Menengok Kapal Seharga 6,5 Milyar

kapal pesiar kayu
Kapal Lamima

Kapal pesiar kayu seharga 6,5M dibuat di Bulukumba. Negeri para pelaut dan pencipta kapal terbaik Indonesia.

” Kira-kira harga kapal pesiar kayu itu berapa ya? Sampai 100 juta ndak?” Tanya Khie. Saya mencoba menebak sejenak sebelum menjawab, ” Mungkin malah di atas 200 juta.”

Pagi itu saya dan teman-teman sedang berada di salah satu tempat pembuatan kapal di Kabupaten Bulukumba, sekitar 200 km sebelah selatan kota Makassar. Jarum jam belum menyentuh angka tujuh tapi matahari sudah menyengat. Semilir angin laut dan debur ombak yang lirih menemani kami pagi itu.

Sebuah kapal kayu pesiar kayu megah berdiri tak jauh dari bibir pantai. Tingginya mungkin sekitar 50 meter lebih. Terlihat kokoh meski perancah masih berdiri di sekitarnya. Di sebelahnya ada dua kapal lagi, meski lebih kecil. Sementara di depannya ada sebuah kapal yang nampak sudah jadi meski belum sampai diperhalus dan dicat. Kapal yang di depan sudah masuk ke laut, bagian bawahnya sudah tenggelam dan dijilati ombak.

Saya dan teman-teman awalnya hanya berfoto di depan kapal pesiar kayu besar itu ketika seorang lelaki menyapa kami dari atas kapal. Dia menawarkan jasa banana boat. Ada yang tertarik dengan tawaran Rp. 20 ribu per orang. Sapaan si bapak tidak disia-siakan oleh Lelaki Bugis.

” Pak, boleh naik ke kapal?” Tanyanya. Si bapak memperbolehkan, maka dengan bergegas Lelaki Bugis menuju sebuah tangga sederhana yang ada di samping kapal. Sayapun mengikutinya dengan semangat. Rasanya memang penasaran ingin melihat bagaimana bentuk kapal yang masih dalam pengerjaan.

Tangganya hanya berbentuk papan yang dipasang menanjak dengan sudut kemiringan sekitar 30 derajat. Di sisi luarnya ada semacam railing tangga untuk berpegangan. Bagi yang tak biasa dengan ketinggian, tangga darurat ini memang cukup menyeramkan.

Setiba di atas saya terperangah. Kapal pesiar kayu ini sungguh besar! Proses pengerjaannya sudah lebih dari 50%, ada lantai yang terbuat dari bahan multpleks tebal. Di bagian belakang sudah ada ruangan yang sudah jadi, tinggal menunggu pengerjaan akhir.

Lelaki yang tadi mempersilakan kami naik namanya pak Rajab. Dia salah satu pekerja di kapal itu. Kapal pesiar kayu itu bernama Lamima pesanan seorang warga Australia. Lebarnya 50 m dengan panjang sekitar 120 m. Saya menebak dari gambar kerja yang ada di kapal itu. Ketika saya bertanya berapa harganya, saya terperanjat.

” Enam setengah milyar.” Jawab pak Rajab.

Gila!, itu berarti 300 kali lebih besar dari perkiraan saya. Teman-teman yang lain juga menggeleng-geleng sambil berdecak ketika mendengar angka 6,5 milyar itu.

Interior Lamima

Kata pak Rajab ada 15 orang yang bekerja membuat kapal itu. Kapal itu dikerjakan dalam waktu 9 bulan, meski ketika turun dan bertanya kepada pekerja yang lain saya mendapatkan jawaban yang berbeda. Kapal itu sudah dikerjakan dalam waktu setahun lebih. Entah mana yang benar.

Orang Bulukumba, utamanya daerah Tanaberu memang terkenal sebagai pembuat kapal yang luar biasa. Kebiasaan ini sudah mereka kerjakan secara turun temurun. Kapal buatan mereka yang paling terkenal adalah jenis phinisi yang juga diambil sebagai salah satu unsur dalam lambang kota Makassar.

Phinisi adalah jenis perahu tradisional paling besar. Mempunyai dua layar besar, beberapa layar kecil yang terletak di sebelah kanan atas tiang layar dan dua buah kemudi. Pada haluan depan terdapat tiga buah layar segitiga panjang berjejer, paling depan disebut sombala tarengke dan dua lainnya disebut sombala coccoro.

Perahu lain yang lebih kecil dari phinisi adalah paddewakkang yang dipercaya lahir lebih dulu dari phinisi. Bahan utamanya adalah kayu besi yang dulu bisa didapatkan dari daerah sekitar Bulukumba, namun seiring dengan perkembangan jaman bahan baku tersebut makin sulit didapatkan sehingga para perajin perahu kemudian harus mendatangkan bahan baku utama dari daerah lain seperti Sulawesi Tenggara dan Kalimantan.

Dalam epos La Galigo diceritakan tentang Sawerigading yang mengalami musibah. Dalam pelayarannya, kapal tersebut pecah dihantam ombak. Pecahannya itulah yang berserakan dan terdampar di pantai sepanjang kabupaten Bulukumba. Konon itulah kenapa beberapa daerah di Bulukumba terkenal sebagai sentra penghasil kapal kayu serta tentu saja sebagai penghasil pelaut yang tangguh. Bulukumba sendiri dijuluki sebagai butta panrita lopi atau tanah pembuat perahu/kapal kayu.

Perahu-perahu dan kapal kayu buatan orang Bulukumba sudah tersohor sampai ke seluruh dunia, tidak heran kalau banyak orang asing yang memesan kapal dari tanah Bulukumba. Tujuan utama mereka adalah membuat kapal wisata, ada yang mempergunakannya untuk keperluan pribadi namun ada juga yang menggunakannya untuk dijadikan kapal pesiar dan dikomersilkan.

Setelah puas berfoto dan menjelajah sebagian isi kapal pesiar kayu itu kami lalu beranjak turun kembali dengan meniti tangga darurat di sisi kanan kapal. Meski hanya sebentar dan tidak berlayar tapi kami sudah bisa menikmati bagaimana rasanya naik ke atas kapal seharga 6,5 milyar yang merupakan hasil kreasi orang Bulukumba.

Bulukumba terkenal dengan pantaiya. Salah satunya adalah pantai ini

Mungkin suatu saat nanti kami bisa berlayar dengan salah satu kapal buatan orang Bulukumba yang harganya bermilyar-milyar itu. Semoga saja.

[dG]