Habis Pemilu, Terbitlah…
Pemilu memang sudah lewat. Kecurangan pun masih tetap didengungkan. Tapi sekali lagi saya tidak berharap banyak.
Maafkan kalau postingan ini kembali membahas tentang pemilu yang baru berlalu bulan lalu. Postingan sebelumnya sudah tentang pemilu, tentang bagaimana saya kembali membasahi ujung jari dengan tinta pemilu. Sekarang, saya masih akan menulis tentang pemilu, tapi tentang apa yang saya rasakan setelah pemilu berlalu. Toh sampai hari ini pun pembahasan tentang pemilu belum benar-benar selesai. Pengumuman resmi dari KPU pun belum keluar, jadi pemilu masih bisa dianggap berjalan.
Curang Dari Dulu
Kata “curang” sepertinya sudah jadi jodoh untuk kata pemilu di Indonesia. Sejak tahun 2004 ketika pertama kalinya pemilihan presiden langsung digelar, selalu saja kata itu mengikuti kata pemilu. Saya sudah samar-samar mengingat pemilu tahun itu, tapi yang saya ingat adalah bagaimana orang-orang semakin mengukuhkan adanya kecurangan pemilu ketika mantan ketua KPU waktu itu – Anas Urbaningrum – masuk Partai Demokrat setelah berhenti dari KPU.
Saya baru benar-benar ingat soal tudingan kecurangan di tahun 2009, ketika Susilo Bambang Yudhyono maju menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Di masa itu, saya ingat betul bagaimana narasi kecurangan pemilu berembus. Ada yang menuding presiden SBY mengerahkan kuasanya sebagai presiden aktif untuk kembali memenangkan dirinya. Saat itu ada tiga pasang calon yang maju. Selain SBY-Budiono, ada juga JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo.
Dari awal sudah ada embusan narasi kalau pemilu akan diusahakan satu putaran saja, dengan demikian SBY berusaha sekuat mungkin untuk memenangkan dirinya lewat satu putaran. Pada akhirnya memang SBY-Budiono menang satu putaran, dan kecurangan pemilu bedengung. Tidak ada perkembangan lain dari tudingan itu. SBY-Budiono dinobatkan jadi presiden dan wakil presiden.
Lima tahun kemudian, narasi kecurangan pemilu kembali hadir meski rasanya tidak terlalu ramai. Setidaknya tidak seramai lima tahun kemudian ketika Joko Widodo kembali maju untuk periode kedua. Lawannya, Prabowo Subianto menuding pemilu curang, bahkan sampai berlanjut ke Mahkamah Konstitusi.
Pada akhirnya memang tidak ada perubahan berarti. Tudingan tinggal tudingan, MK pun tidak mengubah hasil pemilu tahun itu. Tudingan tinggallah tudingan.
Sekarang Masih Curang
Pemilu 2024 pun tidak lepas dari tudingan kecurangan. Sejak awal narasi ini masih sudah muncul. Mulai dari putusan MK yang membuat Gibran boleh maju sebagai calon wakil presiden. Putusan yang sangat penuh dengan conflict of interest karena ketua MK adalah pamannya si Gibran. Belakangan juga diputuskan bahwa si Paman melanggar etika. Tapi keputusannya tidak bisa diubah, Gibran sang putra mahkota maju terus.
Tudingan lalu berlanjut. Dalam catatan jurnalis Tempo ada pengerahan besar-besaran dari pemerintah untuk memuluskan jalan pasangan Prabowo-Gibran menjadi pemenang lewat satu putaran. Belum lagi penggunaan bantuan sosial sebagai pelicin.
Tapi, semua tinggal tudingan. Pemilu jalan terus, tidak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan setelah pemilu pun, tudingan penggelembungan suara yang muncul tetap hanya jadi angin lalu. Mereka yang ada di pihak pemenang bahkan berucap, “Kalah ya kalah saja. Tidak usah banyak alasan.”
Tinggallah pertanyaan, kenapa setiap pemilu harus ada narasi kecurangan? Segitu tidak percayanyakah kita pada penyelenggara pemilu atau bahkan pada pemerintah? Kenapa setiap pemilu harus ada kata “curang” yang mengikut?
Siapa yang bisa menjawabnya? Entahlah.
Lalu, Sekarang Apa?
Sudahlah, saya pun tidak bisa berharap banyak pada semua tindak lanjut dari tuduhan kecurangan pemilu itu. Hak angket DPR masih digagas, atau langkah lain pun mungkin sedang disiapkan. Tapi buat saya sih tidak ada harapan. Politisi kita kadang hanya garang di depan, ketika diberi kue yang manis biasanya langsung kalem. Bahkan yang lima tahun lalu berteriak-teriak menjadi korban kecurangan pun ternyata jadi kalem begitu mendapatkan jabatan menteri. Jadi tidak usah berharap banyak soal langkah selanjutnya dari tudingan kecurangan itu.
Saya sih fokus kepada apa yang akan terjadi besok ketika pemerintahan baru terbentuk. Setidaknya sampai saat ini kita sudah tahu siapa yang akan menjadi presiden dan wakilnya. Lebih baik mengutak-atik beragam kemungkinan apa yang akan terjadi di bawah pemerintahan baru nanti.
Namanya mungkin pemerintahan baru, tapi saya koq merasa tidak akan banyak berubah dari pemerintahan yang sekarang. Toh presiden yang sekarang juga banyak ikut campur sejak awal, bahkan jelas-jelas menitipkan anak tersayang ke pemerintahan yang akan datang. Judul besarnya tentu saja keberlanjutan. Butuh pihak yang bisa menjamin keberlanjutan, bukan?
Saya banyak berkumpul dan bersinggungan dengan orang-orang yang sangat optimis bahwa pemerintahan yang akan datang di bawah presiden baru akan terasa lebih berat. Mengingat latar belakang si bapak yang tampaknya akan dilantik jadi presiden, dari cerita masa lalunya, sampai kabar-kabar soal sifatnya maka sepertinya optimisme itu ada benarnya. Belum lagi ketika melihat bagaimana prosesnya berjalan dari awal hingga akhirnya jadi pemenang pemilu. Semakin sempurna ketika melihat bagaimana partai-partai di Indonesia tidak bisa diharapkan.
Siap-siap saja, sambil berharap optimisme itu tidak sepenuhnya benar.
*****
“Siapapun yang jadi presiden, kita tetap harus kerja. Cari uang sendiri,” kata orang-orang. Benar sih, tapi jangan lupa bahwa semua kehidupan kita bergantung pada keputusan-keputusan politik para pemimpin. Kita boleh tidak peduli pada politik, tapi politik tetap memengaruhi kehidupan kita bukan?
Pemilu memang sudah lewat. Kecurangan pun masih tetap didengungkan. Tapi sekali lagi saya tidak berharap banyak. Tidak banyak hal yang bisa diharapkan dari hasil pemilu sekarang karena kondisi dunia politik kita pun yah begitulah. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah mempersiapkan diri untuk semua hal terburuk yang mungkin terjadi. Apapun itu. [dG]