Kembali Ke Kalumpang
Di Kalumpang, saya melihat sisi lain Indonesia, melihat kecintaan besar orang-orang pada tanah kelahirannya.
Akhirnya, setelah berselang empat bulan saya kembali ke Kalumpang. Masih ingat Kalumpang? Itu loh, daerah kecamatan di Mamuju Sulawesi Barat yang saya ceritakan di sini.
Kalumpang masih sama, masih jauh (walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh), dan masih sulit dijangkau. Jaraknya kata warga di sana adalah sekira 120 km dari kota Mamuju. Artinya, jarak sejauh itu jika jalanan normal dengan aspal mengkilap maka paling lama akan ditempuh selama tiga jam.
Tapi Kalumpang memang tidak normal. Jalan dari kota Mamuju ke Kalumpang bukan jalan biasa. Aspal? Apa itu aspal? Aspal itu hanya ada di mulut desa yang jadi gerbang Kecamatan Bonehau, kecamatan tetangga Kalumpang. Sisanya ya gitu deh, jalan tanah yang tak terurus. Hanya ada bebatuan dan tanah, di sampingnya kalau bukan rumah penduduk ya ilalang dan sebagian tebing, sebagian jurang.
Adapun jalanan yang agak rata dan kata orang-orang di sana “aspal”, bentuknya memang mirip. Lumayan rata dan halus untuk ukuran jalan ke Kalumpang. Sepertinya itu dibuat sejak jaman Jepang, atau mungkin paling tidak dibuat saat Soekarno masih jadi presiden. Dulunya mungkin aspal mulus, tapi karena waktu akhirnya jadi tergerus dan jadi sekadar “mirip aspal”. Itupun panjangnya tidak seberapa, belum capek kita koprol sudah lenyap lagi jalan yang “mirip aspal” itu.
Saya sampai bertanya-tanya dalam hati, “Di mana pemerintah?”
Untungnya perjalanan kali ini kami sudah lebih well prepared. Kami menyewa mobil double gardan, Mitsubishi Strada yang tentu saja harga sewanya lebih mahal. Di kunjungan pertama dulu kami hanya menggunakan Avanza yang bisa membuat engineer Toyota geleng-geleng kepala dan lalu menangis pilu melihat betapa kami menyiksa mobil buatannya.
Nah berbeda dengan Avanza, si Strada yang kami tunggangi kemarin meluncur mulus bahkan di medan yang berat. Guncangan memang terasa, tapi malah seolah-olah kami diayun. Saking menikmatinya, kami (saya dan Afdhal-rekan seperjalanan) sampai tertidur! Di medan yang tak rata, penuh dengan batu dan tanah, naik-turun, menyeberang sungai kami masih sempat tertidur. Sungguh terpujilah si Mitsubishi Strada dan supirnya yang tangguh itu.
*****
Tapi perjuangan sesungguhnya bukan hanya di Kalumpang. Kami hanya numpang tidur di sana, karena pekerjaan yang sebenarnya ada di tiga desa lain di atas Kalumpang. Segera setelah matahari bersinar cerah, kami meninggalkan Kalumpang menuju desa Kondo Bulo yang berada lebih di atas dari Kalumpang.
Perjalanan ke sana tentu saja masih berat. Jalan tanpa aspal, hanya bebatuan dan tanah telanjang. Tapi bonusnya, deretan perbukitan semakin banyak, lembah dengan hamparan sawah, hutan hijau dan sungai yang membelahnya terpajang jelas sepanjang jalan. Sekali lagi terima kasih untuk si Mitsubishi Strada dan sang supir yang bekerja supaya baik jalannya. Kami bisa menikmati pemandangan tanpa harus kuatir mobil mogok atau malah tergelincir ke jurang.
Desa Kondo Bulo dan Desa Karataun selesai. Selanjutnya kami akan menuju satu desa lagi, Desa Siraun namanya. Desa ini terletak jauh di sebelah bukit dan untuk menuju ke sana, mobil tidak mungkin bisa dipakai. Mobil harus berhenti di ujung jalan, dekat jembatan gantung. Pilihan selanjutnya adalah motor!
Sudah ada dua motor yang siap mengantar kami. Kedua-duanya motor bebek yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Bannya diganti dengan ban trail, bodi-nya sebagian dipreteli sehingga motor itu nyaris telanjang.
“Dua jam naik ojek,” kata warga yang kami temui di Desa Kalumpang.
Glek! Dua jam naik ojek? Dengan medan yang berat? Belum apa-apa saya sudah gentar. Dua jam naik ojek di jalan rata saja pantat rasanya sudah tepos, apalagi di medan yang berat? Habis ini pantat.
Tapi pekerjaan adalah pekerjaan! Sebagai seorang pekerja yang profesional dan berdedikasi tinggi, kami harus semangat seberat apapun medannya. (mudah-mudahan paragraf ini terbaca oleh bos, amin).
Dan berangkatlah kami, satu orang satu ojek karena tidak mungkin kami berdua menumpang satu ojek saja. Kami bukan cabe-cabean, maafkan.
Tantangan pertama adalah melalui jembatan gantung sepanjang kurang lebih 50 meter dan ketinggian 3 meter di atas sungai beraliran deras dengan bebatuan yang ramai. Selamat, tantangan awal sudah terlewati. Selanjutnya, tantangan jalanan berbatu yang naik-turun dan seakan menyiksa motor harus kami lewati.
Dua motor yang kami pakai suaranya sudah menggerung tidak karuan. Berteriak serak karena dipaksa terus melaju meski medannya sebenarnya tidak diperuntukkan untuk motor seperti itu. Kalau saja mereka bisa bicara, saya yakin mereka sudah berteriak minta ampun. Eh, atau jangan-jangan mereka malah berteriak penuh semangat karena ini adalah pengalaman yang berbeda dengan pengalaman yang dilalui saudara-saudara mereka di jalanan kota sana?
“Bro, kamu jalan di jalan aspal? Cih! Kami dong, jalanannya berbatu, naik turun gunung, kadang melewati sungai kecil. Keren kan?” Mungkin itu yang akan diucapkan si motor kalau bertemu dengan saudaranya sesama motor bebek yang dikendarai anak-anak muda di kota.
“Iya deh, kamu memang keren. Eh ngomong-ngomong, kamu pernah ditunggangi tiga cewek sekaligus ndak?” Dan itu balasan dari si motor bebek di kota.
Maka motor bebek di Kalumpang pasti akan terdiam. Mana ada tiga cewek mau menunggangi satu motor bersamaan di medan seperti itu? Cari mati?
*****
Alhamdulillah, ternyata perjalanan kami tidak sampai dua jam seperti yang dibilang orang-orang. Kami hanya butuh waktu 45 menit saja, itupun sudah cukup untuk membuat tubuh serasa diinjak-injak mbok-mbok tukang pijit berbadan subur. Belum lagi lengan yang sehari kemudian baru terasa pegalnya.
Lengan terasa pegal karena sepanjang jalan saya harus berpegang pada pegangan motor di bagian belakang. Bukan apa-apa, saya tidak rela dada saya menyentuh punggung si tukang ojek sepanjang jalan. Menang banyak dia!
Untuk perjalanan selama 45 menit dengan jarak yang saya hitung tidak lebih dari 20 km itu kami harus membayar Rp.400.000,-! Mahal? Iyalah, buat kita orang kota. Tapi kalau melihat medannya, angka sebesar itu masih masuk akal. Ini pertaruhan nyawa, Bung! Salah sedikit kami mendarat di jurang yang biasanya hanya berjarak semeter di samping kami.
Untungnya lagi karena di samping medan yang berat itu kami masih bisa melihat pemandangan yang indah. Lembah hijau, bukit penuh pepohonan, sungai yang mengular di bawah sana, langit biru dan awan seputih kapas. Lumayan, bonus ketika kami sudah kecapean di atas motor.
Alhamdulillah kami akhirnya selamat, kembali ke “peradaban” yang punya jalan aspal dan sinyal internet. Tapi, warga Kalumpang, Kondo Bulo, Karataun dan Siraun masih di sana. Hidup di tengah alam yang berat tapi masih asri. Menghirup udara yang segar sepanjang hari sambil menikmati sinetron di malam hari (iya, tiap rumah punya antena parabola).
Mereka memang terpencil, jauh dari peradaban moderen dan bahkan jauh dari aspal mulus. Tapi mereka punya cinta yang besar, setidaknya cinta pada tanah kelahiran mereka sampai mereka tak terpikirkan untuk pergi jauh dan mencari peradaban moderen. Biarlah, toh setiap orang punya caranya sendiri untuk tetap bahagia. Bukan begitu? [dG]
Video perjalanan ke Kalumpang dan Desa Siraun
wiiiiih kereeeen
Apanya?
Medannya yang becek dan tidak beraspal mengingatkan dengan kampung halaman, khususnya desa dimana saya tinggal. Sampai selesai SMA tidak pernah tersentuh oleh aspal dan pemandangan seperti foto di atas, becek jika musim hujan dan berdebu saat musim panas.
Saya jadi ketawa2 sendiri mmbaca dialog motor bebek kota sama motor bebek kalumpang, hahahh. Enakan motor bebek kota ya daeng? tiap hari dipake bnceng tiga sama cwek trus, hahahh.
Dilihat dari trek nya sih lumayan ekstrim juga. Tpi untung nya wktu dperjalanan daeng tdak dapat hujan, apalagi skarang kan sudah mmasuki musim2 hujan.
Coba kalau hujan turun, beh…pasti jalanan nya tmbah cakep!
kalau hujan, kami mungkin tidak berani jalan hahaha
ampung memang mi