Dulu, Kami Lebaran Bersama Dono

Salah satu poster film Warkop DKI (sumber: wikipedia)
Salah satu poster film Warkop DKI (sumber: wikipedia)

Dono bersama Kasino dan Indro pernah jadi bagian lebaran kami, dulu. Waktu itu bioskop masih banyak, bukan cuma jaringan 21 saja.

Hari kedua lebaran. Dengan baju baru yang dibelikan Ibu saya sudah bersiap di depan rumah seorang kawan. Baju baru itu dibeli ibu di Akai, atau Bharata? Saya lupa. Hari itu saya dan beberapa kawan bersiap menuju pusat kota, tepatnya ke bioskop Paramount di Jl. Bulusaraung. Hari kedua lebaran adalah hari penayangan film Warkop DKI. Saya lupa judulnya apa, aslinya saya memang tidak pernah terlalu peduli judul film Warkop, yang jelas buat saya semuanya lucu.

Bioskop yang akan kami tuju adalah salah satu bioskop kelas B. Paramount adalah salah satu bioskop yang termasuk dalam jaringan milik seorang pengusaha keturunan India. Dua bioskop lainnya adalah bioskop Dewi yang khusus memutar film India dan sesekali film Indonesia serta satu bioskop bermana Jaya yang memutar film-film Amerika rate B.

Saya masih SMP kala itu. Saya tinggal di pinggiran kota, daerah sub urban yang memerlukan waktu sekitar 30 menit ke pusat kota. Lama menunggu, seorang kawan yang lebih tua datang. Dialah yang akan jadi pendamping kami karena anak-anak ingusan ini belum pernah ke pusat kota sendirian. Harus dikawal teman yang lebih dewasa.

Di kantong sudah ada beberapa lembaran uang Rp.1.000,- hasil berlebaran sehari sebelumnya. Kerabat yang lebih tua dan sudah bekerja biasanya menyelipkan lembaran-lembaran rupiah pada kami anak-anak yang datang menyalaminya. Uang itulah yang akan kami habiskan keesokan harinya. Cukuplah karena harga karcisnya hanya Rp. 1.000,-

Hari itu kami berhasil berlebaran bersama Dono, Kasino dan Indro meski harus berdesak-desakan dengan ratusan penonton lainnya. Seluruh kursi sepertinya penuh, bahkan adik seorang kawan yang masih kecil terpaksa dipangku sepanjang pemutaran film.

Dulu, Warkop DKI memang menyiapkan strategi meluncurkan film mereka tepat di hari Lebaran. Film-film itulah yang kemudian menemani warga republik ini berlebaran, utamanya di kota yang tidak punya banyak pilihan tempat hiburan. Makassar (kala itu) adalah salah satunya.

Sebelum 21 masuk ke Makassar, kota ini punya banyak bioskop. Mulai dari bioskop kelas A yang nyaman dan menyerupai bioskop jaman sekarang sampai bioskop kelas C yang hanya berbekal kursi rotan dengan penataan yang landai. Pendingin ruangan dan suara dolby stereo tentu tidak ada dalam kamus bioskop C, apalagi kelas D. Warga kelas bawah yang hidup pas-pasanpun tetap punya kesempatan menikmati hiburan a la bioskop meski tentu kualitasnya berbeda.

Waktu yang menggelinding mengubah segalanya. 21 masuk ke Makassar dan pelan-pelan mematikan bioskop-bioskop yang lain. Tuduhan monopoli distribusi film yang ditudingkan ke mereka selalu bisa ditampik hingga akhirnya benar-benar tidak ada satupun bioskop lain yang tersisa di Makassar. Film Indonesiapun ikut masuk liang kubur di akhir periode 90an, termasuk trio Warkop DKI.

Saya dan kawan-kawan juga mulai beranjak dewasa dan mulai terseret arus yang bernama modernisasi. Mendadak film Warkop yang kadang masih datang sesekali terasa begitu ketinggalan jaman dan tidak gaul lagi. Komedi yang dulu membuat kami terpingkal-pingkal berubah jadi komedi yang tidak sanggup memancing syaraf ketawa kami. Hiburan lainpun makin bertambah, bioskop bukan satu-satunya pilihan, apalagi karena pilihannya hanya 21 yang harganya agak jauh di atas jangkauan kami anak-anak remaja dari daerah sub urban.

Masa-masa lebaran bersama Dono Kasino Indropun perlahan tinggal cerita. Kami tidak pernah lagi membuat janji bertemu di hari lebaran kedua dan berbondong-bondong menuju bioskop untuk menemui ketiga pelawak legendaris itu. Semua sudah berubah.

Sebentar lagi lebaran datang, Dono Kasino dan Indro masih hadir menemani lebaran kita. Bedanya, kali ini mereka yang datang ke rumah lewat layar kaca di ruang keluarga. Bukan kami yang mendatangi bioskop. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memutar kembali kenangan bersama mereka bertahun-tahun yang lalu. Tahun ketika lebaran masih lebih naif dan tahun ketika bioskop masih sangat banyak di Makassar. [dG]