Selepas Badai Melanda Papua
Badai besar melanda Papua. Belum semuanya beres, namun setidaknya ada pelajaran yang bisa diambil.
Sebulan sudah berlalu. Berawal dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Papua tiba-tiba jadi pembicaraan nasional. Pengepungan itu seperti efek domino. Sehari setelahnya letupan terjadi di Manokwari dan Sorong. Letupan yang berujung pada aksi perusakan dan pembakaran. Lalu menjalar ke kota-kota lain di Papua dan Papua Barat. Fak-fak, Mimika, Deiyai, sampai akhirnya meletup keras di Jayapura tepat di hari Kamis 29 Agustus 2019.
Sebulan kemudian, keadaan memang sepertinya sudah kembali tenang. Jalanan di Jayapura sudah mulai ramai kembali. Toko-toko sudah mulai buka seperti biasa. Bekas-bekas kebakaran memang masih terlihat di beberapa titik, tapi setidaknya pemiliknya sudah berusaha untuk melanjutkan hidup. Move on, kata orang. Orang-orang di luar Papua pun sudah mulai move on. Mulai melupakan riuh rendah badai yang sempat melanda Papua. Berganti dengan isu lain yang lebih hangat.
Papua kembali seperti biasa.
Kembali jadi provinsi paling luas di Indonesia yang tidak begitu dikenali. Provinsi yang sering sekali mendapat stigma negatif dan salah paham. Besar tapi tidak dikenali. Terasa jauh sekali dari kita, orang Indonesia.
Bagaimanapun, badai yang mendera Papua bulan Agustus lalu memberi banyak pelajaran buat kita. Setidaknya hikmah yang bisa diambil.
Pertama, harus kita akui kalau kita – orang Indonesia – masih sering salah paham dan melekatkan stigma negatif pada Papua. Pada orang-orangnya. Apa yang jadi pemicu badai bulan lalu semua berawal dari stigma negatif dan rasis yang dilekatkan pada orang Papua. Stigma negatif yang dibalut sifat rasis itulah yang memicu badai yang menggulung beberapa kota di Papua.
Apa yang terjadi di Surabaya bukan kali pertama. Sudah sering kita mendengar bagaimana orang-orang menganaktirikan Papua, mendiskriminasi orang Papua. Dari hanya pandangan negatif, sampai perbuatan yang dengan terang benderang menunjukkan stigma negatif nan rasis.
Ada orang Papua yang cerita bagaimana orang-orang di angkot langsung menutup hidung mereka ketika dia naik angkot. Ada juga cerita susahnya anak-anak mahasiswa Papua mencari kosan. Banyak yang tidak mau menerima mereka karena sudah terlanjur yakin pada stigma buruk yang dilekatkan pada anak-anak mahasiswa asal Papua.
Kejadian di Surabaya kemarin hanya puncak dari gunung es.
Kedua, pemerintah Indonesia masih gagap dalam menangani kasus Papua. Khusus untuk kasus Papua, terlihat bagaimana pemerintah Indonesia seperti hanya punya satu solusi; mengirim aparat keamanan. Tidak banyak upaya lain yang lebih efektif.
Bahkan, pemerintah sempat pula melakukan beberapa blunder. Mulai pernyataan yang terburu-buru dan tidak tepat seperti cap hoaks untuk kejadian di Deiyai, atau cap hoaks untuk twit Veronica Koman. Lalu, Wiranto sebagai wakil pemerintah pun sempat mengeluarkan pernyataan yang justru dianggap memperkeruh suasana.
Di sisi lain, upaya dialog yang dilakukan pemerintah pusat juga dianggap salah sasaran. Alih-alih mengundang tokoh-tokoh yang punya pengaruh besar di Papua, pemerintah malah mengundang tokoh-tokoh yang tidak jelas pengaruhnya. Bahkan ada juga pertemuan yang dianggap sebagai pencitraan belaka karena hanya mengundang pemenang lomba gapura di Papua. Tidak efektif untuk menyelesaikan konflik.
Sementara itu, kementerian komunikasi dan informasi malah melayangkan perintah kepada operator selular untuk memblokir internet di Papua, nyaris selama satu bulan penuh. Perintah ini oleh para aktivis dianggap sebagai salah satu pelanggaran HAM. Dituding sebagai upaya pemerintah untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Walaupun menurut pemerintah, ini adalah upaya untuk meredam hoaks yang beredar lewat media sosial atau aplikasi percakapan.
Ini menunjukkan betapa kuatirnya pemerintah Indonesia menanggapi apa yang terjadi di Papua. Kuatir tapi gagap dan canggung dalam menanganinya. Maklum, Papua bukan hanya jadi sorotan nasional waktu itu, tapi juga sorotan dunia internasional.
Ketiga, kejadian kemarin membuat kita sadar betapa ringkihnya kehidupan di Papua. Di permukaan semua terlihat biasa saja, tenang dan damai. Tapi, semua sadar kalau di bawah ada api dalam sekam yang bisa membesar kapan saja. Hanya butuh satu pemicu seperti kejadian di Surabaya sebelum api itu membesar dan membakar kehidupan warga.
Di kalangan warga pendatang, ketakutan terlihat jelas ketika badai kemarin menggulung Jayapura. Isu tentang Papua merdeka selalu membawa rasa kuatir bagi warga pendatang, atau warga beretnis non Papua yang lahir dan besar di Papua. Bukan hal yang nyaman buat mereka bila isu itu benar-benar terjadi.
Selepas kejadian kemarin, ada juga beberapa warga pendatang yang sudah berpikir untuk meninggalkan Jayapura. Mereka tentu trauma setelah kejadian kemarin. Apalagi melihat bagaimana sebagian warga kehilangan hasil keringat yang sudah mereka bangun sejak dulu. Mereka sadar, kejadian seperti kemarin bisa terjadi kapan saja dan efeknya bisa lebih buruk. Buruk karena begitu banyaknya isu yang berkelindan. Dari isu rasialis, HAM sampai Papua Merdeka.
Hidup di Papua bagi sebagian pendatang ibarat hidup di atas patahan. Semua ketenangan bisa lenyap seketika hanya karena satu pemicu.
*****
Sebagai manusia, apa yang terjadi di Papua memang sangat saya sayangkan. Banyak yang jadi korban, banyak yang dikorbankan. Banyak pula pelajaran yang bisa diambil. Kalau ingin Papua masih menjadi bagian dari Indonesia, seharusnya kita menghormatinya seperti menghormati saudara. Stigma negatif atau rasisme hanya akan memperparah luka Papua dan memicu kembali badai seperti yang baru saja datang. Luka yang sudah ada belum pernah benar-benar sembuh. Hanya akan bertambah bila kita tidak benar-benar berniat melihat orang Papua sebagai manusia. Sama seperti kita.[dG]
Hingga kini, kata Papua masih sayup. Media-media besar cenderung meliput aksi massa di Jawa dan sekitarnya. Lupa kalau Papua juga butuh bantuan dari pemerintah untuk kembali pulih seperti semua.
apa pun yang terjadi, papua tetap indah