Kisah Keteguhan Hati Para Perantau
Merantau butuh keteguhan hati dan kegigihan. Tanpa itu, mustahil bertahan di perantauan. Indonesia punya banyak suku yang terkenal sebagai perantau, mereka adalah para pemilik Mahakarya Indonesia.
PRIA BERTUBUH TEGAP DENGAN KUMIS TEBAL itu lincah memotong daging sapi yang telah direbus di atas papan kecil yang diletakkan di atas meja. Daging-daging itu lalu dimasukkannya ke mangkuk. Tangannya lalu lincah menimba kuah cokelat di dalam panci tanah liat ke dalam mangkuk berisi daging tadi, lalu sejumput bawang goreng dan daun seledri ikut bergabung di mangkuk keramik berwarna putih itu. Semangkuk coto siap tersaji, aromanya menyeruak menggoda selera.
Namanya Saransi, datang dari kabupaten Gowa yang berbatasan langsung dengan Makassar. Pagi menjelang siang itu saya menemuinya di warung coto miliknya yang berada di tepi jalan di kompleks pasar lama kota Malinau, Kalimantan Utara.
Wajahnya yang berhias kumis tebal sepintas terlihat menyeramkan, tapi sesungguhnya tidak. Ketika tahu saya berasal dari daerah yang sama, sambutannya jadi hangat. Dia duduk di belakang dapur tempatnya meracik coto, menghisap sebatang rokok dan membagikan sepintas kisahnya merantau hingga ke Kalimantan.
“Lama ma saya merantau. Dari 2012 ji. (Saya sudah lama merantau, sejak 2012).” Katanya. ?Seperti kebanyakan para perantau lainnya, Saransi pertama kali ikut merantau karena diajak keluarganya yang sudah lebih dulu merantau ke Kalimantan. Awalnya dia menetap di Berau, ikut bekerja di perusahaan kayu.
Dari Berau dia berpindah ke kota lain di Kalimantan Timur, di antaranya Samarinda dan Balikpapan. Tahun 2014 Saransi mencoba peruntungan baru seiring akan terbentuknya provinsi baru, Kalimantan Utara. Dari Samarinda dia bergeser ke Malinau, salah satu kota yang sedang menggeliat di provinsi terbaru Indonesia itu.
Saransi mencoba membuka warung coto di bilangan pasar lama Malinau.
“Agak susah di sini, dagingnya mahal dan tidak banyak pilihan. Kadang harus saya pesan dari Tarakan. Beda dengan Makassar.” Katanya. Hari itu kami memang hanya mendapatkan sajian coto dengan daging saja, tanpa ada jeroan lain yang biasanya jadi isi dalam semangkuk coto.
Meski begitu Saransi tetap merasa hidup di perantauan lebih menyenangkan dari segi materi daripada hidup di kampung sendiri. “Di Makassar terlalu banyak saingan, hahaha.” Katanya sambil tertawa. Asap rokok tipis terhembus dari mulutnya.
*****
DALAM PERJALANAN PULANG DARI MALINAU ke Tarakan kami bertemu seorang pemuda langsing berkulit gelap. Namanya Agus, dia datang dari Mojokerto Jawa Timur. Sejak 2013 Agus merantau ke Malinau berbekal keahlian sebagai tattoo artist.
“Dulu saya diajak teman ke sini, katanya orang Dayak suka tattoo dan belum banyak yang bisa.” Ujarnya. Berbekal uang Rp. 1.000.000,- dan alat-alat tattoo yang dibawanya dari Jawa dia merantau ke Malinau, mengontrak kamar petak dan menawarkan jasa dengan berkeliling.
Ajakan temannya ternyata tidak salah, peminat tattoo di Malinau ternyata banyak. Dari anak muda sampai orang tua, dari pria sampai wanita. Maklum, tattoo adalah bagian dari tradisi orang Dayak yang sudah ada secara turun temurun. Hanya saja karena teknik tattoo tradisional yang menyakitkan maka jumlah penggunanya mulai turun. Agus dan teknik moderennya ternyata disambut hangat.
Dari sebuah kontrakan kecil, Agus mulai bisa menyewa ruang yang lebih besar di pusat keramaian Malinau. Pelanggannya makin banyak, bahkan di saat ramai mereka rela mengantri dan menunggui Agus yang istirahat makan siang.
“Iyya loh, kadang saya lagi makan aja mereka sampai rela nungguin.” Katanya sambil tertawa. Bukan cuma itu, istri bupati Malinaupun menjadi pelanggannya. “Beliau minta alisnya ditatto.” Kata Agus.
Agus mereguk kejayaan dari keahliannya membuat tatto selama kurang lebih dua tahun. Dalam rangkaian pesta ulang tahun Malinau bulan Oktober 2014 yang lalu dia ambil bagian dengan membuka stan tatto, dalam seminggu total Rp. 20 juta berhasil dikantonginya. Kepada saya dia bahkan memperlihatkan handphone Samsung S5 yang dia beli dari hasil keringatnya sebagai tattoo artist.
Sayang, penduduk Malinau tidak seberapa banyak. Perlahan bisnis tattoo Agus menurun peminatnya karena sebagian besar peminat tattoo di Malinau sudah jadi pelanggannya. Karena sepi, Agus membanting setir jadi asisten kapal boat yang melayani rute Tarakan-Malinau.
“Tapi kadang saya masih menerima order kalau ada yang minta ditattoo.” Pungkasnya.
*****
SARANSI DAN AGUS ADALAH DUA DARI JUTAAN PERANTAU yang menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Mereka rela meninggalkan kampung halaman demi mencari nasib yang lebih baik di tanah rantau. Saransi yang orang Makassar dan Agus yang orang Jawa punya kesamaan; sama-sama gigih dan punya keteguhan hati.
Orang Bugis-Makassar memang sudah lama terkenal sebagai salah satu suku perantau di Nusantara. Jejak diaspora mereka sudah ada sejak abad ke-17. Awalnya karena alasan pelayaran dan ekonomi Orang Bugis-Makassar memang sudah dikenal sebagai pelaut tangguh yang bahkan menyeberang hingga ke benua Afrika.
Pasca jatuhnya kerajaan Gowa ke tangan VOC tahun 1667 diaspora orang Bugis-Makassar semakin membesar. Alasan politis dan keamanan menjadi latar belakangnya. Di masa sebelumnya beberapa kerajaan di Kalimantan, NTB, Maluku dan Sulawesi bagian Utara, Tengah dan Tenggara memang sudah tercatat membangun aliansi dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dengan cara kawin-mawin. Aliansi itu menjadi lebih kuat ketika kedatangan VOC membuat banyak orang mulai tidak nyaman dan memilih untuk merantau, keluar dari tanah asal mereka.
Meski hidup di perantauan, orang Bugis-Makassar tidak melepaskan identitas mereka begitu saja. Mudah menemukan jejak mereka, bahkan dalam hal paling sederhana; bahasa. Di beberapa tempat di Tarakan saya sempat merasa disorientasi, merasa berada di kabupaten di Sulawesi Selatan karena sekeliling saya semua orang berbahasa Bugis.
Orang Jawa juga sama. Jumlah penduduk yang sangat padat membuat mereka menyebar ke banyak daerah lain di Nusantara. Mungkin tak ada daerah yang tak dihuni orang Jawa, dari yang bekerja di sektor informal, menjadi pedagang, petani sampai mereka yang bekerja sebagai aparat pemerintah atau keamanan.
Saransi dan Agus dua contoh perantau dari dua suku yang berbeda. Mereka rela meniti harapan baru meninggalkan kampung halaman untuk hidup di tanah seberang. Mereka berbekal kegigihan, kerja keras dan kemauan untuk hidup sederhana demi masa depan yang lebih baik. Saat ini mereka mungkin belum menikmati hasil semanis yang mereka bayangkan, tapi setidaknya jalan ke arah itu sudah mulai dirintis.
Saransi dan Agus buat saya adalah representasi Jiwa Indonesia, jiwa orang-orang yang penuh keteguhan hati dan kegigihan untuk berusaha menaklukkan semua tantangan dan beratnya kehidupan. Tanpa kegigihan, mustahil ada kesuksesan. [dG]