Apa Agamamu? Apa Etnismu?

Perbedaan
Perbedaan

Seberapa sering kita mempertanyakan agama seseorang? Atau etnisnya? Pentingkah pertanyaan itu?

Saya lahir dari keluarga yang kolot dan termasuk konservatif. Sejak kecil tanpa sadar saya sudah dicekoki ajaran untuk tidak terlalu mendekat pada mereka yang beragama lain, utamanya kaum nasrani. Sebenarnya bukan melarang, tapi sebisa mungkin tidak menjalin hubungan yang dekat. Semasa SD saya punya 2 teman beragama nasrani, lumayan dekat tapi tetap saja saya merasa tidak nyaman ketika berkunjung ke rumah mereka dan menemukan beragam asesoris agama mereka di sekujur ruangan.

Terhadap etnis tertentupun seperti itu, tapi saya rasa itu karena memang sebagian besar orang Indonesia (waktu itu) masih belum merasa nyaman bergaul dengan orang dari etnis Tionghoa. Seingat saya seumur hidup saya hanya punya satu teman dekat dari etnis Tionghoa (tidak termasuk yang sekarang *ehem). Beragam anggapan buruk tentang orang-orang etnis Tionghoa ditanamkan pada kami anak-anak kecil dari kampung ini. Entah karena anggapan itu atau bukan, yang jelas saya juga merasa kurang nyaman bergaul dengan etnis Tionghoa meski tidak pernah juga bermaksud ofensif atau membenci mereka.

Sebenarnya bukan hanya etnis Tionghoa, kami yang orang Makassar juga sering diminta untuk tidak menjalin hubungan dekat (apalagi hubungan asmara) dengan mereka dari etnis Bugis. Beragam anggapan buruk juga ditanamkan di kepala tentang mereka. Saya juga tahu bahwa beberapa orang Bugis juga menanamkan anggapan serupa terhadap orang Makassar. Saya pernah menjalin hubungan dengan gadis Bugis, dan dari awal keluarganya memang tidak senang karena darah Makassar saya. Sejarah tentang ini sangat panjang, merujuk pada pertikaian kerajaan Gowa (yang mewakili suku Makassar) dan kerajaan Bone (mewakili suku Bugis) ratusan tahun silam.

Kemudian waktu berjalan. Saya makin sering bertemu dengan orang-orang dari latar berbeda, etnis berbeda dan tentu saja agama berbeda. Perlahan persepsi saya tentang suku dan agama seperti yang ditanamkan sejak kecilpun ikut berubah. Beda agama bukan berarti alasan untuk tidak bisa hidup berdampingan. Beda etnis bukan alasan untuk selalu beradu otot.

Pada satu sisi saya meyakini bahwa semua agama mebawa kebaikan, semua agama membawa ajaran kedamaian, tentang bagaimana kita sesama mahluk ini bisa saling menghargai, bisa saling menerima dan bisa saling berdamai. Soal apakah agama yang dianut itu benar, saya kembalikan kepada masing-masing orang karena meskipun saya yakin agama saya benar toh saya juga bukan penganut agama yang taat.

Soal etnis juga sama. Bukan cerita baru kalau kita sering dicekoki persepsi orang tua bahwa ada etnis tertentu dengan sifat bawaan yang buruk. Orang Batak itu begini, orang Makassar itu begitu, jangan percaya sama orang Timor, hati-hati dengan orang Papua, orang Jawa itu tidak bisa begini dan seterusnya dan seterusnya. Orang-orang hidup dengan persepsi mereka sendiri yang mereka dapat dari orang-orang tua mereka, yang mereka telan langsung dari tangan orang tua mereka.

Tanpa sadar ada garis batas imajiner dalam kehidupan kita, garis batas yang dibuat oleh mereka yang lebih dulu lahir dari kita. Agama, etnis, bahasa, dan entah apalagi. Kita dibuat nyaman berada dalam dalam lingkaran dengan garis batas imajiner itu. Bergaul, berinteraksi dan berdekatan dengan mereka yang sama-sama nyaman. Perlahan-lahan kita menganggap dunia di luar garis batas itu tidak nyaman lagi, mereka yang punya garis batas berbeda adalah musuh yang sewaktu-waktu bisa menerobos zona nyaman kita, melangkahi garis batas kita.

Ketika kita terganggu, maka gesekan terjadi. Agama, suku, ras, etnis, bahasa, jadi alasan untuk menekan orang lain atau membalas tekanan dari orang lain. Benturan jadi pilihan utama, nyawa jadi tidak berharga. Semua berawal dari perbedaan.

Semasa kecil saya jarang kemana-mana, jarang bergaul dengan orang yang berbeda. Beranjak dewasa saya mulai keluar dari zona nyaman saya sendiri. Mulai memahami kalau di luar perbedaan itu selalu ada kesamaan. Sama-sama menginginkan perdamaian, sama-sama menginginkan kebersamaan dan mungkin juga sama-sama punya persepsi buruk dengan orang dari agama atau etnis berbeda. Bertemu dan bersentuhan dengan banyak orang membuat saya paham kalau tidak semua yang diwariskan orang tua itu benar, tidak semua yang dibentuk oleh lingkungan itu bisa ditelan.

Sekarang saya malah berpikir, pentingkah kita tahu agama orang lain? Pentingkah kita tahu etnis orang lain? Agama adalah urusan tiap orang dengan penciptanya, buat saya sepanjang mereka punya hati yang tulus kepada orang lain tak menjadi masalah. Etnis adalah sebuah garis batas yang tidak bisa kita tolak. Dia melekat di diri kita detik pertama sejak kita lahir. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dari etnis tertentu yang mungkin menurut kita lebih baik.

Saya percaya semua orang terlahir dengan beragam kebaikan, waktulah yang menguji apakah kebaikan itu akan jadi hal utama atau malah terganti dengan keburukan.

Saya ingat satu quote dari film Italian Job: I trust everyone, I just don’t trust the devil inside them. [dG]