Belajar Otoetnografi

Kelas perdana otoetnografi
Kelas perdana otoetnografi

Dalam tiga pekan belakangan ini ada satu kesibukan yang coba dijalani teman-teman pegiat Kelas Menulis Kepo.

Kami sedang belajar tentang otoetnografi. Sebuah cabang penelitian yang menggunakan diri sendiri sebagai subjek utama penelitian tersebut.  Otoetnografi atau bahasa Inggrisnya autoetnography memang belum terlalu populer. Cabang pengetahuan ini baru mulai marak sekira 15 tahun belakangan.

Menurut kak Dandy Sirimorok- peneliti dan penulis yang membimbing kami – otoetnografi adalah semacam kritikan untuk etnografi. Etnografi memang dilakukan oleh “orang luar” terhadap sebuah komunitas dalam rentang waktu yang lama. Meski sebuah penelitian etnografi dibuat dalam waktu yang sangat lama dan si peneliti benar-benar sudah “going native” tapi tetap saja, ada hal-hal yang terlewatkan dan mungkin tidak sesuai dengan realitas.

Karena itulah, otoetnografi kemudian muncul sebagai kritikan. Istilahnya, kalau memang Anda merasa penelitian itu tidak sesuai realita, kenapa Anda tidak melakukannya sendiri? Toh hasilnya pasti akan lebih sesuai dengan kenyataan karena Anda sendiri yang mengalaminya. Jadi singkatnya, otoetnografi adalah sebuah cabang penelitian yang menempatkan objek sebagai peneliti sekaligus.

Bagaimana otoetnografi dilakukan? Menurut kak Dandy, otoetnografi harusnya dilakukan berdasarkan ingatan dan catatan harian yang dibuat dalam selang waktu yang panjang. Dalam catatan harian yang panjang itu, kita akan menemukan sebuah pola yang menarik. Pola itulah yang akan dituliskan. Namun, sebelum memulai kita harus menetapkan dulu tema apa yang akan kita teliti atau kita tuliskan. Catatan harian yang dibuat akan disesuaikan dengan tema tersebut.

Otoetnografi juga selalu berhubungan dengan sebuah budaya yang lebih besar yang hidup di sekitar kita. Contohnya ya, saya sedang menyusun tulisan otoetnografi tentang perkembangan internet berdasarkan pengalaman saya sejak mengenal internet belasan tahun lalu hingga sekarang. Dari catatan-catatan itu perlahan akan terlihat bagaimana budaya yang terjadi di sekitar saya berkaitan dengan internet. Bagaimana orang-orang di kota perlahan mulai menjadi pengguna internet, lalu pelan-pelan malah menjadi ketergantungan dan bahkan hidup dari internet.

Sementara itu Lelaki Bugis mengambil topik tentang rambut gondrong. Kebetulan dia memang sudah belasan tahun bertahan dengan rambut keritingnya yang panjang. Lewat tulisan otoetnografinya, dia mencoba meneliti tentang budaya di sekitarnya yang berkaitan dengan penampilan gondrong seorang pria. Dari tulisannya nanti mungkin kita bisa melihat bagaimana pandangan orang tentang pria berambut gondrong, itu juga bagian dari sebuah budaya.

Kelebihan dari otoetnografi adalah sebuah pandangan yang lebih jujur dan detail karena penulisnya adalah sekaligus juga yang menjalaninya. Dua hal itu yang dianggap paling penting; jujur dan detail. Ini juga yang jadi ganjalan buat kami, karena menulis otoetnografi bisa saja malah membuat penulisnya terjerembab menjadi ke jurang narsisme. Tulisan akan menjadi sangat self centered atau terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri.

Kiat dari kak Dandy adalah, kita harus pandai memilah mana bagian yang berhubungan dengan budaya yang ingin kita tuliskan, dan mana yang tidak. Tanpa kepekaan memilah maka tulisan yang tadinya dimaksudkan sebagai tulisan otoetnografi bisa saja akan menjadi sekadar memoar yang kadang penuh dengan kalimat narsisme.

*****

Belajar otoetnografi sangat menyenangkan. Tiga pekan belajar (dan belum selesai juga) membuat saya harus banyak mengenang kembali kejadian-kejadian penting dalam hidup yang berkaitan dengan internet. Tulisan saya memang belum selesai, tapi setidaknya saya sudah bisa melihat sebuah pola perkembangan pengguna dan penggunaan internet di Makassar dalam rentang hampir 20 tahun.

Lewat pelajaran ini juga saya seperti belajar lagi menulis dari nol. Ada beberapa kesalahan fatal yang harus saya perbaiki. Meneliti diri sendiri memang sulit, terkadang ada sesuatu yang sudah sangat dekat dengan kita sehingga tanpa sadar kita menganggap orang lain sudah pasti tahu tentangnya. Itu membuat kita lupa untuk menjelaskannya, padahal kan belum tentu orang sudah tahu hanya karena itu sudah biasa kita lalui atau lakukan.

Saya jadi membayangkan, andai saja lebih banyak orang yang menekuni otoetnografi ini, tentu referensi kita tentang budaya populer akan semakin banyak. Toh budaya di sekitar kita terus berubah, dan itu membuat banyak sekali hal-hal baru yang seharusnya tercatat dan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Otoetnografi memang masih mendapatkan banyak kritikan karena dianggap tidak memenuhi kaidah resmi penelitian etnografi. Tapi sebagai sebuah metode penelitian sosial, otoetnografi tetap dianggap penting dan bisa menjadi rujukan.

Tapi ya itu, belajar dan melakoni otoetnografi memang tidak mudah. Butuh ketabahan, kesabaran dan konsistensi. [dG]