Yang Berakar Yang Akan Bertahan
Tidak semua yang besar itu akan bertahan lama. Kalau akarnya tidak kuat, pohonnya bisa rubuh kapan saja.
Dua tahun lalu, ada sebuah fenomena yang cukup ramai di kota Makassar. Sebenarnya bukan cuma di Makassar saja, tapi juga di beberapa kota lain di Indonesia. Fenomena itu adalah munculnya beragam kue-kue yang diberi label nama artis. Beberapa di antaranya mencap kue tersebut sebagai oleh-oleh khas sebuah daerah. Ada yang bilang kue-kue itu adalah memang usaha sang artis yang namanya dipakai, tapi ada juga yang bilang kue-kue itu hanya meminjam nama besar sang artis.
Di Makassar setidaknya ada tiga brand kue milik artis yang cukup booming waktu itu. Ada Baklave milik Irfan Hakim, Bosang Makassar milik Ricky Harun dan Bolu Ta’ milik Arie Untung. Kehadirannya hampir bersamaan. Baklave dan Bosang Makassar malah sama-sama diluncurkan di bulan Januari 2017. Bolu Ta’ menyusul belakangan. Satu lagi brand milik artis Verrel Bramasta juga diluncurkan di Makassar, namun namanya tidak setenar tiga brand lainnya.
Kehadiran kue-kue artis yang mengklaim diri sebagai oleh-oleh khas Makassar itu sempat ramai jadi perbincangan. Terutama di kalangan pelaku bisnis kuliner di kota Makassar. Kebetulan ada beberapa teman yang bergiat di bidang kuliner tersebut, jadi saya pun sempat mengikuti perbincangan seputar fenomena tersebut.
Beberapa orang memang seakan mempertanyakan “keabsahan” kuliner-kuliner tersebut sampai berani memproklamrikan diri sebagai “oleh-oleh khas Makassar”. Oleh-oleh khas – apalagi yang namanya kuliner – umumnya hadir lewat sebuah perjalanan panjang penuh sejarah. Bukan tiba-tiba datang dan mengaku sebagai oleh-oleh khas. Tapi, ada juga yang bilang kalau label itu adalah hak siapa saja. Sepanjang dia unik dan hanya ada di daerah tersebut, maka boleh saja dia disebut sebagai “oleh-oleh khas” meski sejarah dan kaitannya dengan daerah tersebut tidak terlalu panjang. Ini hanya soal bisnis, dan semua punya hak yang sama.
Sampai kemudian perdebatan itu hilang dengan sendirinya. Kue-kue tradisional tetap ada, kue-kue artis itu juga tetap ada.
Mulai Rontok.
September 2019, saya melintasi Jln. Sultan Hasanuddin di Makassar. Tanpa sengaja mata saya terantuk pada sebuah bangunan di sebelah kanan jalan. Bangunan yang dijadikan sebagai konter oleh brand Baklave, kue milik Irfan Hakim. Toko itu terlihat sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang parkir di depan toko sementara di bagian dalam hanya ada beberapa jenis jualan yang ditata rapi di lemari pajang. Tidak terlihat ada pembeli. Mungkin kebetulan saja saya lewat ketika toko itu sedang sepi, tapi pemandangan itu membuat saya bertanya-tanya, “Toko ini masih ramai nda ya?”
Lalu tanpa sengaja saya terantuk pada sebuah artikel yang bercerita tentang rontoknya satu per satu kue-kue dengan label artis itu. Di situ saya baru sadar kalau ternyata memang sudah ada beberapa brand kue artis yang sempat hits itu yang sekarang sudah tutup toko. Salah satunya kue artis milik Ricky Harun: Bosang Makassar.
Kenyataan ini menjawab pertanyaan saya (dan beberapa orang lainnya) dua tahun lalu. Berapa lama kue-kue ini akan bertahan?
Waktu itu ada beberapa jawaban yang muncul. Salah satunya ada yang bilang kalau kue-kue ini tidak akan bertahan lama. Pasalnya, beberapa brand kue artis memang rasanya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Hanya numpang tenar di nama artis saja. Kedua, kue yang melabeli diri sebagai oleh-oleh khas sebuah daerah tapi tidak memiliki akar yang kuat itu sepertinya memang ringkih. Seperti pohon, terlihat besar tapi akarnya tidak jauh menancap ke bawah. Akibatnya ketika ada angin kencang, dia bisa saja langsung rubuh. Tumbang.
Tidak seperti pohon kecil yang akarnya menancap jauh ke dalam tanah. Kelihatan kecil, tapi kuat. Angin kencang sekalipun tidak bisa membuatnya rubuh. Paling hanya bergoyang tidak tentu atau sebagian dahannya patah. Tapi tidak tumbang.
Apalagi karakter orang Bugis-Makassar itu sangat dinamis. Gampang menerima hal baru, tapi juga gampang untuk bosan.
Akar Yang Kuat.
Di antara beberapa “pohon kecil” di belantara kuliner Makassar, salah satunya yang saya kenal adalah Browcyl. Brand yang satu ini memanfaatkan kesenangan orang Sulsel akan pisang. Iya, kami orang Sulsel itu bisa dibilang penggemar pisang sejati. Ada banyak sekali panganan khas Sulsel yang bahan utamanya dari pisang. Bahkan dalam upacara pernikahan orang Bugis-Makassar, pisang harus ada dalam salah satu antaran atau erang-erang.
Pisang yang masih mengkal bisa diolah jadi sanggara’ peppe’, atau pisang goreng biasa seperti umumnya. Pisang matang diolah jadi pisang ijo atau pallu butung. Kalau sudah benar-benar matang bisa diolah jadi barongko. Tidak ada yang terbuang percuma karena semua bisa diubah menjadi pengangan. Seorang teman bahkan pernah bilang ke saya, “Kalian orang Sulsel itu memang primata sejati.” Ha-ha-ha-ha.
Nah, Browcyl ini dengan sangat cerdas memanfaatkan kecintaan orang Sulsel pada pisang dengan menghadirkan kuliner yang mengawinkan brownies dengan pisang. Jadilah brownies pisang.
Saya mengenal Iping, pendiri Browcyl sejak pertama kali dia merintis brand yang identik dengan warna kuning ini sejak sekitar tahun 2012. Kala itu kami sama-sama aktif di salah satu komunitas pejalan di kota Makassar. Iping dan beberapa anak muda di komunitas itu ternyata juga punya kejelian dan kemampuan berbisnis.
Kalau dihitung sejak pertama kali berjalan hingga tahun ini, berarti sudah tujuh tahun Browcyl hadir di kota Makassar. Sebuah perjalanan yang lumayan panjang. Berawal dari usaha rumahan yang dijajakan di mobil yang diparkir di pinggir jalan, sekarang Browcyl sudah tiga outlet. Masing-masing di Jln. Hertasning, Jln. Ratulangi dan Jln. Pettarani. Selain ketiga outlet itu Browcyl juga punya 1 mini outlet di Bumi Tamalanrea Permai, dan delapan booth yang tersebar di beberapa mall dan pertokoan di kota Makassar. Jumlah ini cukup menandakan bahwa Browcyl tidak main-main. Lumayan besar untuk ukuran kota Makassar.
Mungkin salah satu alasan kenapa Browcyl bisa terus tumbuh dan berkembang seperti sekarang adalah karena kualitas produknya. Saat ini sudah ada sembilan varian brownies pisang yang dipasarkan Browcyl, ditambah satu varian baru yang berbentuk pie. Tanpa bermaksud berlebihan, tapi jujur saya suka rasa browniesnya. Utamanya varian unti original yang tidak terlalu banyak variasinya. Rasanya sederhana, hanya gabungan antara rasa brownies dan pisang yang buat saya begitu mengena di mulut. Empuk dan tidak berlebihan.
Terakhir saya juga mencoba varian unti keju yang juga jadi salah satu varian paling laris dari Browcyl. Rasanya juga enak, kejunya tidak berlebihan dan bikin eneg. Saya bukan penggemar keju, tapi brownies unti keju dari Browcyl ini memang terasa pas buat saya. Lembut dan rasa pisang, coklat serta pisangnya seimbang.
Sebagai penggemar pisang, saya pasti menyarankan Browcyl sebagai salah satu pilihan. Bahkan saya juga sepakat kalau Browcyl bisa dijadikan salah satu oleh-oleh khas Makassar. Khas karena dia membawa kebiasaan orang Makassar yang lekat dengan pisang.
*****
Membangun sebuah brand atau usaha memang tidak mudah. Butuh kesabaran dan konsistensi yang panjang agar brand atau usaha tersebut bisa bertahan. Selain itu, akarnya juga mesti kuat. Fenomena tumbangnya kue-kue artis ini buat saya jadi salah satu bukti bagaimana sebuah usaha atau brand yang tidak berakar kuat tidak bisa bertahan lama. Hanya memanfaatkan ketenaran dan nama besar artis tentu tidak jadi jaminan kalau brand tersebut akan bertahan lama.
Browcyl mungkin belum sebesar nama artis-artis yang jualan kue itu, tapi konsistensinya selama tujuh tahun sudah memberi bukti kalau akarnya cukup kuat di kota Makassar. Dia bisa bertahan bahkan ketika kue-kue atas nama artis itu sempat begitu heboh. Memang dari sisi pengelolaan brand, Browcyl masih butuh kerja keras dan pembenahan. Tapi soal kualitas rasa, saya harus mengakuinya. Bukan hanya karena pemiliknya saya kenal, tapi memang karena dia punya kualitas. Bisa jadi salah satu pilihan oleh-oleh dari Makassar.
Dengan konsistensi dan keinginan untuk terus berinovasi, saya yakin Browcyl bisa terus membesar. Akarnya sudah cukup kuat, tinggal menjaga batangnya saja agar tetap kokoh. [dG]
Di Jogja, kue-kue artis pun sama. Sudah tidak menarik minat masyarakat. Ada si satu kue artis yang lumayan eksistensinya. Terlepas dari itu kue khas Jogja seperti Amanda tetap paling utama.
Sesuai dengan lidah orang Jogja yang suka manis-manis pakai banget ahhahahahah
Suka sekali dengan cara menulis daeng yang beropini sambil bercerita
Dua tahun lalu, aku sempat bawa materi ini jadi presentasi ditempat kuliah. Memang banyak pro-kontranya. Aku termasuk yang kontra, karena setuju dengan daeng.. Bagaimana sebuah produk yang baru ujuk ujuk mengklaim dirinya sbg oleh oleh khas suatu daerah, padahal sejarahnya gaada. Akarnya gaada.
Tapi disisi lain, yang pro bilang bahwa apapun usahanya. Kalau laris, berarti ya pelaku usahanya bagus dalam melihat peluang usaha
Ya betul sih.
Aku baru tau lho ada browcyl dari Makassar. Kayaknya kurang terdengar diluar makassar ya ? Semogaaa bisa terkenal sampe kepenjuru indonesia meskipun bukan punya artis hahaha
Fokus sama gambar brownisnya…
Bikin baper, eh laper?
Memang konsisten itu adalah kunci yang penting untuk menjalankan sebuah bisnis. Tanpa konsisten, nggak akan ada kemajuan. Yang ada malah kemunduran… Yang berpotensi jatuh atau nabrak 😀
begitulah, konsistensi pasti penting banget dalam sebuah produksi