Menikmati Semarang Dengan Cara Berbeda (Bag.1)

fam trip blogger 2017
Sebagian peserta setelah bermotocross

Hari pertama keseruan di acara #FamTripBlogger2017 yang diadakan di Semarang.

Jumat, 5 Mei 2017. Pukul 11:28, pesawat SJ 565 yang saya tumpangi akhirnya mendarat dengan mulus di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Langit Semarang dirundung mendung, matahari seperti bersembunyi di balik awan, udara gerah menyengat.

Ini kali kedua saya ke Semarang tahun ini. Namun, agak berbeda dengan kunjungan pertama yang judulnya adalah urusan pribadi, kunjungan kedua ini judulnya adalah menikmati wisata Semarang. Saya ke Semarang atas undangan Dinas Pariwisata Kota Semarang dan Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS). Tentu saja saya tidak sendirian, ada puluhan blogger lain dari berbagai kota yang juga diundang. Dari Makassar sendiri ada Saya dan Tari, meski selama persiapan saya tidak pernah bilang ke dia kalau saya juga akan berangkat.

Baca juga: Semarang yang fotogenic

Acara itu dibalut dengan nama Fam Trip Blogger 2017 yang berlangsung selama dua hari: 5 dan 6 Mei 2017. Acara pertama sudah dimulai di Jumat pagi itu, sayangnya saya datang terlambat dan harus melewatkan makan pagi di Soto Pak Man dan kunjungan ke Goa Kreo. Saya masih tertahan di bandara hampir dua jam karena harus menunggui dua orang tamu lain dari Malaysia. Pesawat mereka ternyata delay di Jakarta, padahal harusnya jadwal kedatangannya hampir sama dengan jadwal kedatangan saya. Karena terlalu lama menunggu, akhirnya oleh penjemput saya diantar duluan ke lokasi acara, tepatnya di Waduk Jatibarang.

Waduk Jatibarang sudah sering saya dengar dari teman-teman Loenpia dan Hello Semarang. Lokasinya berada di Gunung Pati, sekira 10 km sebelah barat pusat kota Semarang. Saya kagum juga, ternyata di kota yang sudah tergolong metropolitan itu ada sebuah daerah yang masih bisa dibilang asri. Waduk Jatibarang yang punya kapasitas penampungan hingga 20,4 juta kubik itu berfungsi sebagai pengendali banjir kota Semarang, sekaligus sebagai objek wisata. Apalagi di sekitarnya ada Goa Kreo yang terkenal dengan monyet-monyetnya dan kampung wisata Jatirejo, semuanya adalah lokasi yang akan didatangi rombongan di hari pertama.

Karena saya tiba sudah menjelang pukul dua siang, berarti saya gagal bertemu dengan monyet-monyet lucu yang foto-fotonya sudah disebar teman-teman rombongan di media sosial. Saya hanya bertemu dengan primata lain yang sudah ada di ujung rantai evolusi a la Darwin. Mereka berkerumun di tepi waduk Jatibarang, memegang gawai dan berfoto bersama. Merekalah rekan-rekan serombongan Fam Trip Blogger 2017 yang sudah lebih dulu datang.

Saya hanya sempat berfoto bersama mereka sebelum langsung naik ke bis menuju lokasi selanjutnya; Desa Jatirejo.

Jatirejo: Kolang-Kaling dan Motocross.

Kami tiba di Jatirejo tak sampai 15 menit kemudian. Desa ini rupanya sudah menjadi salah satu destinasi wisata baru di kota Semarang. Andalannya ada dua: wisata kolang-kaling dan atraksi motocross yang mereka sebut “Permainan Trabas”.

Kami disambut keramahan khas kampung. Es kolang-kaling, jahe hangat dan beragam cemilan dan kudapan tradisional dijejer di tepi jalan kecil, tak jauh dari jalan utama desa. Hamparan sawah dan anak-anak kecil dengan wajah sumringah sekaligus penasaran menyambut kami. Rasanya tidak percaya masih ada pemandangan seperti itu tidak jauh dari pusat kota Semarang.

fam trip blogger 2017
Masih ada beginian loh di kota Semarang
Fam Trip Blogger 2017
Disambut es kolang-kaling
Fam tip blogger 2017
Dan gorengan!

Jatirejo rupanya adalah pusat pengolahan kolang-kaling. Buah-buah kecil dari pohon aren (arenga pinnata) dipisahkan dari rumpunnya, lalu direbus hingga lembek sebelum dikupas. Di dalam buah aren itulah keluar biji-biji pipih dan kenyal berwarna putih, ini dia bahan dasar kolang-kaling. Proses tidak berhenti sampai di situ. Biji-biji kecil itu lalu ditumbuk dan dipipihkan agar rasanya lebih lembut. Prosesnya masih tradisional, mengandalkan kekuatan manusia.

Sore itu ada tiga ibu-ibu yang bekerja memipihkan kolang-kaling dengan sebuah kayu yang sepintas seperti alu untuk menumbuk padi, hanya bentuknya lebih kecil. Biji yang sudah dipipihkan kemudian direndam air di dalam gentong agar proses fermentasinya berjalan. Proses ini bisa memakan waktu dua hari sebelum kolang-kaling benar-benar siap untuk dikonsumsi.

“Kami ini pusat pengolahan kolang-kaling terbesar di Jawa Tengah,” kata ibu pemandu yang saya lupa namanya. Menurutnya, untuk memenuhi permintaan mereka bahkan mengimpor buah aren dari berbagai daerah lain di luar Semarang.

Ibu-ibu yang memipihkan kolang-kaling

Beberapa teman peserta Fam Trip Blogger 2017 mencoba memipihkan kolang-kaling seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu pekerja itu. Hasilnya? Baru dua-tiga tumbukan saja mereka sudah melambaikan tangan ke kamera, tidak kuasa untuk melanjutkan. Rupanya memipihkan biji kolang-kaling itu memang bukan pekerjaan mudah. Butuh kekuatan dan tekad sekeras baja.

“Ayo! Kita lanjutkan dengan bermain Trabas!”

Panggilan dari tour leader itu membuat kami beranjak meninggalkan ibu-ibu pengolah kolang-kaling. Awalnya saya bertanya-tanya, apa sih permainan Trabas itu? Sama sekali tidak ada bayangan. Tapi ketika melihat belasan motocross yang terparkir di tepi jalan, saya langsung paham. Trabas yang dimaksud adalah menumpang motocross melewati medan yang tak lazim.

Satu per satu peserta dipersilakan memilih motor yang mereka suka. Saya sendiri memilih motor yang lebih kecil. Bagi yang tak bisa bermotor, disediakan pemandu yang siap membonceng. Tadinya saya berniat minta dibonceng saja, biar bisa lebih santai mendokumentasikan perjalanan, tapi koq ya rasanya sayang. Akhirnya saya memilih naik motor sendiri dan mendokumentasikan sebisanya saja.