilun bertubuh pendek tapi kekar. Rahangnya tegas dan persegi. Sepintas dia sangat mengingatkan saya pada struktur tubuh dan wajah orang Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Markus Ilun orang Dayak, tepatnya Dayak Punan. Dari catatan sejarah saya mendapati kalau nenek moyang orang Tana Toraja dan orang Dayak Punan sama. Tidak heran struktur wajah dan tubuh mereka nyaris sama.
Markus Ilun dan sekisar 120 orang lainnya tinggal di desa Punan Adiu, sebuah desa yang masuk dalam wilayah kecamatan Malinau Selatan Hilir, Malinau Kalimantan Utara. Letaknya sekira 5 jam perjalanan arah Barat Daya kota Malinau. Perjalanan ke sana tidak mudah, jalanan rusak yang berdebu di musim kemarau dan becek di musim hujan adalah tantangan tersendiri.
Di desa Punan Adiu, Markus Ilun salah satu tokoh yang sangat dihormati. Tentu saja, dia adalah kepala adat di desa yang dihuni 27 kepala keluarga itu. Punan Adiu memang tidak terlalu besar, tapi mereka punya sesuatu yang membuat banyak investor melirik penuh nafsu. Apalagi kalau bukan hutan adat.
“Ini hutan kami. Luasnya 17.400 Ha.” Markus Ilun membentangkan sebuah peta di atas kertas ukuran A1. Peta yang dibentangkannya menunjukkan lokasi desa Punan Adiu, hutan adat, kebun, sungai dan batas-batas dengan desa tetangga.
Hutan inilah yang sudah berkali-kali coba dikonversi menjadi kebun sawit oleh beberapa pengusaha.
Suatu malam di tahun 2013 ketika warga sudah hampir terlelap, pak Camat datang. Bersamanya ikut tiga orang lelaki wakil dari tiga perusahaan sawit yang berbeda-beda. Tujuan mereka sama, mencoba merayu Markus Ilun dan Piang Irang –kepala desa Punan Adiu- untuk menyerahkan hutan adat mereka kepada pengusaha sawit.
“Sawit akan mendatangkan banyak keuntungan buat warga di sini.” Kata salah seorang wakil perusahaan. Lalu dari mulutnya menyembur kalimat-kalimat manis yang menjanjikan betapa perkebunan sawit akan mengubah desa yang belum dialiri listrik itu menjadi desa yang lebih permai dan sejahtera. Listrik akan mengalir, warga akan punya mata pencaharian baru. Bekerja di perusahaan sawit.
Malam makin larut, tiga wakil perusahaan sawit itu tak henti-henti merayu dan berusaha meggoyahkan iman Markus Ilun, Piang Irang dan warga Punan Adiu untuk menyerahkan hutan adat mereka.
Tapi warga Punan Adiu bergeming. Markus Ilun apalagi, pria yang meneruskan jabatan ayahnya sebagai kepala adat ini tidak terpengaruh sama sekali pada rayuan-rayuan wakil perusahaan sawit itu. Malam itu tidak ada kesepakatan antara mereka, wakil perusahaan sawit ditemani pak camat meninggalkan desa Punan Adiu dengan tangan hampa dan wajah tertekuk.
*****
“Saya sudah biasa diancam.” Kata Markus Ilun. Saat diangkat sebagai ketua adat di tahun 2005 menggantikan ayahnya, lelaki kelahiran 1961 ini sementara menjabat sebagai kepala desa. Selama 16 tahun dia memangku jabatan itu meski akunya, “Saya tidakbanyak bikin apa-apa. Waktu itu jadi kepala desa belum seperti sekarang yang banyak kerjaannya.”
Saat menjadi kepala desa itulah ancaman dan tekanan kerap dia terima. Pelakunya bukan orang lain, tapi atasannya di dalam struktur kepemerintahan. Konon suatu hari camat Malinau Selatan Hilir waktu itu pernah mengancam, siapa-siapa yang tak mau ikut perintahnya dan perintah bupati akan dipecat sebagai kepala desa. Ancaman itu keluar ketika Markus Ilun yang kala itu menjadi kepala desa Punan Adiu masih kukuh menolak memberikan hutan adat mereka ke investor.
“Saya bilang, kalau bapak mau pecat saya, pecat saya sekarang juga. Saya tidak takut.” Kata Markus Ilun.
“Tapi kenapa bapak bersikeras menjaga hutan?” Tanya saya.
“Hutan adalah ibu bagi kami orang Punan. Leluhur kami dulu hidup di hutan, mereka menghormati hutan, mengambil secukupnya dan menjaga hutan sepenuh hati. Kami juga seperti itu, hutan ini harus kami wariskan untuk anak-cucu kami.” Jawabnya. Asap tipis dari kretek yang saya bawa tertiup angin. Seekor anjing milik pak Markus tertidur malas di teras rumah.
Orang Punan termasuk salah satu entitas suku Dayak yang mendiami Kalimantan. Mereka tersebar dari Kalimantan bagian utara sampai turun ke Kalimantan bagian Selatan. Sebagian masuk ke wilayah Sabah dan Serawak di Malaysia. Dayak Punan dipercaya sebagai kelompok etnis yang paling pertama menghuni pulau Kalimantan. Mereka juga kelompok etnis yang paling terakhir keluar dari hutan dan hidup menetap.
Kegigihan orang Punan Adiu dalam menjaga hutan mereka diakui Om Niko, direktur LP3M (Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan Punan Malinau) yang menemani kami selama di Malinau. Om Niko menyebut mereka sebagai orang yang “keras kepala”, dianggap terbelakang oleh suku yang lain karena keteguhannya menjaga hutan adat mereka.
“Saya pernah membawa Markus ke sebuah pertemuan tentang hutan di Serawak. Di sana dia membuat wakil pemerintah terdiam.” Kata Om Niko. Katanya waktu itu wakil dari kementerian kehutanan tampil lebih dulu sebagai pembicara. Dengan bahasa retoris dia menerangkan tentang usaha pemerintah memperbaiki hutan yang sudah gundul atau rusak. Setelah wakil pemerintah itu turun, giliran Markus Ilun yang naik.
“Markus bilang begini; kalian itu baru memperbaiki hutan setelah hutan rusak. Kami orang Punan sudah memelihara hutan sejak nenek moyang kami.” Kata om Niko. “Semua orang terdiam, benar-benar seperti skak mat.” Lanjutnya sambil tertawa.
*****
“Peta ini jadi senjata kami. Mereka sekarang tidak bisa seenaknya lagi.” Kata Markus Ilun sambil menggulung peta yang tadi dibentangkannya. Peta itu adalah peta partisipatif yang dikerjakan warga Punan Adiu dengan didampingi oleh beberapa NGO lokal dan internasional. Peta itu punya peranan penting karena di atasnya jelas tertera kawasan hutan adat mereka yang tidak bisa seenaknya diganggu, apalagi sejak tahun 2012 pemerintah Kabupaten Malinau menerbitkan peraturan daerah Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau.
Peraturan daerah dan peta itu adalah senjata Markus Ilun dan orang-orang Punan Adiu untuk bertahan menjaga hutan mereka. Bergeming dari godaan investor yang bermulut manis tapi berbisa. Mereka sudah pernah merasakan bagaimana perusahaan tambang dan kebun kelapa sawit merusak sungai mereka. Mereka tak mau hutan mereka yang mereka anggap sebagai ibu itu jadi ikut rusak.
Iya, bagi orang Punan Adiu hutan adalah ibu mereka. Dan seperti lazimnya orang normal, menjaga dan merawat ibu adalah sebuah keharusan. Itu yang dilakukan Markus Ilun dan orang Punan Adiu. Markus Ilun dan semua orang Punan Adiu adalah pemilih jiwa Indonesia yang punya keteguhan dan ketetapan hati menjaga Mahakarya Indonesia.
“Tunggu, sebelum kalian pulang saya kasih tarian dulu.” Kata Markus Ilun. Beberapa belas menit kemudian dia datang dengan pakaian adat lengkap bersama sebilah mandau (parang khas Dayak). Di depan saya dia menari bersama istrinya, tarian khas Dayak yang membuat saya merinding.
Kami meninggalkan Punan Adiu di siang yang tertutup mendung. Terselip harapan semoga Markus Ilun, Piang Irang, dan semua warga Punan Adiu selalu diberi kekuatan dan ketabahan untuk menjaga hutan mereka. Menjaga ibu mereka yang juga adalah mahakarya Indonesia. [dG]