Lukman Sardi dan Pilihannya
Lukman Sardi sudah memilih. Dia pasti sudah tahu resikonya seperti apa. Sama seperti yang terjadi pada banyak orang lainnya.
SEORANG TANTE SAYA-ADIK DARI ALM. BAPAK-BERPINDAH KEYAKINAN ketika saya masih kecil. Saya tidak tahu detailnya seperti apa, saya hanya tahu beliau menikah dengan seorang pria beragama Katolik (kalau tidak salah) dan kemudian ikut agama suaminya. Saya ingat betul, Alm. Bapak marah besar kala itu. Beliau adalah anak ketiga yang terkenal keras. Sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah mau menerima adiknya kembali meski secara sembunyi-sembunyi saudaranya yang lain mulai menjalin hubungan kembali dengan tante yang sudah berganti keyakinan itu. Entah Alm. Bapak tahu atau tidak.
Saya dan adik-adik tidak pernah ikut dan diikutkan dalam pergaulan bersama tante yang Katolik itu. Saya tahu keluarga besar dari pihak Alm. Bapak makin intens menjalin hubungan dengan tante yang Katolik itu. Sekali waktu saya pernah memergoki anak dari tante itu sedang bermalam di rumah tante yang lain di Jakarta. Buru-buru seorang adik bapak yang lain membisiki saya, meminta saya untuk tidak menceritakan pertemuan itu ke bapak.
Saya menurutinya, saya tidak pernah menceritakan apa yang saya temukan itu kepada Alm. Bapak. Saya memang tidak mau ambil pusing pada urusan itu. Buat saya itu urusan tante saya. Beliau pasti tahu resiko apapun yang mengikuti pilihannya, termasuk resiko dijauhi beberapa keluarga. Sayapun termasuk yang menjauhi beliau, tapi alasannya lebih karena saya menghormati sikap Alm. Bapak yang saya yakin pasti punya alasan.
Sikap keluarga besar Alm. Bapak seperti terbagi dua. Beberapa yang konservatif dan garis keras tetap menolak sang tante untuk masuk kembali ke dalam keluarga besar. Tapi saudara-saudaranya yang lebih progressif perlahan mulai menerimanya kembali. Saya paham, pertalian darah bagaimanapun akan sangat sulit untuk dilawan.
Saya berada di tengah-tengah. Saya menghormati keputusan keluarga besar Alm. Bapak untuk menerima kembali tante itu, tapi sekaligus menghormati sikap Alm. Bapak yang keras menolak. Sekali lagi pertalian darah sangat sulit dilawan.
*****
LALU MUNCUL KISAH TENTANG LUKMAN SARDI YANG BERPINDAH AGAMA. Sebenarnya saya sepakat kalau cerita itu bukanlah sesuatu yang bisa dibesar-besarkan. Berganti keyakinan adalah pilihan pribadi, ranah privat yang tak mesti dikonsumsi publik. Lukman sudah memutuskan sesuatu yang menurutnya terbaik. Menghujatnya hanya membuang-buang tenaga, apalagi pilihannya tidak serta merta membawa pengaruh untuk negeri ini.
Saya mual ketika melihat bagian komentar di beberapa laman berita yang memajang kisah perpindahan agama Lukman Sardi ini. Komentarnya tak jauh dari hujatan, baik menghujat Lukman Sardi yang dianggap murtad sampai hujatan dari kedua agama yang pernah dan sekarang dipeluk Lukman Sardi. Sesama pemeluk agama kemudian larut dalam hujatan dan saling melecehkan meski tentu saja kita tahu mana yang lebih keras menghujat dan melecehkan.
Saya mual melihat betapa banyak orang yang merasa dirinya sangat suci sehingga pantas untuk menghujat dan melecehkan orang lain. Saya bukan penganut paham semua agama benar. Saya percaya agama saya yang paling benar dan sempurna, karena kalau semua agama benar untuk apa kita memilih satu agama saja? Tapi, saya tidak pernah merasa punya kuasa untuk menilai agama lain jelek atau pantas dihina.
Apa yang terjadi pada Lukman Sardi adalah perulangan. Juga terjadi pada banyak orang yang lainnya, apalagi mereka yang berstatus public figure. Berganti keyakinan agama tentu bukan hal yang mudah, selalu ada resiko yang mengikutinya. Menjadi public figure tentu menambah berat resiko itu.
Tapi Lukman sudah memutuskan. Dia sudah dewasa dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Bukan hak kita untuk menilainya, apalagi memberi hujatan pada agama yang dipilihnya.
Selamat berpuasa bagi Anda yang meyakini kalau puasa adalah kewajiban. Bagi yang tidak, hormat saya untuk kalian. [dG]
nicely put, daeng. setuju 🙂
Tak gampang menjadikan agama di negeri ini sebagai urusan pribadi. Apalagi bagi seorang figur publik. Sebagian dari kita merasa bagaimana orang lain menjalankan keyakinannya menjadi urusan mereka juga. 😉
Salam persahablogan,
@adiwkf
Menyebut orang yang mencuri sebagai pencuri itu bukan menghina, Daeng. Sebutan itu jadi hinaan apabila yg disebut pencuri itu tidak pernah mencuri, atau pernah mencuri tapi sudah bertobat.
Sama halnya dengan sebutan kafir.
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata, “sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam”….” (Al-Maidah:72)
“Sungguh, telah kafir orang yang mengatakan Allah adalah salah satu dari yang tiga (trinitas)” (Al-Maidah:73).
saya sepakat kalau menyebut Lukman murtad
tapi cukup sampai di situ, saya tidak mau melanjutkan untuk menghina dan menghujatnya lebih jauh. karena saya sadar kapasitas saya cuma sampai di situ.
saya tidak mau terlihat seperti maling teriak maling…
teman-teman kita terlalu responsif terhadap beberapa urusan pribadi orang. mungkin itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita pada umumnya. apalagi jika media massa ikut mengumbar, makin parah dan menyulut tudingan kafir, sesat, dan sebagainya.
begitulah, kita masih terus belajar tentang keberagaman dalam keberagamaan.
Cukuplah ayat Allah dlm surat Al Qafirun menjadi jawaban, Lakum Dinukum Waliyadin..
klo sy daeng bukan mencaci atau membenci, bahkan kudoakanki smg kembali dpt hidayah…
bgmn pun dia salah satu aktor yg sy suka…walau kaget itulah hak dasar dr setiap org yg harus dihargai..
selamat berpuasa dg ipul, maaf lahir bathin
Selamat berpuasa juga 🙂
Mohon jgn salah mengartikan ayat terakhir dari Surah Al-Kafiruun itu. Baca dan pahami seluruh ayat di surah itu supaya tau konteks surah itu. Ayat itu bukan ajakan utk toleransi dlm agama,justru perintah utk tdk bertoleransi dlm agama.
Pelajari pula asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat dari Surah Al-Kafiruun itu. Sebab turunnya adalah karena pertama permintaan pemimpin quraisy kepada Nabi Muhammad Saw utk menghentikan dakwahnya,dgn iming2 harta & jabatan, yg lalu ditolak oleh Rasulullah dgn sabdanya kurang lebih isinya “kalaupun diletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku… tidak akan aku hentikan dakwahku” yg mungkin pernah mi kita dengar.
Berikutnya, karena gagal dgn permintaan itu, rencana org2 kafir Quraisy berikutnya adalah mengajak muslim utk toleransi dlm ibadah. Ajakannya antara lain dgn mengajak muslim beribadah yg sama ketika kafir quraisy melakukan ibadah. Begitu jg sebaliknya,kalau muslim ibadah maka kafir quraisy jg ikut ibadahnya org muslim.
Maka turunlah ayat2 dlm surah Al Kafiruun itu. Isinya justru menolak dan mengecam ajakan toleransi dlm ibadah dan agama dari kafir quraisy.
Jadi tidak tepat kalau 1 ayat terakhir itu dipakai sendirian utk membenarkan toleransi dlm agama. Sesuaikan ayat dan konteks ayat itu, jgn diambil sebagian2,supaya tahu cocok atau tidaknya.
Oh iya, ayat pertama surah itu isinya “katakanlah,’hai,orang-orang kafir…” dst..dst… jadi,apa yg salah dgn sebutan kafir,sementara yg bersangkutan sendiri sdh mengakuinya. Al quran pun cukup sering mengulang2 “hai orang2 kafir” “katakanlah kepada orang2 kafir”. Yg salah itu kalau orgnya masih tidak jelas kekafirannya,tapi disebut kafir.
Mohon maaf, no offense yaa…
Wassalam…