Kitorang Su Sampai Sorong Kaka

Bandara Domine Eduard Osok Dari Depan

Sayang sekali memang karena saya hanya berada di Sorong selama 3 hari, itupun karena urusan pekerjaan. Padahal perkenalan pertama ini membuat saya menyukai Sorong.

Matahari bersinar terik di atas Sorong, tepatnya di Bandara Domine Eduard Osok Jumat siang. Express Air mendarat dengan sedikit hard landing, entah karena memang prosedur atau karena pilotnya yang kurang ahli. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Papua. Sudah lama saya ingin mengunjungi pulau paling Timur Indonesia ini, dan beruntung karena saya mendapat undangan untuk ke Papua, tepatnya ke Sorong Papua Barat.

Setelah urusan kenalan dan basa-basi selesai, kami beranjak mencari makan siang. Sebelum ke Papua saya sempat mencari makanan khas Papua, tapi yang saya temukan adalah makanan yang tidak boleh saya konsumsi sebagai seorang muslim. Siang itu kami juga diajak makan di sebuah warung khas Jawa dengan menu bebek goreng dan bakar.

Dua orang Telkomsel yang menemani kami sebagai tuan rumah ternyata punya passion pada fotografi. Mas Adi menunjukkan koleksi foto Raja Ampat yang dengan segera membuat saya menitikkan liur. Raja Ampat sudah sepelemparan batu dari Sorong, dekat di mata tapi jauh di kantong. Dari Sorong memang ada kapal reguler yang bisa mengantar kita ke Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat dengan biaya Rp. 120.000,- Tapi itu bukan tujuan utama. Untuk menuju pulau lain yang jadi tujuan utama wisata kita masih harus menyewa kapal seharga Rp. 3jtan sampai Rp. 20jtan tergantung jenis dan besarannya.

Waktu dan biaya yang tidak mendukung membuat saya harus puas menelan ludah melihat deretan foto yang ditangkap mas Adi. Sungguh sebuah pemandangan yang luar biasa.

Kota Sorong mengingatkan saya pada kota Pare-Pare di utara kota Makassar. Kotanya dikelilingi laut di bagian depan dan bukit di bagian belakang. Jalanan porosnya hanya satu, itupun tidak seramai jalanan di Makassar. Kami diantar ke hotel Le Meridien, salah satu hotel terbaik di Sorong yang letaknya persis di depan bandara. Hanya jalan kaki sekitar 15 menit.

Di pusat kota kita akan jarang menemukan penduduk asli berkeliaran. Kota Sorong digerakkan oleh kaum pendatang, sebagian besar dari Sulawesi Selatan dan pulau Jawa. Tidak heran kalau kita bisa dengan mudahnya menemukan warung Coto, atau warung makan Jawa di sepanjang jalan. Warga asli banyak bermukin di pinggiran kota, mereka sebagian besar hidup di sektor informal.
Sore harinya saya dan pak Rusdi yang sama-sama datang dari Makassar dijemput teman-teman Telkomsel Sorong.

Sore itu kami berencana mau hunting foto, mengejar sunset di kawasan Tanjung Saoka yang berada agak jauh di luar Sorong. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit melalui jalanan yang sementara dibeton. Di kanan-kiri berderet rumah sederhana, sebagian berdinding kayu dengan warga asli yang menempatinya. Ada juga beberapa ekor babi yang bermain-main di padang luas selayaknya kambing di kota lain. Saya bahkan menemukan beberapa ekor babi gemuk di dalam kota Sorong yang dilepas begitu saja seperti anjing yang mengais tempat sampah.

Matahari di Sorong rupanya terbenam sekitar pukul 18:30, kami tiba persis beberapa menit sebelum golden moment sehingga bisa dengan leluasa mencari tempat untuk memotret sang mentari yang beranjak pulang.

Sunset di Tanjung Saoka

Tanjung Saoka adalah sebuah tanjung yang penuh dengan karang dan bakau. Pantainya berpasir hitam. Sebenarnya tampak biasa saja, apalagi sepertinya Tanjung Saoka tidak bisa dipakai untuk berenang. Tapi buat fotografer, kondisi seperti itu justru adalah tempat terbaik untuk menghasilkan foto-foto sunset. Apalagi ditambah dengan langit dan awan yang begitu eksotis.

Perburuan kami berakhir ketika matahari betul-betul sudah pulang. Besok masih ada tempat lain untuk hunting, kata mas Adi.

Keesokan harinya setelah rangkaian acara utama selesai kami dibawa ke Bukit Malanu yang berada di punggung kota Sorong. Dari atas bukit kita bisa melihat pemandangan eksotis kota Sorong di bawah sana dengan laut sebagai halaman depannya.

Tak membuang waktu, kami mengabadikan banyak frame di sana. Sekali lagi langit dan awan Sorong memang eksotis. Entahlah, tapi saya merasa makin ke Timur Indonesia langitnya makin biru dan awannya makin beragam bentuknya, benar-benar nyaman untuk direkam dalam bingkai foto.

Senja dari Bukit Malanu

Sayang sekali memang karena saya hanya berada di Sorong selama 3 hari, itupun karena urusan pekerjaan. Padahal perkenalan pertama ini membuat saya menyukai Sorong. Saya merasa ada banyak hal yang menarik di kota yang berada tepat di area kepala burung pulau Papua ini. Sorong punya laut yang indah, punya bukit yang menawan dan tentu saja tidak terlalu jauh dari kabupaten Raja Ampat.

Kitorang su sampai Sorong kaka, itu yang saya twitkan ketika pertama kali mendarat di Sorong. Rasanya excited akhirnya bisa menginjakkan kaki di pulau Papua meski tentu saja masih belum puas. Setidaknya saya sudah membuka jalan, sisanya akan dilanjutkan nanti ketika saya kembali ke sana benar-benar untuk berwisata, bukan lagi untuk urusan pekerjaan.

[dG]