Melihat Wali Kota Bekerja
Melihat bagaimana wali kota Makassar menggelar sebuah kegiatan dan merespon kritik atas kegiatan tersebut.
Beberapa hari yang lalu ada satu topik yang lagi ramai di antara warga net Makassar. Semua berawal dari rencana Pemerintah Kota Makassar untuk menjemput bola, mendatangi warga di tiap-tiap rumah untuk mengecek apakah penghuni ada yang mengidap COVID-19 atau tidak. Pemerintah kota Makassar menamakannya tim Detektor COVID. Sebuah ide yang bagus. Cara ini memungkinkan petugas mendeteksi siapa saja yang mengidap COVID-19 supaya bisa cepat ditangani.
Tapi, niat baik dengan pelaksanaan yang tidak tepat bisa jadi justru memberi efek sebaliknya.
Praktik yang Tidak Tepat
Tim Detektor COVID mulai turun ke jalan, masuk ke rumah warga satu per satu. Persis seperti yang direncanakan. Harusnya ini sesuai dengan rencana, dan hasilnya juga bisa sesuai dengan rencana.
Tapi sayangnya, hal ini berjalan tidak sesuai rencana. Beberapa warga mulai mengutarakan kekuatiran mereka. Para petugas mendatangi rumah demi rumah, bertemu dengan banyak orang, bersentuhan atau berinteraksi dengan banyak orang. Dalam beberapa tangkapan foto juga terlihat kalau sebagian petugas tidak mengikuti protokol kesehatan dengan baik. Salah satu contohnya, masker tidak dipasang di mulut dan hidung tapi malah di dagu.
“Kalau mereka saja tidak mematuhi protokol kesehatan seperti itu, bagaimana kita bisa percaya mereka tidak menyebarkan virus?” Begitu kekuatiran yang muncul.
Itu baru satu kekuatiran, masih ada kekuatiran yang lain. Alat-alat yang digunakan para petugas Detektor COVID itu belum tentu steril, apalagi ketika digunakan pada orang yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan bagaimana tingginya risiko yang harus dihadapi oleh warga yang rumahnya didatangi petugas Detektor COVID.
Sebenarnya apa yang dilakukan petugas itu untuk mendeteksi warga?
Menurut kesaksian beberapa warga yang didatangi, para petugas itu selain mendata warga juga melakukan pengukuran suhu dan tekanan darah. Hanya itu. Tidak ada swab test antigen untuk mengetahui keberadaan virus di tubuh orang. Deteksinya hanya itu, tidak spesifik mendeteksi keberadaan virus COVID-19 di tubuh orang.
Jadi pantas saja kalau program ini dipertanyakan orang-orang.
Sudah tujuannya tidak jelas, pelaksanaannya pun berisiko. Alih-alih mendapatkan layanan untuk mengetahui kita kena COVID-19 atau tidak, kita justru beresiko mendapatkan virus dari orang-orang yang masuk ke rumah kita, orang-orang yang sebelumnya sudah bertemu dengan banyak orang lainnya.
Kritikan Dibalas
Kritikan warga mulai ramai di media sosial. Baik di Twitter, maupun di Instagram. Beberapa akun besar dengan pengikut banyak ikut meramaikan kritikan tersebut. Inti kritikan adalah tentang pelaksanaan di lapangan yang justru membuat warga kuatir.
Pemerintah kota Makassar pun mulai seperti merasa terusik melihat banyaknya kritikan di media sosial, maupun penolakan di lapangan. Beberapa warga juga bilang kalau mereka jelas-jelas menolak petugas Detektor COVID ke rumah mereka. Alasannya karena kekuatiran di atas tadi.
Kritikan dan penolakan itu membuat Pemerintah Kota Makassar bereaksi. Lewat beberapa akun dinas kota, muncullah beberapa poster digital. Salah satunya yang sempat ramai adalah poster dengan gambar dua orang petugas Detektor COVID ditambah dengan tulisan: KAMI PAHAM, KARENA ITU KAMI BERGERAK. KALIAN TAK PAHAM, KARENA ITU KALIAN HANYA BICARA.
Poster ini langsung mendapatkan reaksi dari warga.
Sebagai orang yang belakangan bekerja di bidang komunikasi, saya juga langsung merasa ada yang tidak tepat dari poster tersebut.
Pertama, sangat terasa ada jarak yang tercipta karena relasi kuasa. Ada kata “KAMI” dan “KALIAN” yang membedakan antara mereka yang punya kuasa dan jadi sasaran kritikan dengan mereka yang tidak punya kuasa dan jadi pelaku kritik.
Kedua, ada kesan pembelaan diri yang sangat terasa dari kalimat itu. Membela diri memang perlu, tapi memilih kata-kata yang tepat adalah keharusan. Kata yang dipilih di poster tersebut justru memberi kesan orang yang sombong yang sedang membela diri. Mereka merasa paling paham, dan mereka yang mengkritik adalah orang-orang yang tidak paham.
Sebuah balasan kritikan yang menurut saya kurang bijak. Bukan hanya menurut saya, tapi banyak orang yang lain. Buktinya, postingan di Instagram itu kemudian dikomentari banyak orang dengan nada tidak sedap. Pada akhirnya, postingan itu memang dihapus.
Bagaimana Seharusnya?
Saya bukan pakar komunikasi, hanya kebetulan beberapa tahun ini pekerjaan saya berhubungan dengan komunikasi. Khususnya berhubungan dengan pelaksana pemerintahan. Dari pengalaman yang tidak seberapa ini saya bisa bilang kalau Pemkot Makassar seharusnya bisa mencari cara lain yang lebih nyaman untuk membalas kritikan.
Kritik adalah bagian dari sebuah mekanisme monitoring. Kritik bisa menjadi masukan yang sangat berguna, kalau memang kita siap untuk dikritik. Jadi tentu sebuah pilihan tidak tepat untuk merasa kalau mereka yang mengkritik itu adalah para haters, apalagi merasa kalau kita yang paling benar dan orang yang berseberangan itu salah.
Dalam pandangan saya, Pemkot Makassar melakukan blunder dalam hal komunikasi. Entah kenapa, mereka tidak memilih cara yang lebih ramah untuk menanggapi kritikan tersebut. Ini sebenarnya bukan kali pertama. Sejak masa pertama pemerintahan pak Danny Pomanto pun beberapa kali wali kota melakukan blunder yang sama.
Salah satu yang saya ingat adalah ketika Makassar sempat ramai dengan berita begal. Keramaian ini merembet ke media sosial. Banyak warga yang mengeluhkan kondisi kota Makassar waktu itu yang rasanya sedang tidak baik-baik saja. Keresahan warga net Makassar itu ramai dengan tagar #MakassarTidakAman.
Wali kota Makassar waktu itu merespon dengan cara yang kurang bijak, menurut saya. Dalam pernyataannya Danny Pomanto menyebut netizen Makassar sebagai provokator karena menyebarkan dan menyebabkan tagar #MakassarTidakAman menjadi trending topic di Indonesia. Menurut walikota, tagar itu membuat wajah Makassar tercoreng. Walikota Makassar bahkan rencananya meminta kapolrestabes Makassar untuk menangkap penyebar tagar tersebutSebuah blunder.
Alih-alih mencari tahu sebabnya, wali kota justru menyalahkan para warga net yang resah.
*****
Memasuki masa periode kedua pemerintahan Danny Pomanto, ternyata masalah komunikasi tetap sama. Kepekaan untuk mendengarkan kritikan dari warga belum sepenuhnya ada, justru sikap defensif yang dikedepankan. Apalagi dengan tuduhan kalau warga yang mengkritik adalah para pembenci atau orang-orang yang sakit hati. Mungkin ini yang perlu dibenahi. Komunikasi yang baik akan sangat membantu citra seseorang, dan tentunya membantu tercapainya tujuan dari sebuah program.
Bukan begitu? [dG]
Tapi bener sih, kalo datang dari rumah ke rumah dan prokes gak dilakukan dengan benar yang ada malah berdampak negatif.
Mana tau malah membawa virusnya kan.
Yah beginilah kalo atasan gak mau diberikan masukan.
Harusnya kan ditampung dulu, kalo bagus sarannya ya dilaksanakan.
Eh malah baper gini wkwkkw
Sayami itu salah satunya yang menolak tim detektor masuk ke rumahku pada kunjungan kedua.
Awalnya saya terima karena masih pagi dan rumah yg dimasuki baru 2 rumah, sekalian mau tahu bagaimana cara kerjanya.
Ternyata yaaah … seperti yg Daeng dituliskan.
Makanya waktu datang kedua kalinya karena bapaknya belum sempat diperiksa, saya tolak.
Addeh itu tim detektor sudah jalanmi kemana-mana, bau keringatmi juga, aups.