Ironi Timur Dan Barat

Bandara Domine Eduard Osok

Saya tidak percaya kalau orang Papua dicap pemalas dan bodoh. Mereka pekerja keras, mereka hanya selalu didiskreditkan dan tidak pernah disentuh dengan cara mereka untuk diajak jalan sama-sama

Seorang teman pernah bilang, kalau kita jalan ke luar Jawa khususnya di bagian Timur Indonesia maka akan sangat terasa timpangnya perbedaan antara Jawa dan luar Jawa. Atau lebih luas lagi, antara Barat dan Timur Indonesia. Dan saya percaya pada kata-katanya.

Sabtu (5/5) kemarin saya mendarat di bandara Domine Eduard Osok, bandar udara kota Sorong Papua Barat. Jangan membayangkan sebuah bandar udara besar seperti di Sultan Hasanuddin, bandara Domine Eduard Osok sangat sederhana. Terlalu sederhana untuk ukuran sebuah bandara. Padahal Sorong adalah pintu masuk ke Papua Barat. Meski ibukota Papua Barat adalah Manokwari, tapi Sorong adalah kota yang paling sibuk dan paling maju.

Sebuah kota yang katanya paling sibuk dan paling maju di Papua Barat keadaannya sama dengan kota Pare-Pare dua puluh tahun lalu. Suasananya hampir sama, di bagian bawah ada hamparan laut biru dan di belakangnya ada tebing tinggi. Banyak hal yang di Sorong yang mengingatkan saya pada kota Pare-Pare berbelas ?belas tahun yang lalu.

Tapi itulah Indonesia. Kita semua tahu kala pembangunan negeri yang katanya subur makmur ini lebih banyak berputar di sebuah pulau bernama Jawa. Lebih spesifik lagi di sebuah kota bernama Jakarta. Memasuki Jakarta ibaratnya memasuki dimensi lain sebuah kota yang sama sekali berbeda dengan kota lainnya. Mungkin hanya Surabaya yang hampir mendekati.

Bandara Domine Eduard Osok Dari Depan

Suatu saat negeri ini diguncang sebuah berita tentang separatisme. Bagaimana banyak warga di Papua yang katanya menuntut merdeka, menuntut melepaskan diri dari Indonesia. Orang di Jakarta marah, orang di pusat sana menuding mereka pemberontak dan mau menghancurkan Indonesia. Beberapa orang menuduh mereka goblok dan tidak punya otak.

Begitukah? Terlepas dari semua alasan politis di belakang aksi separatis itu sesungguhnya ada sebuah pesan yang harus dibaca oleh kita semua.

Papua negeri yang kaya. Alamnya penuh mineral dan hasil bumi yang luar biasa banyaknya. Alamnya penuh keindahan yang tak terperi. Lautnya bening, luas dan Subhanallah indahnya. Tapi apa itu semua membuat mereka kaya? Apa itu semua membuat mereka sejahtera? Mungkin tidak segampang itu.

Orang-orang dari Barat, entah dari Barat negeri ini ataupun dari Barat bumi ini berbondong-bondong datang ke Papua. Mereka mengeruk kekayaan alam bumi Papua, membuat resort di Raja Ampat dan mengambil semua yang bisa diambil. Keuntungannya mereka bawa ke Jawa, mereka borong ke luar negeri. Tinggallah warga Papua berebut remah-remah. Sebagian malah berebut penyakit.

Orang dari Barat negeri ini datang ke Papua. Dijejalkannya pengetahuan dari Barat ke kepala saudara-saudara kita di sana. Dijejalkannya dogma kalau ajaran leluhur mereka adalah bukti ketertinggalan, ajaran leluhur mereka adalah ajaran primitif yang harus ditinggalkan kalau mereka mau sejahtera, kalau mereka mau seperti orang-orang dari Barat itu.

Orang-orang dari Barat datang dan dengan semena-mena menjejalkan pengetahuan mereka, memaksakan mind set mereka ke kepala saudara-saudara kita di Papua. Ketika mereka membentur tembok, mereka bisa saja dengan gampangnya berucap : ah, dasar mereka yang pemalas. Dasar mereka yang tak mau maju.

Segampang itukah?

Orang dari Jakarta sana mungkin tidak pernah mau bersusah payah menggali akar luhur dari kehidupan saudara kita di Papua. Mereka menganggap semua yang mereka bawa dari Barat itu adalah sempurna dan bisa diadopsi di mana saja. Tak peduli saudara kita sudah punya kearifan lokal yang lebih cocok untuk mereka.

Papua negeri yang kaya, tapi rakyatnya dibiarkan tertinggal karena orang dari Barat tidak pernah mau tahu bagaimana caranya mengajak mereka berjalan sejajar. Mereka menggunakan standar yang sama dengan standar yang mereka bawa dari Barat dan mereka jejalkan seenaknya di kepala saudara-saudara kita di Papua.

Negeri kita kaya, tidak ada satu jengkalpun dari Indonesia yang tidak punya kekayaan. Tapi pertanyaannya adalah, ke manakah kekayaan itu diangkut? Ke manakah hasil kekayaan itu ? Siapa yang menikmatinya? Adilkah kalau semua diangkut ke pusat dan meninggalkan remah-remahnya untuk warga setempat?

Saya tidak percaya kalau orang Papua dicap pemalas dan bodoh. Mereka pekerja keras, mereka hanya selalu didiskreditkan dan tidak pernah disentuh dengan cara mereka untuk diajak jalan sama-sama. Kita terlalu sering menganggap remeh mereka, tanpa kita sadari kalau kekayaan mereka menopang kemajuan negeri ini. Kekayaan mereka tercetak pada gedung-gedung mentereng di Jakarta sana, atau bahkan pada pakaian mahal segelintir orang.

Kalau ada yang meminta untuk memerdekakan diri, saya berusaha memahaminya. Di balik semua alasan politis, selalu ada akar kuat yang mendasarinya. Karena di negeri ini dan di dunia ini memang selalu ada ironi antara Timur dan Barat.

Entah sampai kapan.

[dG]