Masih Butuh Mall, Makassar?
Namanya kota berkembang, mall seakan jadi salah satu syarat pentingnya. Apalagi di negara berkembang yang menganggap standar modern adalah bangunan jangkung yang megah.
Makassar termasuk kota dengan perkembangan paling pesat di Indonesia. Bahkan tahun 2012 lalu kota ini jadi kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Kalau pernah ke Makassar 10 tahun lalu dan baru sekarang bisa kembali lagi maka akan terasa betul perubahan yang terjadi di kota ini. Jumlah titik macet terus bertambah, begitu juga dengan durasinya. Itu salah satu indikator kota maju bukan?
Semakin banyak titik macet dan semakin lama durasi macetnya jadi tanda kalau kota itu mulai sesak oleh orang-orang yang datang dan mencari makan di kota itu. Bukan sekadar datang dan mencari makan, mereka juga sudah termasuk nyaman sampai bisa membeli kendaraan sendiri. Akibatnya jalanan yang perkembangannya sangat lambat itu tertatih-tatih mengikuti perkembangan jumlah kendaraan yang pesat.
Apa indikator lain dari kota maju? Untuk negara berkembang seperti Indonesia, salah satunya pasti mall. Coba tengok kota-kota yang katanya kota besar di Indonesia, mall pasti jadi salah ikon kalau kota itu berkembang pesat. Makassar juga salah satunya, tidak mau ketinggalan dong. Jadilah beberapa tanah kosong di kota ini disulap jadi mall.
Tahun 1990an hanya ada satu mall, namanya Makassar Mall. Itupun sebenarnya tidak layak disebut mall karena aslinya hanya sebuah pasar tradisional yang dibuat berlantai 5 dan di bagian atasnya disewa sebuah retail perbelanjaan terkenal. Menyusul kemudian Latanete Plaza yang kemudian gugur karena kebakaran. Ketika mall makin banyak, Makassar Mallpun akhirnya tutup dan terbakar.
Masuk ke periode 2000an, mall-mall lainpun menyusul tumbuh. Bukan cuma mall tapi juga trade center yang sudah dianggap sebagai keluarga mall. Mall Ratu Indah, Gowa Trade Center, Mall Panakkukang, Makassar Trade Center, Makassar Town Square, Karebosi Link dan akhirnya Trans Studio Mall. Tumbuh seperti jamur di kulit yang lembab.
Mendekati akhir 2013 dan menjelang pergantian wali kota baru, sebuah trade center sudah siap hadir. Namanya Losari Trade Center. Dari informasi di laman skyscrapercity.com saya dapat informasi kalau bangunan yang berada tepat di samping benteng Fort Rotterdam ini tidak hanya berisi pusat perbelanjaan saja tapi juga bersi apartemen dan hotel. Total lantainya antara 22-26 lantai. Jumlah yang luar biasa untuk kota yang sedang berkembang seperti Makassar.
Lokasi Losari Trade Center ini rencananya akan dibangun di bekas pasar tradisional yang bernama Pasar Baru. Jadi alih-alih merawat pasar tradisional dan membuatnya nyaman, investor dengan ijin pemerintah kota malah lebih memilih untuk meratakannya dengan tanah dan menggantinya dengan gedung menjulang.
Lokasi Losari Trade CenterTamannya Mana?
Benarkah Makassar masih butuh mall? Pertanyaan ini sepertinya akan menghasilkan jawaban beragam. Kalau menurutkan nafsu menjadi kota modern (atau malah kota dunia seperti yang didengung-dengungkan pemerintah kota) maka mereka mungkin menganggap kalau iya, Makassar memang butuh mall dan bangunan megah agar bisa dibilang sebagai kota modern.
Tapi, ketika saya coba menanyakan kepada teman-teman di sekitar saya maka jawabannya adalah kota ini belum butuh tambahan mall. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak untuk kota yang sekarang sudah makin sesak ini.
Saya berada di antara mereka ketika saya ikut merasa kalau kota ini sebenarnya lebih butuh ruang terbuka hijau atau taman kota yang luas. Suhu di Makassar rasanya makin panas dari hari ke hari, apalagi ketika banyak pohon yang ditebang hanya demi memfasilitasi kendaraan. Taman yang ada luasnya tidak seberapa dan kadang kondisinya tidak terawat.
Saya iri pada kota Surabaya yang meski juga dihujani banyak mall tapi pemerintah kotanya tetap semangat untuk menghadirkan taman kota yang luas dan nyaman. Akibatnya warga jadi punya banyak pilihan bersantai bersama sesama warga, tidak hanya di mall yang artinya harus mengeluarkan uang tapi juga di taman-taman yang bisa mereka nikmati dengan gratis.
Saya tidak anti mall, sesekali saya masih menyempatkan diri masuk ke dalam mall meski lebih sering merasa teralienasi di dalamnya. Menghadirkan mall baru adalah hal yang sulit untuk dilawan, apalagi ketika semua dinilai dari tampilan dan fisik. Tapi sungguh tidak bijak ketika semua tidak berjalan secara seimbang. Mall bertambah, tapi taman terbuka hijau tidak pernah bertambah. Trotoar yang nyaman bertambah dengan jumlah yang sangat pelan, saking pelannya sampai kadang kita tidak tahu kalau ada trotoar jalan yang diperbaiki.
Mall untuk sebuah kota yang berkembang adalah keniscayaan. Tampilan megahnya yang mentereng tentu dengan mudah jadi indikator perkembangan kota. Tapi bagaimana dengan kualitas hidup warganya? Bagaimana dengan budaya konsumtif yang makin terpicu oleh perkembangan mall yang pesat? Sekarang semua diukur dengan uang dan harga, bahkan untuk berinteraksi dengan sesama wargapun selalu ada harga yang dibayar. Anak-anak kecil nyaris tak punya pilihan lain untuk berlibur selain mall, mall dan mall.
Ketika pertanyaan: masih perlukah mall di Makassar ditujukan ke saya, maka saya akan bilang: untuk saat ini mungkin belum. Makassar masih lebih butuh banyak taman kota yang luas, nyaman dan gratis. Makassar masih lebih butuh transportasi umum yang memadai. Mall bisa menunggu, itu kalau pemerintah kota lebih berpihak ke warga daripada investor.
Kalau begitu pertanyaan sebenarnya adalah: kepada siapakah pemerintah kota berpihak? [dG]
itu;ah daeng bedanya pemerintah negara maju dan berkembang. dinegara maju somehow mereka selalu memikirkan public space untuk kenyamanan warganya *keluh kesah stlh menikmati taman-taman di Jepang*
Mal Panakkukang rame sekali, tanjak pasar mi, banyak barang ku hilang gara gara mp padat baru pencuri na sempatkan ki. wilayah panakkukang perlu tambahan mall supaya tidak padat di 1 titik. Mall di makassar sudah overload semua mi kulihat…