Kalau Bandung Kota Gimmick, Makassar Kota Apa?
Bandung oleh sebagian orang dianggap sebagai kota gimmick. Hanya pencitraan semata tanpa menyentuh akar masalah. Bagaimana dengan Makassar?
BEBERAPA HARI YANG LALU SAYA BERHENTI di sebuah website yang salah satu isinya adalah kritikan tentang kota Bandung. Sang penulis menganalisa sebuah kritikan tentang kota Bandung yang dianggap hanya penuh dengan gimmick semata. Gimmick sendiri bisa diartikan sebagai sebuah cara atau alat yang bertujuan untuk menarik perhatian, biasanya dalam konteks pemasaran.
Bandung – kata sang penulis, adalah kota yang hanya fokus pada usaha membuat tampangnya lebih rupawan, semacam bersolek tanpa menyentuh masalah-masalah krusial yang berakar. Bandung dianggap penulis sibuk dengan membuat gimmick yang membuatnya seolah-olah terlihat sebagai kota yang banyak perubahan, menjadi lebih baik, menjadi lebih nyaman padahal nyatanya tidak seperti itu. Bandung berhasil mengemas gimmicknya dengan baik.
Tulisannya bisa dibaca di sini: Bandung as a gimmick city
*****
Saya tak hendak mengomentari tulisan itu, saya sudah cukup kapok dengan tulisan yang seolah-olah menyerang Ridwan Kamil sang walikota Bandung yang sudah terlanjur dicintai banyak warganya. Tulisan di ataspun akhirnya ramai oleh komentar yang tidak sejalan, walaupun komentar yang sepaham juga banyak. Sepertinya segala sesuatu yang terkesan menyerang Ridwan Kamil potensial menjadi kontroversi dan mengundang banyak komentar ya?
Saya belum pernah menginjakkan kaki ke Bandung sejak 2009. Terakhir kali ke sana saya memang merasa Bandung cukup semrawut, macet dan sampah dimana-mana. Tapi kebetulan watu itu saya ke Bandung di masa libur panjang, masa dimana mungkin setengah orang Jakarta tumpah ruah ke Bandung. Jadi tidak elok kalau bayangan terakhir itu dijadikan dasar untuk menggambarkan kota Bandung.
Setelahnya saya belum pernah ke Bandung lagi, apalagi setelah walikotanya berganti dan program-programnya makin makin populer di Indonesia.
Iya, sejak dipimpin oleh Ridwan Kamil kota Bandung pelan-pelan menjadi populer sebagai kota yang kreatif, nyaman dan tidak biasa. Ridwan Kamil muncul dengan beragam program yang terlihat keren, dari mulai bus wisata, satu hari berpakaian dan berbahasa Sunda sampai taman-taman hijau dengan beragam tema. Mungkin ada lagi, tapi saya tidak tahu atau tidak ingat.
Pembeda lainnya adalah cara Ridwan Kamil dalam berinteraksi dengan warganya menggunakan media sosial sehingga gambaran pejabat yang kaku dan birokratis perlahan memudar.
Sudah, sudah. Sekali lagi saya tidak mau berpanjang-panjang bercerita tentang Bandung yang tidak saya kenal.
Tulisan di atas membuat saya berpikir. Kalau Bandung yang menurut kami orang luar Bandung saja sudah demikian keren masih dianggap sebagai kota yang penuh dengan gimmick, bagaimana dengan kota kami; Makassar?
Walikota kami punya latar belakang yang sama dengan Ridwan Kamil, sama-sama arsitek dan usianyapun saya kira tidak terpaut jauh. Walikota kami juga sebenarnya punya bakat menjadi marketer. Sebelum menjadi walikota beliau cukup lama menjadi arsitek yang mengepalai sebuah biro konsultan. Proyeknya tersebar ke banyak daerah di Indonesia. Untuk bisa menjadi seorang konsultan sekelas itu tentu butuh kemampuan menjual yang baik selain kemampuan bekerja sesuai bidang bukan?
Saya pernah beberapa kali bersinggungan dengan beliau dan saya tahu persis kemampuannya sebagai seorang marketer.
Bakat itu sebenarnya terlihat ketika dia menjadi seorang walikota. Baru setahun menjabat beliau sudah mendapatkan beragam penghargaan, termasuk penghargaan sebagai salah satu walikota inovatif versi salah satu media nasional. Penghargaan itu hadir sebagian karena kemampuannya menjual program yang dipoles dengan beragam nama singkatan. Ada LISA, LILUNG, LIMPO dan entah apa lagi.
Kalau saja ada penghargaan untuk pemimpin daerah dengan jumlah jargon terbanyak, saya yakin walikota Makassar pasti jadi salah satu nominator. Bahkan mungkin dia akan jadi pemenang tanpa ada perlawanan.
Ini yang bikin saya bertanya-tanya. Kalau Bandung saja yang tampaknya sudah begitu banyak berubah masih saja dianggap sebagai kota gimmick, bagaimana dengan Makassar? Memang ada perubahan dengan kota ini, tapi kalau dibandingkan dengan segala macam jargon dan istilah-istilah itu rasanya masih jauh panggang dari api. Masih jauh Merauke dari Sabang.
Makassar masih setengah-setengah dalam mengolah gimmick-nya, masih setengah hati mengolah pencitraannya sehingga mengambang. Di luar tidak terkenal, di dalampun tidak berkesan. Mungkin walikota Makassar harus belajar lebih banyak mengelola gimmick, supaya Makassar bisa lebih elok. Habis itu baru kita bicara, apakah programnya hanya gimmick atau benar-benar sudah menyentuh akar masalah?
Eh tapi pertanyaan saya belum terjawab. Kalau Bandung dianggap kota gimmick, Makassar kota apa dong? [dG]
Hihi tulisan Mang Ayan ngehits banget, mentang-mentang pengantin baru. Sebenarnya bukan tulisan menyerang tapi mengingatkan.
Gimmick itu suatu yg mungkin harus, bukannya jatuh cinta aja awalnya dari mata baru turun ke hati. Penampilan luar dulu baru dalemnya.
Jadi pengen pulang ke bandung 🙁