Linimassa 2; Dari Tanah Pusaka Hingga Tanah Merdeka

Adegan pembuka Linimassa 2

Dari ujung Halmahera, sampai Tenggara jauh kitorang samua basodara.

Sepenggal lagu Maluku Tanah Pusaka yang dinyanyikan Glenn Fredly di akhir penayangan Linimassa 2 benar-benar menggetarkan. Apalagi dengan latar kota Ambon yang indah.

Ambon memang menjadi pembuka dalam film dokumenter besutan Dandhy Laksono ini. Kisah sebuah kota yang sudah terlanjur akrab dengan kata “rusuh”? sehingga setiap gesekan kecil selalu menarik para pekerja media untuk berkerumun di sana dan kemudian menulis dengan huruf kapital kalimat: AMBON RUSUH LAGI.

Bad news it’s a good news. Pameo yang dipegang hampir seluruh pekerja media di dunia. Berita tentang kerusuhan adalah salah satu berita yang paling nyaman dijual karena bisa dengan gampang menarik perhatian pembaca. Korelasinya jelas, persis seperti lingkaran setan. Pekerja media menjual berita rusuh karena para konsumen media menikmatinya, konsumen media menikmatinya karena para pekerja media menyajikannya. Rumit, susah mencari ujungnya.

Dan kemudian hadirlah beberapa anak muda dari kota Ambon yang mencoba mengurai kekusutan itu. Dengan senjata berupa smartphone di tangan dan jaringan internet di udara mereka mengabarkan kalau Ambon tidak serusuh yang disajikan sebagian pekerja media. Ambon aman-aman saja, meski memang ada sedikit gesekan di beberapa titik kecil di kota itu.

Apa yang dilakukan Almascatie bersama kawan-kawannya di Ambon adalah provokasi damai melawan pemberitaan yang terlalu menyudutkan kota di Timur Sulawesi itu. Mereka bergerak, berjejaring dan saling bahu membahu. Mereka sepakat untuk menghindari kata rusuh atau melempar gambar tentang kerusuhan. Mereka merapatkan barisan untuk mengabarkan tentang Ambon yang baik-baik saja. Dengan bantuan internet dan media sosial tentu saja.

Teknologi yang melahirkan internet dan semua turunannya mereka ubah menjadi berkah. Bukan kutukan.

Bukan hanya teman-teman di Ambon yang melakukannya. Di sebuah kampung di Jogja, Lek Iwon perajin batik juga memilih langkah yang sama. Teknologi internet dipakainya sebagai media untuk mempromosikan batiknya hingga jauh ke benua seberang. Anak-anak di kampung itupun akrab dengan mbah Google yang mereka tanyai ketika mereka membentur tembok masalah dalam pelajaran sekolah.

Di Lombok, sekelompok warga desapun memilih berkawan dengan teknologi. Mereka dengan tangan sendiri membangun radio komunitas dan menyebarkan informasi dalam lingkup kecil desa mereka. Mereka memproduksi pengetahuan, mengumpulkan dan mendistribusikannya.

Dan adalah pak Kitaneb, seorang jawagarsa dengan gaji kecil yang juga memilih berkawan dengan teknologi.  Pak Kitaneb yang bahkan tak fasih menyebut Nexian dengan Neksen merekam kerusakan pipa air bersih di desanya. Dalam sekejap foto jepretannya yang kemudian disebar di internet itu membuat uluran tangan berdatangan. Warga bisa menikmati kembali jernihnya air bersih, berkat perkawanan pak Kitaneb dengan teknologi.

Potongan gambar dari Linimassa 2

Teknologi bernama internet dan semua turunannya memang serupa sulur tanaman yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke sebuah desa di pedalaman Tasikmalaya. Di sana, pak Kades memanfaatkan internet sebagai berkah untuk menyebarkan berita dan perkembangan tentang desanya. Sederhana, tapi sangat bermakna utamanya untuk desa yang jauh dari mana-mana, desa yang untuk menjangkaunya saja kita harus menyusuri jalan tanah yang tak rata serta sempit.

Persahabatan manusia dengan internet memang diulas panjang dalam film dokumenter berdurasi 45 menit ini. Selain cerita dari luar lingkar ibukota itu terselip juga cerita bagaimana sebagian warga kota Jakarta berkawan dengan teknologi. Ada gerakan ODHA Berhak Sehat dan Koalisi AIDS, penyandang difabel yang menggunakan media sosial sebagai pilihan untuk membuat dunia tahu keberadaan mereka dan satu cerita singkat bagaimana ibu-ibu yang tak lagi muda juga memilih untuk menjadi blogger dan berkarib dengan teknologi.

Deretan kisah di atas adalah bukti nyata bagaimana manusia di Indonesia sebagian telah mengerti betul bagaimana menempatkan teknologi sebagai sebuah berkah untuk kehidupan mereka dan sekeliling mereka. Teknologi tak sekadar menjadi alat untuk bersenang-senang, tapi yang terpenting adalah bagaimana menghisap sarinya untuk kemudian dibagikan ke sekeliling.

Linimassa 2 adalah film kedua yang diproduksi bersama oleh Watch Doc  dan ICT Watch serta Internet Sehat. Sejak linimasa 1 yang diproduksi setahun lalu, temanya tetap sama. Bagaimana warga biasa menggunakan internet untuk kemanusiaan, untuk sesuatu yang lebih luas cakupannya. Mereka adalah orang-orang yang tak tahan menunggu lama pemerintah untuk turun tangan melakukan sesuatu. Dengan kemampuan sendiri mereka berjejaring, bekerja bersama yang lain untuk sesuatu yang mereka yakini bisa membawa perubahan. Sekecil apapun itu.

Linimassa 2 digarap dengan lebih rapih dari sisi teknis, terlihat jelas perbedaannya dari Linimassa 1. Sayangnya karena materi dalam Linimassa 2 ini terkesan terlalu padat sehingga ada beberapa kisah yang seperti menggantung dan harusnya bisa dikupas lebih dalam seperti kisah Ayu bersama gerakan Koalisi AIDS-nya atau kisah tentang Emak-Emak Blogger.

Meski begitu, Linimassa 2 tetaplah sebuah karya yang membanggakan. Karya yang mengangkat wajah lain negeri ini, meski lebih tepat disebut sebagai wajah asli negeri ini. Linimassa 2 seperti juga Linimassa 1 tetap berdiri di atas tangan banyak orang melalui crowd founding. Mereka memberi kesempatan kepada banyak orang untuk ikut menyumbangkan sesuatu agar film dokumenter ini bisa dinikmati khalayak dengan gratis.

Linimassa 2 dibuka dengan kisah dari Tanah Pusaka, Maluku. Dalam rangkaian durasinya ada ragam kisah dari tanah-tanah merdeka, tanah-tanah di mana warga yang hidup di atasnya merdeka memilih cara mereka sendiri untuk berkawan dengan teknologi. Benar-benar kisah dari Tanah Pusaka hingga ke tanah merdeka.

[dG]