Kolombia 3: Mampir di Eropa
Setelah menunggu delapan jam di Doha dan terbang delapan jam menuju Madrid, akhirnya saya mendarat di ibukota Spanyol itu. Ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang bisa dibaca di sini.
“Calling passenger name Daeng Ipul. Please report to the counter.”
Kira-kira seperti itu panggilan yang saya dengar bergema. Mungkin tidak tepat seperti itu, tapi setidaknya saya tahu kalau nama saya yang disebut. Saya bergegas menuju konter dekat pintu boarding di bandara Barajas, Madrid.
Seorang pria Spanyol menerima saya.
“Espanyola? Englis?” Tanyanya.
“English,” jawab saya. Pengen jawab “Indonesia” tapi dia pasti bingung.
Dia lalu bertanya, ada urusan apa saya ke Bogota? Berapa lama? Apakah saya sudah punya tiket balik? Saya menyerahkan semua dokumen yang sudah saya siapkan. Dari undangan, bookingan hotel, sampai tiket balik bersama tentu saja paspor saya. Dia memeriksanya dengan teliti satu per satu, lalu mengembalikan semuanya ke saya.
“Okay sir. You can wait there,” katanya sambil menunjuk barisan orang yang mengantre naik pesawat.
Mendarat di Madrid
Adegan di atas adalah adegan ketika saya sebentar lagi akan meninggalkan Madrid menuju Bogota. Beberapa jam sebelumnya saya akhirnya menginjakkan kaki ke tanah Eropa, tepatnya di bandar udara Barajas, Madrid. Saya lumayan bersemangat ketika tahu kalau saya akan mendarat di Madrid, ibukota Spanyol. Selain pengalaman bahwa saya akan menginjakkan kaki di tanah Eropa, juga karena saya pecinta klub Real Madrid.
Ketika berjalan keluar dari pesawat pun saya sudah cukup bersemangat sambil mengumandangkan hala madrid di dalam hati.
Bandara Barajas tidak terlalu besar, mungkin hampir sama dengan terminal 3 Soekarno Hatta. Bahkan terasa lebih gerah dari Soekarno Hatta. Mungkin karena Eropa sedang masuk musim panas yang tidak biasa, dan tidak ada pendingin ruangan di dalam bandara.
Saya berjalan mengikuti penumpang menuju ruang transit. Tidak butuh visa karena saya tidak meninggalkan area bandara. Semua perjalanan sudah diurus satu maskapai meski dari Madrid ke Bogota saya akan berganti maskapai. Tapi maskapai Iberia yang akan membawa saya ke Bogota bekerjasama dengan Qatar Airways. Kecuali kalau misalnya saya berganti pesawat dan operator, saya harus keluar dulu untuk chek in dan itu berarti saya butuh visa. Pokoknya selama tidak harus meninggalkan area transit, kita tidak butuh visa sama sekali.
Masuk ke bagian bandara, dua orang petugas Spanyol sudah berdiri. Mereka memeriksa paspor penumpang yang bukan warga Spanyol. Termasuk saya. Salah satu petugas memeriksa paspor saya dengan teliti menggunakan kaca pembesar, hanya memeriksa paspor sebelum dia mempersilakan saya lanjut berjalan.
Saya langsung merasakan suasana berbeda dengan bandara Doha di Qatar. Bandara Madrid meskipun besar dan ramai, tapi jauh dibandingkan dengan bandara di Doha. Toko-toko tax free juga bertebaran, tapi tidak sebanyak dan semegah di Doha. Tidak apa, itu tetap tidak mengubah rasa senang saya bisa mendarat di Madrid.
Merasa Asing
Setelah pemeriksaan paspor di ujung lorong, semua berjalan lancar. Saya melewati pemeriksaan x-ray tanpa halangan, lalu berjalan menuju ruang tunggu di terminal S. Tiba-tiba saya merasa sangat asing.
Berbeda dengan bandara Doha ketika saya masih bisa melihat wajah-wajah Asia, dan bahkan bertemu orang Indonesia, di Madrid semua wajah sama sekali berbeda dengan wajah yang biasa saya lihat. Hanya ada wajah orang Eropa dan latin, serta orang-orang kulit hitam. Tidak ada wajah Asia, apalagi Asia Tenggara.
Bahasanya pun beda. Di Qatar saya masih mendengarkan bahasa Inggris di mana-mana, atau pengumuman dalam bahasa Arab, dua bahasa yang lumayan masih familiar di kuping. Tapi tidak di Madrid. Semua tulisan, percakapan, dan pengumuman dalam bahasa Spanyol ditambah bahasa Inggris.
Saya mulai merasa asing.
Saya tiba di Madrid siang hari, lepas jam makan siang. Beruntung karena di pesawat masih sempat makan siang, jadi perut tidak terasa terlalu keroncongan. Tapi tetap saja, saya merasa butuh mengganjal dengan minimal roti dan kopi. Mau tidak mau saya menarik uang di ATM menggunakan kartu Mandiri saya, dan berhasil. Dengan uang 50 Euro di tangan saya beranjak ke kedai kopi di dalam bandara.
Dan ini pertama kalinya saya kesulitan berkomunikasi. Karyawan kedai kopinya tidak bisa berbahasa Inggris, jadi saya cuma bisa menunjuk roti yang saya mau dan menyebutkan “kopi” dan “small” ditambah gerakan. Beruntung semua lancar, segelas americano dan sebuah roti tiba di tangan saya.
Sebenarnya ada keinginan untuk merokok, tapi sayangnya bandara Barajas tidak ramah perokok. Ada tempat merokok, tapi jauh di satu tempat antara terminal J dan H. Itu hasil googling saya. Nah tempat itu letaknya jauh dari terminal yang saya tempati, terminal S. Jadi saya pendam keinginan itu dan hanya menikmati kopi dan roti yang saya beli. Oh iya, total untuk kopi dan roti sekitar 18 euro.
Naik Pesawat.
Saya duduk di Gate 27 bersama ratusan penumpang lain yang juga akan ke Bogota. Saya lemparkan pandangan ke sekeliling dan kembali merasa asing. Tidak ada satupun wajah orang Asia, bahkan orang Asia Timur sekalipun. Mungkin di pesawat itu hanya saya yang berasal dari Asia.
Tapi sudahlah, saya berusaha menikmatinya.
Transit di Madrid tidak terlalu lama, tidak seperti transit di Doha. Hanya sekitar 2 jam 15 menit sampai kemudian panggilan boarding bergema. Saya yang sudah diperiksa petugas, ikut mengantre bersama penumpang lain. Sempat terhenti sejenak karena ditahan petugas boarding di depan pintu. Dia melihat nama di paspor saya, berbalik ke bapak-bapak yang tadi mengecek saya, mengucapkan sesuatu dalam bahasa Spanyol yang dibalas si bapak itu, lalu mengembalikan boarding pass dan paspor saya, tersenyum manis dan mempersilakan saya lewat.
Masuk ke pesawat Iberia, saya langsung sadar kalau saya akan merasakan pengalaman yang berbeda dengan Qatar Airways. Pesawat Iberia tidak sebagus Qatar Airways, jarak antar kursinya lebih sempit dan bahkan menurut saya sama dengan jarak antar kursi Batik Air.
Saya dapat kursi J yang awalnya saya kira di tengah. Saya sudah membayangkan akan duduk di tengah dan tersiksa selama 10 jam. Ketika sudah pasrah duduk di tengah, seorang mbak-mbak Spanyol berdiri dekat kursi saya dan berucap, “Excuse me, you are on my seat.”
“Oh ya?” Tanya saya. Dan setelah saya cek, ternyata memang dia yang di tengah dan saya di lorong. Jadilah kami berganti kursi sambil tidak lupa saya meminta maaf.
“It’s even better for you, right?” Tanya si mbak ketika kami sudah duduk di kursi masing-masing.
Yes it is mbak. Duduk di lorong memang jadi jauh lebih enak buat saya. Lebih lowong meskipun saya harus merelakan tidak melihat pemandangan saat tinggal landas dan mendarat nanti.
“Are you Colombian mbak?” Tanya saya ke si mbak berwajah manis itu.
“No. mas, I am Spanish koq,” jawabnya.
Hanya itu obrolan kami, dan kami kembali ke urusan masing-masing atau lebih tepatnya sibuk memilih tontontan di layar kecil di depan kami.
Tak berapa lama setelah semua penumpang sudah naik, petugas langsung bersiap untuk membawa burung besi ini meninggalkan Madrid. Saya berusaha mencari posisi yang nyaman sambil tidak lupa menelan sebiji Antimo agar bisa tidur. Sekali lagi Antimo itu membantu saya, perjalanan 10 jam sebagian besarnya – mungkin 7 jam – saya habiskan untuk tidur. Saya hanya bangun dua kali ketika makanan dibagikan, dan ketika Bogota sudah dekat. Oh lupa, saya bangun sekali ketika si mbak Spanyol itu membangunkan saya. Dia sudah ada di lorong dan hendak masuk kembali ke kursinya. Saya heran, koq dia bisa keluar tanpa saya sadari ya? Senyenyak itukah tidurku?
“I am sorry ya mas, you are sleeping so I jump over you,” katanya.
Yah it is okey mbak, kata saya dalam hati. Dan saya kembali tidur tidak lama setelah itu. Suara mesin pesawat seperti white noise buat saya, membantu saya tidur lebih cepat. Di luar sudah gelap, matahari sudah terbenam dan saya yakin kami sedang ada di atas samudera atlantik.[dG]
Bagian berikutnya bisa dibaca di sini
Deh tiap transit tarik uang tawwa.. Senangnya itu bank ??
Hahahaha iya dong. Menyenangkan orang lain kan pahala