Lebaran Kedua di Tanah Rantau

Tahun ini saya akan berlebaran sama seperti tahun lalu. Lebaran jauh dari kampung, lebaran bersama sesama perantau.

Tahun ini lebaran saya sepertinya sama seperti lebaran tahun lalu, jauh dari kampung halaman. Tahun lalu saya berlebaran di Jayapura dalam suasana pandemi. Sama sekali tidak keluar kamar kos. Bahkan untuk shalat ied. Tidak ada juga yang namanya kue lebaran, masakan lebaran, dan keluarga tempat bersilaturahim.  Beruntung ada teman dan ibu kos yang datang membawakan makanan, sekadar mengobati kerinduan akan makanan lebaran.

Tahun ini, sepertinya lebaran akan tidak jauh berbeda. Saya sedang berada di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat. Tahun ini juga masih sama seperti tahun kemarin, ada pandemi yang membatasi gerak warga Indonesia. Salah satunya adalah larangan untuk mudik yang memaksa para perantau untuk tetap bertahan di tanah rantau. Salah satunya adalah saya.

Saya harus bertahan di Manokwari, melewatkan lebaran dengan suasana yang mungkin hampir sama dengan suasana tahun lalu. Suasana yang berbeda dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya ketika dilewatkan bersama keluarga.

Lebaran Masa Kecil

Lebaran memang selalu membawa kenangan-kenangan lama, seperti genta yang bergerincing. Saya selalu ingat, lebaran zaman kecil berarti lebaran dengan baju baru. Beberapa hari sebelum lebaran, selalu ada senyum sumringah ketika orang tua mengajak kami berbelanja baju baru.

Di tahun 90-an, Makassar belum punya mal. Semua kebutuhan berbelanja pakaian masih harus didapatkan di toko-toko penjual pakaian yang banyak bertebaran. Nama-nama seperti Sejahtera 01, Harapan Baru, Akai, Barata, Daimaru, adalah nama-nama yang akrab dengan kami warga Makassar saat itu. Itulah tujuan sebagian besar warga Makassar untuk membeli pakaian, utamanya ketika Idulfitri datang.

Semua mulai berubah ketika awal 2000-an mal mulai hadir. Satu per satu mal dan pusat perbelanjaan muncul di Makassar dan menyingkirkan toko-toko pakaian yang populer zaman sebelumnya.

Lebaran juga berarti pertemuan dengan keluarga-keluarga, khususnya keluarga di kampung. Sebagian menyelipkan lembaran uang receh kepada anak-anak yang datang bersilaturahim. Wajah-wajah riang terpampang di wajah anak-anak itu, keriangan paripurna sekali dalam setahun.

Ada masa ketika lebaran itu kami sempurnakan dengan menyaksikan film-film Warkop DKI di bioskop. Kami menyebutnya sebagai “film Dono”. Biasanya itu terjadi di hari kedua Idulfitri. Berbekal uang yang didapatkan sehari sebelumnya saat berlebaran, kami anak-anak kecil itu menyambangi bioskop, menonton film Warkop DKI (dan belakangan film kolosal seperti Saur Sepuh), berjejalan bersama puluhan bahkan mungkin ratusan penonton lain.

Itulah lebaran masa kecil kami di Makassar.

*****

Kenangan-kenangan lebaran masa kecil itu selalu datang setiap kali lebaran tiba. Entah kenapa, mungkin karena itulah masa berlebaran terbaik yang pernang singgah di ingatan. Lebaran setelahnya tidak terlalu tersimpan di kepala seperti lebaran masa kecil. Kenangan-kenangan itulah yang kami obrolkan di podcast Cerita Makassar pekan lalu.

Apapun itu, bagaimanapun suasananya, Idulfitri atau lebaran adalah waktu yang pas untuk saling bermaaf-maafan. Saling mendoakan yang terbaik, meski tidak selalu harus berdekatan. Selamat Idulfitri kawan-kawan semua, mohon maaf lahir dan batin dan semoga kita semua bisa bertemu Ramadan tahun depan. [dG]