Dia Yang Ngutang, Dia Yang Lupa


Ketika butuh, dia datang dengan bahasa sangat sopan dan menghiba. Ketika uang sudah ditransfer dia menghilang dan bahkan meminta maaf karena telat membayar pun tidak.


Sekitar bulan Februari lalu, seorang kawan mengirimkan direct message ke akun Twitter saya. Dengan bahasa sangat sopan dan penuh kerendahan hati dia memohon agar dipinjamkan uang. Katanya untuk membayar kontrakan rumahnya yang sudah jatuh tempo dan belum bisa dia bayar karena ketiadaan uang. Dia berjanji akan mengembalikan uang saya – bila saya memang meminjamkannya – bulan berikutnya. Ada uang yang dinantikannya, dan menurutnya itu bisa dia pakai untuk melunasi utang. Permintaan itu kemudian dia ulangi di pesan WhatsApp beberapa menit kemudian.

Waktu itu kebetulan saya sedang ada uang. Baru saja saya mendapatkan rejeki nomplok dari sebuah pekerjaan. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah yang diminta teman yang mengirim pesan di Twitter itu. Teman itu sendiri sudah saya kenal cukup lama. Dari lingkaran pertemanan dan kebiasaan menulis dan bloging sampai akhirnya kami kenal meski tidak terlalu akrab. Kedekatan itu cukup untuk membuat saya percaya dan meminjamkan uang ke dia. Toh bulan depan juga dia kembalikan, kata saya dalam hati. Apalagi dia benar-benar membutuhkan uang dan saya kebetulan bisa menolong.

Jadilah saya mentransfer beberapa rupiah sesuai permintaannya. Tidak sampai Rp.1 juta, tapi mendekati. Dia berterima kasih dan berjanji akan mengembalikannya seperti janjinya di direct message itu.

Beberapa waktu kemudian saya mengobrol dengan teman yang adalah temannya dia juga. Saya cerita ke teman ini kalau si teman yang itu meminjam uang ke saya karena dia kesulitan membayar kontrakan. Maksud saya sebenarnya mau membagi empati karena teman kami ini dulu termasuk orang yang cukup sukses. Tapi ternyata tanggapan si teman ini berbeda dari yang saya bayangkan.

“Aih, hati-hati ki daeng. Dia itu selalu bermasalah sama uang. Itu si Anu jadi korban,” kata si teman. Waduh, saya kaget juga mendengarnya. Kaget karena tidak menyangka kalau ternyata si teman yang meminjam uang ini punya masalah dengan kepercayaan. Dan saya potensial jadi korban berikutnya.

Sebenarnya beberapa tahun sebelumnya saya juga mendengar cerita miring tentang si teman yang meminjam uang ini dari teman yang lain. Tapi kisahnya agak berbeda, bukan soal pinjam meminjam, tapi soal pembagian fee yang tidak adil dan tidak jujur. Saya kurang tahu cerita detailnya, karena saya memang tidak tertarik menggali aib orang. Lagipula orang yang menceritakannya juga cuma setengah-setengah, tidak bermaksud untuk menggosipkan si teman ini. Jadi cerita itu berlalu begitu saja, dan baru saya ingat kembali setelah kejadian utang piutang di bulan Februari itu.

*****

Waktu berlalu dari sejak akhirnya saya meminjamkan uang ke teman itu. Bulan yang dijanjikannya pun sudah terlewat, tapi saya belum menerima notifikasi transfer sama sekali. Tidak ada pelunasan seperti yang dijanjikannya. Bahkan, tidak ada ucapan minta maaf karena dia harus ingkar janji. Tidak ada! Tidak seperti waktu dia meminjam uang, mengirim pesan dengan nada yang sangat sopan dan menghiba. Sekarang, jangankan meminta maaf karena telat membayar, menyapa pun tidak. Dia masih tetap seperti biasa di media sosial. Masih sesekali mengunggah foto dan status. Tapi tidak pernah lagi mengirimkan direct message ke akun saya.

Jujur ya, saya tidak masalah kalau dia tidak bisa membayar utang sesuai yang dia janjikan. Tapi, setidaknya tolonglah beritahu saya. Tolonglah kabari saya situasimu seperti apa. Sedang tidak ada uangkah? Atau ada kesulitan lainkah? Atau memang tidak niat membayar? Kalau tidak mau jujur, berbohonglah. Setidaknya biar saya juga merasa dihargai.

Giliran meminjam uang, sopannya minta ampun. Giliran sudah dipinjamkan, mengingat kita yang meminjamkan pun tidak. Kan tai babi namanya.

Kenapa saya tidak menagihnya saja? Waduh, begini ya. Saya itu orangnya paling malas dengan urusan menagih. Banyak skill yang saya miliki, tapi menagih utang bukan salah satunya. Bayangan saya, kita sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama tahu etika. Lagipula dia sudah menjanjikan bulan, berarti harusnya sebagai orang dewasa yang punya etika dia tahu apa yang harus dia perbuat. Sekali lagi, kalau memang belum bisa bayar ya kontaklah saya, minta maaf dan kasih alasan. Setidaknya revisi lagi janjimu, biar saya juga merasa “Oh orang ini masih perhatian. Bukan cuma pas butuh saja.”

Kalau sudah begitu bisa saja saya tersentuh dan akan bilang; Ya sudah, tidak apa-apa. Saya ikhlaskan saja, tidak usah bayar. Bisa saja karena niat baiknya mengontak saya ,maka saya jadi tersentuh dan mengikhlaskan utangnya. Tapi karena dia tidak melakukan itu, jadilah saya juga sampai sekarang tidak merasa harus mengikhlaskannya. Utang itu masih mengganjal dan pastinya akan mengganggu pertemanan kami. Setidaknya, saya sudah kehilangan respek pada dia. Apapun yang dia bilang di media sosial atau di atas panggung seminar, atau di manapun, buat saya tidak lebih dari aroma tai babi yang busuknya minta ampun. Kenapa? Karena di dunia nyata dia sudah menampakkan sifat aslinya yang tidak punya etika dan penghargaan kepada orang lain. Kepada orang yang sudah membantunya saat dia butuh.

Kepada orang yang membantunya saja dia begitu, apalagi kepada orang yang mungkin tidak punya urusan sama sekali dengan dia. Jadi yah sudahlah, orang Makassar bilang: kunilai mako! [dG]